5 Kelemahan Aturan Dana BOS

Hasil kajian menunjukkan masih ada sejumlah kelemahan aturan dana BOS.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 14 Jun 2017, 21:09 WIB
Diterbitkan 14 Jun 2017, 21:09 WIB
Kajian Dana BOS
Paparan hasil kajian dana BOS (Liputan6.com / Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Lembaga Swadaya Masyarakat Pendidikan untuk Indonesia (Pundi) melakukan kajian soal efektivitas dana Biaya Operasional Sekolah (BOS). Salah satu poin penting dari Permendikbud Nomor 80 Tahun 2017 adalah sekolah wajib menggunakan minimal 20 persen alokasi dana BOS untuk pembelian buku teks pelajaran (BTP) dan buku teks non pelajaran (BNTP).

"Dari riset kami, dana sebesar itu memungkinkan peserta didik mendapatkan buku gratis," ujar Direktur Pundi Iman Sumarlan, di Yogyakarta, Rabu (14/6/2017).

Ia memaparkan UU APBN mengamanatkan alokasi BOS sebesar Rp45,1 miliar dengan rincian alokasi Rp800.000 per siswa SD, Rp1 juta per siswa SMP, dan Rp1,4 juta per siswa SMA. Total BTP untuk siswa kelas 1 SD sebesar Rp114.720, sementara alokasi BOS untuk BTP adalah 20 persen dari Rp800.000 atau sebesar Rp160.000. Asumsinya, seluruh siswa bisa mendapatkan buku gratis, bahkan masih ada sisa alokasi BTP sejumlah Rp45.280.

Meskipun demikian, Pundi menemukan sejumlah kelemahan dalam petunjuk teknis BOS. Kelemahan yang dimaksud meliputi, pertama, Permendikbud tidak mencerminkan keseriusan pemerintah dalam pelaksanaan pendidikan 12 tahun. Pasalnya tujuan BOS hanya untuk membebaskan biaya pungutan operasi sekolah SD dan SMP (wajib belajar 9 tahun), namun tidak secara terang menjelaskan untuk SMA atau SMK.

Kedua, pelaksanaan pendidikan 9 tahun pemerintah tidak serius dalam mengawal pendidikan bebas pungutan bagi semua sekolah (SD-SMP), mengingat tujuan BOS bebas biaya pungutan hanya untuk sekolah negeri, sedangkan sekolah swasta tidak dan hanya sebatas mengurangi beban biaya operasi sekolah.

Ketiga, pendistribusian triwulan mengganggu kegiatan operasional sekolah. Keempat, Permendikbud tidak memiliki aspek keadilan dalam pemberian besaran BOS per siswa. Seharusnya, besaran alokasi BOS per siswa ditentukan basis zona, sehingga besaran BOS untuk sekolah di kota dan di daerah 3T atau terluar, terdepan, tertinggal, tidak sama rata.

Kelima, pelemahan program non tunai yakni sekolah diizinkan tidak melakukan pemesanan secara online. "Sehingga bisa melakukan transaksi tunai dan hal ini menjadi celah untuk memunculkan korupsi dan kolusi," kata Iman.

Staf Khusus Mendikbud RI Fajar Riza Ul Haq mengatakan perlu perbaikan regulasi karena pada prinsipinya ada alokasi BOS 20 persen untuk buku. "Saya harap Pundi bisa lebih luas lagi mengkajinya," kata Fajar.

Pendidikan 9 tahun juga tercantum dalam UU Sisdiknas dan menjadi kelemahan dalam teknis BOS. Ia menilai masih ada pihak yang mencari keuntungan dengan buku dan persoalan itu mengarah kepada mental sekolah masing-masing.

Terkait pencairan dana BOS setiap triwulan, ia mengatakan pencairan merupakan wewenang Kementerian Keuangan. Kemendikbud hanya sebatas mendata penerima BOS di Indonesia.

"Sementara, soal konsistensi pembayaran tunai maupun online lebih ke pertimbangan perbedaan geografis, karena belum semua wilayah mampu bertransaksi secara online," ucap Fajar.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya