Liputan6.com, Cirebon - Ada usulan mengejutkan yang mengemuka saat berlangsung Festival Keraton Nusantara XI di Cirebon, Jawa Barat. Usulan ini mengenai gaji yang bisa diperoleh raja ataupun sultan yang ada di Indonesia.
Budayawan Radhar Panca Dahana beralasan, kebudayaan jangan dijadikan etalase politik saja tanpa ada kebijakan program yang kuat. Karena itu, sebagai penjaga kebudayaan, keraton harus dibiayai. Sultan atau raja yang setia menjaga keraton harus digaji.
Besaran gaji sekitar Rp 100 juta atau Rp 200 juta, bahkan bisa mencapai Rp 1 miliar per bulan.
Baca Juga
"Karena tanggung jawabnya tinggi memelihara keraton, seperti memperbaiki tembok yang rusak karena catnya pudar tidak seperti membongkar rumah biasa," ucap Radhar, usai mengisi saresahan budaya bertajuk "Nilai-nilai Spiritualitas Kanoman di Cirebon", Minggu, 17 September 2017.
Jika legitimasi secara yuridis, politis, ekonomi hingga spiritual sudah hancur, kultural harus dijaga. Sebab, masih memiliki otoritas di dalam keraton.
Dengan kata lain, seharusnya keraton dipelihara oleh negara. Apalagi keraton jadi penjaga utama kebudayaan. "Sementara, kebudayaan fondasi dasar adanya sebuah bangsa. Bangsa tanpa budaya tidak ada artinya," Radhar memungkasi.
Advertisement
Saksikan video pilihan berikut ini:
Kuatnya Dimensi Politik
Adapun pengamat keraton Nusantara Dr. Phil. Ichwan Azhari mengatakan, keberadaan kerajaan dan kesultanan di Indonesia hingga saat ini masih dijadikan alat politik tertentu untuk mencapai kekuasaan. Berbagai kegiatan kebudayaan yang digelar tidak sedikit yang mengandung unsur kepentingan.
Dr. Phil. Ichwan Azhari mengatakan, tidak dimungkiri setiap acara maupun pagelaran yang terkait dengan keraton dimensi politiknya kuat sekali.
"Nyaris semua kegiatan keraton seperti pengukuhan atau Festival Keraton Nusantara (FKN) semacam ini dimensi politiknya lebih kuat daripada yang lainnya," ucap dia, usai mengisi saresahan budaya bertajuk "Nilai-nilai Spiritualitas Kanoman di Cirebon".
Sejarawan Universitas Negeri Medan ini juga mengatakan, kuatnya dimensi politik sangat terlihat saat momen-momen pemilu. Para politikus yang ingin menjadi penguasa mendatangi keraton, memberikan bantuan, dan mendukung kegiatan kebudayaan.
Namun, jika sudah menjabat, sebagian besar mereka lupa dengan peran keraton yang juga membesarkan namanya itu. Seharusnya, para politikus yang mendapat suara dari masyarakat sekitar keraton juga memikirkan program penguatan keraton agar lebih mandiri.
"Politisi datang ke keraton melihat banyak orang di keraton dan berhasil membuat sultan atau rajanya mendukung, akhirnya diikuti oleh masyarakat. Tapi belakangan keraton sudah pinta ambil uangnya saja," ujar Ichwan.
Perkuat Gerakan Kultural
Dari banyaknya kepentingan politik tersebut, hingga menghilangkan semangat untuk memikirkan agar keraton bisa hidup dan terus mewariskan tradisi dan budaya.
Dia mengatakan pula, untuk menghilangkan dominasi kepentingan politik, keraton harus memperkuat gerakan kultural dan budaya.
Gerakan tersebut dapat dikelola dengan baik dan profesional. Gerakan perlawanan hegemoni politik tersebut, ucap dia, bisa dilakukan dengan memaksimalkan potensi keraton sebagai wisata.
"Tidak apa-apalah lompat dulu ke pariwisata asal benar-benar profesional. Kan dari situ, tingkat kunjungan terlihat. Nah, baru dikembangkan oleh pengelola yaitu keluarga keraton," Ichwan memaparkan.
Setelah bertahan, kalangan keraton bisa menolak bantuan politik. "Jadi melihat ini aset, bukan hanya warisan yang tidak berguna," katanya.
Advertisement