Liputan6.com, Cilacap – Sebanyak 20-an orang sigap memindahkan barang-barang dari Gereja Kristus Rohani Indonesia (GKRI) ke depan rumah dinas pendeta yang hanya terletak 10 meter yang berjejer tanpa pagar batas. Sebagian kecil lainnya menata barang itu agar tak makan tempat.
Mereka adalah warga RT 01/6 dan RT01/1 Dusun Karangjengkol, Desa Cilongkrang, Kecamatan Wanareja, Kabupaten Cilacap. Tak semuanya umat Nasrani, bahkan sebagian besarnya adalah warga Muslim. Mereka menyelamatkan piranti gereja yang masih bisa dimanfaatkan setelah tertimpa atap dan tembok gereja yang ambruk pada Senin pagi, 25 September 2017.
Pendeta GKRI, Diah Rusdiana, menuturkan, gempa Tasik yang terjadi Senin Subuh itu terasa di daerahnya. Gempa itu menyebabkan sebagian tembok gereja yang dibangun 1992 itu retak. Diah menduga, tembok retak itu menyebabkan atap kerangka atap patah dan ambruk menimpa seluruh barang yang ada di ruangan gereja.
Advertisement
"Gempanya kan kemarin, robohnya keesokan harinya, pagi ini jam setengah 8," katanya, Selasa, 26 September 2017.
Selain gempa, tanah sekitar gereja, khususnya yang berada di sisi kiri dan berdekatan dengan sungai curam, diduga labil lantaran pernah longsor. Tebing yang longsor itu sebenarnya sudah diuruk dan dibangun talud. Namun, tanah bagian pondasi bangunan berukuran 6x12 meter itu tetap labil.
"Sebelum gempa, hujan deras juga terjadi di daerah ini. Genteng bangunan itu menyerap air, sehingga mungkin lebih berat dan kerangka atap tak kuat menahan beban. Roboh saja begitu, gitu lo," dia menjelaskan.
Baca Juga
Tembok gereja yang sebagian masih berdiri pun akhirnya terpaksa dirobohkan seluruhnya lantaran membahayakan. Sebagian tembok itu sudah melengkung dan hampir ambrol. Adapun 25 jemaat GKRI sementara waktu bakal beribadah di rumahnya yang memang berjejeran dengan gereja.
"Ya sementara di sini. Nanti balik lagi kalau sudah dibangun," ujarnya.
Diah amat berterima kasih kepada warga Muslim yang turut bergotong-royong menyelamatkan barang gereja. Menurut Diah, dari sekitar 20-an orang yang bergotong-royong, hanya dua orang yang beragama Nasrani yang merupakan jemaat GKRI. Lainnya adalah warga Muslim dari dua RT, yakni RT 01/1 dan RT 01/6.
Semangat gotong-royong dan toleransi antarumat beragama di daerahnya, diakui Diah, memang tinggi. Bahkan, yang paling cepat datang untuk membantu mengevakuasi dan membersihkan gereja adalah warga Muslim. Menurut dia, hal itu sudah terpupuk lama di daerah ini.
"Justru yang lebih tahu warga sini, kalau warga nonmuslim kan rumahnya agak jauh di sana," katanya.
Ketua RT 01 Sugeng Wardoyo mengatakan, hampir seluruh warga yang ada di dusunnya, yang kebetulan tak ada kesibukan, turut bergotong-royong di gereja tersebut. Menurut dia, gotong-royong dilakukan dengan alasan kemanusiaan, tanpa memedulikan latar belakang agama.
"Kalau musala yang rusak, saya kira warga yang kebetulan beragama Kristen juga akan ikut membantu," ucap Sugeng.
Sugeng berujar, potret toleransi di Grumbul Karangjengkol juga terlihat pada acara-acara yang melibatkan masyarakat. Saat kenduri atau selamatan di keluarga Muslim, misalnya, warga nonmuslim tetap diundang. Mereka berdoa sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing.
Begitu pula dengan acara lingkungan seperti perbaikan musala. Warga nonmuslim pun turut serta bergotong-royong. Begitu pula saat perayaan hari besar keagamaan. Keluarga yang berbeda agama pun saling berkunjung untuk saling memberikan selamat.
"Doanya berdasarkan kepercayaannya masing-masing caranya juga masing-masing, kan berbeda-beda caranya," dia menerangkan.
Sementara, petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Cilacap, Muhadi mengatakan tanah di wilayah gereja memang labil. Apalagi, gereja itu berdekatan dengan aliran air. Kerugian diperkirakan mencapai Rp 100 juta lebih.
"Sementara ini, tidak ada laporan kebencanaan yang lainnya," kata Muhadi.
Saksikan video pilihan berikut ini: