Liputan6.com, Dumoga - Selama 32 tahun Presiden Soeharto berkuasa, salah satu program andalan rezim itu adalah transmigrasi. Jejak program Soeharto itu masih terlihat nyata di Desa Mopuya, Kecamatan Dumoga Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.
Sebagai desa transmigrasi, kemajemukan warga dan potret toleransi umat beragama di wilayah ini bisa menjadi inspirasi. Delapan perempuan berhijab berjalan beriringan, masing-masing menggendong keranjang rotan yang ditutupi kain. Mereka bercakap-cakap dalam bahasa Jawa.
"Ibu-ibu ini mau pergi ke rumah duka. Dalam keranjang itu, mereka membawa sejumlah bahan pokok seperti gula dan beras," ungkap Victor Pontolondo, warga Desa Mopuya Utara Satu.
Advertisement
Hari itu memang ada kedukaan di kampung Mopuya Utara Satu. Salah satu pengurus Gereja Masehi Injili Bolaang Mongondow (GMIBM) meninggal dunia.
"Sudah menjadi semacam tradisi bagi kami di Mopuya, jika ada warga yang meninggal maka secara spontan ibu-ibu akan datang membantu. Juga membawa bahan-bahan makanan seperti beras," ujar Victor.
Victor mengatakan, tradisi saling membantu itu tanpa melihat agama dan suku. "Semua kita di sini sebagai satu saudara, biar berbeda suku dan agama," kata laki-laki asal Kabupaten Kepulauan Sitaro, Provinsi Sulawesi Utara ini.
Baca Juga
Istri Victor, Intiningati adalah generasi kedua dari warga transmigrasi yang datang ke Mopuya dari Banyuwangi, Jawa Timur, pada 1972. "Ayah mertua saya, Budi, merupakan generasi pertama transmigrasi yang datang di tahun 1972. Umurnya waktu itu 17 tahun," kenang Victor.
Budi dan orangtuanya datang bersama 50 kepala keluarga (KK) dari Banyuwangi. Pada tahun yang sama, datang 50 KK dari Bojonegoro. Ketika datang pertama kali, setiap keluarga mendapat lahan untuk pemukiman seluas 50x50 meter dengan masing-masing rumah kayu yang siap dihuni.
"Setiap keluarga juga mendapat sawah dan lahan untuk kebun. Itu di masa Soeharto kan. Ya, kalau bukan Soeharto kami tidak ada di sini," ujar Budi.
Selain warga transmigran asal Jawa, penduduk Mopuya juga berasal dari Bali, Minahasa, Sangihe, dan Bolaang Mongondow.
"Transmigran asal Bali menyusul kemudian sekitar tahun 1974. Sehingga jadilah warga Mopuya ini sangat majemuk suku, maupun agama," kata Camat Dumoga Utara, I Ketut di sela-sela pelaksanaan Sekolah Pluralisme yang diselenggarakan oleh Sinode Am Gereja (SAG) Sulutteng di aula GMIBM Imanuel Mopuya, Kamis, 21 September 2017.
I Ketut juga merupakan warga transmigrasi asal Bali. "Yang menarik di sini, jika ada acara seperti kedukaan atau pesta maupun acara pemerintah, semua warga berbaur. Tidak ada perbedaan," ujar I Ketut yang sudah selama tiga tahun menjabat sebagai camat ini.
Potret kerukunan di antara warga yang majemuk selama puluhan tahun mampu dipertahankan. "Meski memang ada juga ancaman termasuk pihak yang ingin memecah-belah persatuan warga," ujar I Ketut.
I Ketut mengatakan, komitmen untuk saling menghormati dan menjaga kerukunan antarwarga ini memang sudah tercipta sejak Mopuya dibangun pada 1972.
"Kita bisa lihat, mungkin hanya di daerah ini sejumlah rumah ibadah berada dalam satu kawasan. Dan tidak ada persoalan dalam menjalankan ibadah masing-masing," ujar I Ketut.
Berkunjung ke kawasan rumah ibadah itu, sebuah masjid berdiri megah berdampingan dengan Gereja Imanuel Mopuya. Tepat di belakang Gereja Imanuel, terdapat sebuah pura. Di sebelah kanan pura, tiga gereja berdiri berjejer masing-masing Kerapatan Gereja Protestan Minahasa, Gereja Katolik Santu Yusuf, dan Gereja Pantekosta di Indonesia.
"Kita saling menghormati, menyepakati bersama agar dalam menjalankan ibadah tidak ada pihak yang terganggu," ujar Muhamad Nuri, imam masjid Mopuya saat berdialog bersama tokoh-tokoh agama Mopuya.
Pimpinan Jemaat GMIBM Imanuel Mopuya, Jenny Pesak menambahkan, keberadaan rumah ibadah yang bersebelahan itu tidak hanya sekadar simbol kerukunan saja, tetapi juga sejak pembangunannya dilakukan secara gotong-royong.
"Rumah ibadah ini dibangun secara gotong-royong, semua suku dan pemeluk agama terlibat," ujar Jenny.
Dari awalnya sebuah kampung kecil, setelah 45 tahun, Mopuya kini berkembang menjadi enam desa dengan jumlah penduduk lebih dari 6 ribu jiwa.
"Kami sengaja memilih Mopuya sebagai lokasi pelaksanaan sekolah pluralisme yang diikuti 40 pemuda lintas agama, karena daerah ini menjadi potret kerukunan yang nyata," ungkap Sekretaris Departemen Misi SAG Sulutteng, Deeby Momongan.
Selain potret kehidupan yang majemuk, Mopuya juga menjadi salah satu lumbung beras di Sulawesi Utara. Sebuah tugu tani terletak di pusat kecamatan, yang menjadi simbol bahwa sebagian besar warganya adalah petani.
Simak video pilihan berikut ini: