Liputan6.com, Karangasem - Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat total gempa vulkanik Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali, sejak level Waspada hingga level IV Awas saat ini sudah mencapai 25 ribu kali.
"Ini jumlah gempa yang sangat besar dibandingkan gunung berapi mana pun," kata Kepala PVMBG Kasbani di Pos Pengamatan Gunung Agung di Desa Rendang, Karangasem, Sabtu (21/10/2017), dilansir Antara.
Menurut dia, biasanya dengan jumlah gempa vulkanik yang tinggi tersebut, gunung berapi sudah meletus. Namun, tidak demikian dengan Gunung Agung sehingga gunung setinggi 3.142 meter di atas permukaan laut itu termasuk gunung yang spesial.
Advertisement
"Ini spesial dan sangat luar biasa karena sudah didorong sekian kali tetapi masih sangat kuat," ucapnya.
Kasbani menambahkan, dengan tingginya jumlah kegempaan tersebut mengindikasikan aktivitas rekahan di bawah gunung semakin intensif terjadi. Sementara itu, PVMBG juga menghitung estimasi volume lava yang diperkirakan akan dimuntahkan Gunung Agung mencapai sekitar 18 juta meter kubik jika gunung berapi itu erupsi.
Estimasi tersebut diukur berdasarkan kekuatan gempa terbesar yang sempat dirasakan saat status Awas atau pada masa kritis yang terjadi pada minggu terakhir September 2017. Selama masa Awas itu, gempa tektonik yang sempat terasa akibat aktivitas vulkanik Gunung Agung berkekuatan 4,2 skala Richter dan 4,3 skala Richter.
Estimasi 18 juta meter kubik tersebut, kata dia, belum termasuk batuan yang akan dikeluarkan gunung setinggi 3.142 meter di atas permukaan laut itu apabila terjadi erupsi.
Status Masih Awas
PVMBG menyatakan bahwa status Gunung Agung di Karangasem, Bali, masih Awas atau level IV karena aktivitas vulkanik gunung api itu masih tinggi meski data kegempaan atau seismik menurun.
"Jika seismik turun secara sesaat tetapi data lain tidak mendukung, itu (penurunan status, red.) juga tidak bisa dilakukan," kata Kasbani.
Ia menjelaskan status gunung api ditetapkan melalui analisis komprehensif dari berbagai metode, tidak hanya menyimpulkan satu parameter, tetapi juga meliputi seismik atau kegempaan, deformasi atau perubahan tubuh gunung, geokimia atau adanya gas berbahaya, hingga penginderaan jauh melalui satelit.
Kasbani menjelaskan penurunan aktivitas kegempaan sesaat tersebut justru harus diwaspadai berkaca dari pengalaman Gunung Merapi di Yogyakarta yang meletus pada 2006 ketika aktivitas gempa saat itu menurun.
Begitu juga Gunung Sinabung di Sumatera Utara yang meletus pada 2013 ketika masuk level III atau saat level Siaga.
Beberapa hari terakhir, PVMBG mencatat total aktivitas kegempaan gunung setinggi 3.142 meter di atas permukaan laut itu menunjukkan fluktuasi, bahkan sempat mencapai 1.047 kali dan pada Jumat (20/10) jumlah total gempa menurun hingga 379 kali.
"Walaupun menurun tetapi itu masih tergolong tinggi," kata Kasbani yang didampingi Kepala Bidang Mitigasi Gunungapi Gede Suantika dan Kepala Sub-Bidang Mitigasi Pemantauan Gunungapi Wilayah Timur PVMBG Devy Kamil Syahbana.
Kasbani menyebutkan data lain masih menunjukkan aktivitas vulkanik tinggi yang masih sama dan konsisten, baik diamati secara visual maupun instrumen. Secara visual, lanjut dia, ada peningkatan signifikan pada permukaan gunung api itu dengan adanya embusan asap mengandung uap air dan emisi gas yang semakin signifikan dengan ketinggian berkisar 100-500 meter di atas puncak.
Selain itu, lanjut Kasbani, dari hasil satelit juga terlihat aktivitas tinggi dengan terbentuknya area panas baru di permukaan kawah bagian timur laut maupun di tengah kawah. Area panas itu mengalami perluasan yang signifikan pada periode level Awas ini berupa rekahan-rekahan yang menyemburkan gas dan asap.
Citra satelit juga mengamati adanya air yang keluar secara terus-menerus di permukaan kawah yang mengindikasikan adanya gangguan hidrologis di dalam tubuh gunung akibat pergerakan magma yang banyak. Kasbani juga menyebutkan berdasarkan data dari sembilan stasiun seismik di sekitar Gunung Agung, yang menganalisis rekahan di bawah gunung mengindikasikan adanya jalur pergerakan fluida yang sudah terbentuk.
Berdasarkan analisis instrumental terjadi perubahan bentuk gunung atau deformasi, mengindikasikan hal yang sama dan konsisten, yakni adanya desakan magma dari bawah yang cukup besar.
Hasil analisis terbaru dari citra satelit inSAR mengonfirmasi hasil pengukuran GPS maupun tiltmeter yang menunjukkan bahwa periode September-Oktober 2017 telah terjadi penggembungan atau inflasi di area puncak dengan peningkatan mencapai 6 sentimeter berdasarkan rekaman stasiun GPS di Pegubengan dan Cegi.
"Untuk ukuran gunung, ini ukuran yang cukup besar," ucap Kasbani.
Hasil pengukuran gas gunung api itu pada jarak 12 dan 3,5 kilometer dari puncak tidak terdeteksi adanya kadar solfatara atau SO2 yang tinggi. Meski demikian, hal itu tidak mengindikasikan sebagai rendahnya aktivitas magmatik.
Menurut Kasbani, kemungkinan konsentrasi gas Gunung Agung berada di bawah batas kemampuan peralatan untuk mendeteksi pada jarak sejauh itu atau berinteraksi dan larut dalam air.