Liputan6.com, Bandung - Para penggemar kuliner khas Bandung, Jawa Barat, tentu pernah mencicipi Es Cendol Elizabeth yang melegenda tersebut. Minuman legit dengan rasa manis itu terasa menyegarkan saat disantap, terutama saat berbuka puasa di bulan Ramadan seperti saat ini.
Es Cendol Elizabeth memang salah satu pilihan takjil untuk berbuka puasa. Tak mengherankan bila es cendol ini selalu diburu warga, baik dari dalam maupun luar Bandung.
Saking terkenalnya, banyak penjual yang menjajakan es cendol serupa di beberapa wilayah di Kota Bandung. Namun, tak banyak pelanggan yang mengetahui sejarah Es Cendol Elizabeth.
Advertisement
Baca Juga
Adalah Haji Rohman yang merintis usaha minuman manis segar tersebut. Dia dibantu anak-anaknya dalam mengelola usaha yang dirintisnya sejak 1972 ini.
Nur Hidayah, putri kedua Haji Rohman, bercerita sang ayah semasa kecil sudah harus membantu perekonomian keluarga. Rohman yang ketika itu baru duduk di bangku kelas 2 SD ditinggal sang bapak.
"Awalnya, bapaknya Bapak (Rohman) meninggal, waktu itu masih tinggal di Pekalongan. Kehidupan di desa kan tak menentu hanya kerja tani. Sementara Bapak itu anak laki-laki satu-satunya jadi tumpuan keluarga," ucap Nur kepada Liputan6.com, Sabtu, 3 Juni 2017.
Ketika itu Rohman diberitahu ibunya bahwa ada seorang pamannya yang berjualan es cendol di Bandung. "Merantaulah Bapak dan ikut pamannya berkeliling jualan cendol," tutur Nur.
Merintis Usaha Sendiri
Dari membantu paman, Rohman diberi uang jajan. Uang itu tidak pernah dipakai Rohman untuk sendiri, malahan dikirim ke kampung buat membantu adik-adiknya yang sekolah. "Kalau ada uangnya lebih sedikit dikumpulin," ia menambahkan.
Uang yang terkumpul itu kemudian dibelikan roda hingga keperluan lainnya untuk berjualan. Setelah punya roda sendiri, Rohman baru bisa keliling berjualan cendol. Dulu, Rohman memulai berjualan di kawasan Leo Genteng, Astana Anyar, Kota Bandung.
Setelah berkeliling, Rohman selalu memarkirkan jualannya ke sebuah rumah di Jalan Ciateul. Rumah tersebut kelak bakal menjadi titik awal dimulainya usaha cendol milik Rohman.
Sang empunya rumah bernama Elizabeth adalah langganan tetap Rohman. Menurut Nur Hayati, Ibu Eli pada waktu itu masih bekerja di toko tas.
"Kalau sudah berkeliling Bapak mangkalnya selalu di depan rumahnya Bu Eli. Bapak juga sering bantu kalau Bu Eli pulang kerja, belanjaannya dibawain," ucap Nur.
Suatu waktu, Bu Eli pulang ke rumahnya membawa tas sisa yang masih bisa dijual kembali. Melihat Rohman berjualan di depan rumah, Bu Eli menitipkan tas-tas sisa kepada Rohman untuk dijual. Rohman yang tidak lulus SD ragu bisa menjual tas. Namun, Bu Eli tidak memaksa, berapa pun barang yang laku ia terima.
Advertisement
Beli Tas Gratis Es Cendol
Rohman sempat mengeluh karena beberapa pembeli tas memaksa jika beli tas, maka cendolnya gratis. Meski ia sudah jelaskan bahwa tas yang dijualnya adalah barang titipan. Karena itu, ia pun melapor kepada Bu Eli dan tetangganya itu pun mengganti cendol yang diminta pembeli tas.
Bu Eli kemudian membeli sebidang tanah untuk dijadikan toko usaha jual tas. Toko itu dinamai Toko Tas Elizabeth yang berada di Jalan Ciateul (sekarang Jalan Ibu Inggit Garnasih) No 15. Sampai menjadi toko, Rohman masih mangkal di situ. "Dulu sering ada tamu datang suguhannya cendol milik Bapak," kata Nur.
Rohman selain tak bisa baca juga kesulitan menulis. Lantaran itulah, jika ada yang memesan cendol Rohman, kerap meminta bantuan kepada Bu Eli.
"Ada suatu waktu Bapak tidak bisa nulis. Kalau ada pesanan larinya ke dalam minta Bu Eli menuliskan pesanannya. Kalau Ibu Eli menulis selalu pakai bon Toko Elizabeth. Dari situ Bu Eli bulang, 'Sudah aja Man, cendolnya sekalian namain Cendol Elizabeth'. Dan orang pun kenalnya Cendol Elizabeth karena pakai bon itu," ujar Nur.
Adapun usaha Bu Eli melalui toko tas miliknya semakin berkembang. Rohman yang masih berjualan cendol masih mangkal di depan toko hingga beberapa waktu lamanya.
"Sampai sekarang hubungan dengan Bu Eli tetap baik, sudah seperti keluarga sendiri. Beliau juga punya pabrik di Leuwigajah, karyawannya tiap seminggu sekali bawa cendol dari sini," kata Nur.
Dari Gerobak ke Toko
Sampai tahun 1980-an, Rohman masih berkeliling di sekitar kawasan Leo Genteng sampai Ciateul, Kota Bandung. Ia mengitari kawasan itu dengan menggunakan roda atau gerobak kecil miliknya berjualan cendol.
Menurut Nur Hayati, salah seorang pengelola Es Cendol Elizabeth, lingkungan tempat Rohman tinggal pada waktu itu agak kurang baik. Dulu, ketika Rohman jualan cendol sering dihina-hina. Tetapi orang-orang di sekitar Rohman justru banyak yang bikin cendol. Bahkan tak sedikit yang mendompleng nama Es Cendol Elizabeth.
Sekitar tahun 1982, keluarga Rohman pindah ke daerah Inhoftank. Sebuah rumah berukuran 3x3 meter waktu itu dikontrak sebagai tempat tinggal. Di sisi lain, usaha Rohman berjualan cendol semakin berkembang. Uang hasil jerih payahnya itu pun akhirnya bisa membeli rumah.
"Setelah jualan beberapa tahun mulai terlihat ada pemasukan signifikan. Selain rumah, bisa beli kavling tanah dan membangun tokonya pun pelan-pelan," kata Nur.
Sejak saat itu, toko milik Rohman menjadi pusat kegiatan usaha es cendol. Selang waktu di tahun 1994, Es Cendol Elizabeth mulai dilirik sebuah supermarket di Bandung.
"Supermarket meminta cendol didistribusikan. Sampai sekarang cukup terbantu karena masuk di supermarket karena pembeli yang tadinya di toko selalu ramai," Nur menerangkan.
Advertisement
Hanya di Jalan Inhoftank
Pada 2003, penjual es cendol di sekitar Toko Elizabeth semakin menjamur. Rohman yang masih berjualan di depan toko cukup risih karena namanya cendolnya dipakai orang lain. Rohman pun akhirnya memutuskan membuka usaha Es Cendol Elizabeth hanya di Jalan Inhoftank Nomor 64, Kota Bandung,
"Pembeli banyak yang komplain kenapa beli Es Cendol Elizabeth banyak, tapi tidak sama dengan yang diceritakan orang banyak. Lalu kita jelaskan hanya berjualan di toko," ujar Nur.
Tak sampai di situ, usaha es cendol yang semakin berkembang di Bandung kemudian diperluas lagi hingga ke Tasikmalaya dan Majalaya.
Saat ini, Toko Es Cendol Elizabeth cukup luas. Tak hanya menjual cendol, Rohman sang pemilik juga membuka rumah makan yang lokasinya masih satu area dengan toko.
Adapun Nur Hayati kini mengelola toko es cendol yang berlokasi di Majalaya. Selain Nur Hayati, tiga saudaranya yang lain ikut mengurusi usaha sang ayah.
"Anak yang nomor tiga di sini, kalau yang bungsu masih kuliah. Toko yang mengelola anak-anaknya, meski Bapak juga masih sering turun mengawasi karyawan," ia membeberkan.
Setelah usaha es cendol maju, tantangan lainnya kini dihadapi. Salah satunya kesulitan mencari bahan baku cendol. Bahan seperti gula kelapa, tepung aci kawung, hingga daun suji hingga kini tidak ada produsen khusus yang memproduksi secara massal.
"Belum ada produsen besar, terutama untuk aci. Kalaupun ada seperti dari Lampung itu suplainya masih kecil. Sementara kalau kita ambil dari petani langsung itu kan tidak ada standarnya," kata Nur.
Namun, sejak tahun 2000, sang ayah telah membeli sebidang tanah di Majalaya. Tanah seluas 2.000 meter persegi itu ditanami berbagai jenis tanaman, termasuk daun suji. Daun itulah yang digunakan sebagai pewarna cendol
"Karena bapak masih senang pertanian. Selain ditanami padi juga disebarkan benih daun suji dan daun pandan yang bisa tumbuh liar. Menjelang puasa, daun-daun itu dipanen sebagai bahan pewarna," putri pemilik Toko Es Cendol Elizabeth itu memungkasi.