Liputan6.com, Kupang - Isayas Dos Santos (65), warga Dusun Weian, Desa Kenebibi, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu, NTT sudah 18 tahun hidup sendirian di gubuk reyot berikutan 2x2 meter. Dia merupakan warga eks-Timor Timur yang tinggal di daerah perbatasan Indonesia dengan Timor Leste.
Tidak ada perabotan di gubuk tua itu, hanya ada satu tempat tidur terbuat dari kayu. Tempat tidur itu hanya beralaskan tikar tua.
Sementara, di atas tikar terdapat tumpukan pakaian bekas yang digunakan Isayas sebagai pengganti bantal saat tidur. Tak jauh dari tempat tidurnya, terdapat sebuah tungku dengan beberapa balok kayu api.
Advertisement
Baca Juga
Ketika ditemui di rumahnya, Kakek Isayas bercerita bahwa dirinya memiliki istri dan 3 anak, tetapi keempatnya meninggal saat gejolak Timor Timur tahun 1999 silam.
"Saat Timor Timur merdeka saya sendiri memutuskan untuk tetap bertahan dan hidup di NKRI," tutur Isayas kepada Liputan6.com, di wilayah perbatasan dengan Timor Leste, Rabu, 13 Desember 2017.
Kondisi tempat tinggal Kakek Isayas sungguh tidak layak dihuni. Dindingnya terbuat dari batang lontar (bebak) seadanya. Sedangkan, dia menggunakan daun lontar yang sudah kering untuk atapnya. Saat hujan tiba, atap ringkih itu tak mampu menahan air sehingga membasahi Kakek Isayas.
Tidak hanya itu, pada malam hari, Kakek Isayas hanya ditemani cahaya bintang. Tidak ada listrik mengalir di gubuknya, bahkan hanya untuk menyalakan satu lampu pun. Jika ingin buang air, Kakek Isayas harus berjalan ke dalam hutan.
Untuk bertahan hidup, Kakek Isayas harus mencari kayu api di hutan setiap hari untuk dijual. Dari hasil jualan kayu api itu, dia bisa membeli beras untuk dimakan setiap hari.
Kakek Isayas sebenarnya memiliki kerabat. Ada istri dari adik kandung Kakek Isayas yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. Hanya saja, perempuan itu menderita sakit jiwa. Dengan kondisi serba kekurangan di perbatasan Indonesia - Timor Leste itu, Kakek Isayas mengaku belum mendapatkan bantuan apa pun dari pemerintah.
Simak video pilihan berikut ini:
Aksi Heroik Polisi Menolong Kakek Isayas
Namun, Tuhan tidak menutup mata terhadap kondisi sulit Kakek Isayas. Seorang anggota polisi bernama Brigpol Kresna Ola yang tengah bertugas bertemu Kakek Isayas. Kresna merupakan polisi perbatasan yang menjabat sebagai Bhabinkamtibmas Desa Kenebibi, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu. Melihat kondisi Kakek Isayas, hatinya langsung tergerak membantu sang kakek.
"Saat pertama bertemu, tanpa sadar air mata saya jatuh lihat kondisi Kakek Isayas," ujar Brigpol Kresna.
Sejak saat itu, setiap hari dia meluangkan waktu untuk bertemu Kakes Isayas dan memberikan pakaian serta makanan seadanya. Momen itu pun diabadikannya lewat telepon genggamnya. Dia pun mengunggah potret kondisi sang kakek di akun Facebook-nya. Dia berharap ada yang tergerak untuk menolong kakek malang itu.
"Saya foto kondisi rumah dan saya unggah, puji Tuhan, banyak yang respon," kata polisi asal Adonara, Kabupaten Flores Timur ini.
Dia mengaku bangga dengan sosok Kakek Isayas, karena meski hidup sengsara, tetapi tidak pasrah dengan keadaannya.
Saat ini, Kresna mengatakan Kakek Isayas sangat membutuhkan rumah yang layak huni. Apalagi, tanah yang dihuni Kakek Isyas milik seorang pengusaha Tiongkok Atambua.
"Atap gubuknya sudah bocor sehingga saya hanya beli terpal untuk tutup, kasihan sekarang kan musim hujan. Status tanah juga pinjam pakai, jika kelak pemilik tanahnya mau membangun pasti Kakek Isayas harus disuruh keluar," imbuh Kresna.
Dia menambahkan, berkat foto-foto yang diunggahnya, beberapa waktu lalu tersebut, seorang anggota DPRD Belu bernama Yane Bone mendatangi gubuk Kakek Isayas untuk memberi bantuan.
Meski begitu, Kresna sangat berharap, pemerintah daerah segera merespon kondisi kakek Isayas dengan memberi bantuan perumahan rumah layak huni.
Advertisement
Berantas Buta Huruf
Tidak hanya memperhatikan kondisi Kakek Isayas, Brigpol Kresna Ola, meluangkan waktunya membentuk kelompok masyarakat dan mengajari warga buta aksara menjadi warga yang bisa membaca dan menulis.
Dia menjadi pengajar warga eks-Timor Timur (Timtim) di wilayah Desa Kenebibi yang berada di perbatasan RI-Timor Leste.
Wilayah itu terkenal dengan objek wisata pasir putih yang sering dikunjungi warga. Namun, wilayah tersebut juga terkenal dengan sejumlah tindakan kriminal seperti pungli, penganiayaan, dan kebiasaan mabuk warga yang meresahkan masyarakat karena sering terjadi keonaran.
Sejak 2015, Kresna ditugasi di wilayah tersebut. Ia berupaya mempelajari karakter warga setempat. Ia menemukan fakta jika rendahnya kualitas sumber daya manusia berhubungan dengan sikap anak muda yang sulit diatur.
Menyadari hal itu, Kresna terpikir untuk meningkatkan pengetahuan warga sekitar. Bintara lulusan SPN Kupang Polda NTT 2005 itu mulai menghimpun warga sejak Oktober 2016.
"Saya mulai membentuk komunitas sekolah buta aksara Desa Kenebibi. Intinya warga bisa membaca dan menulis," ujar Kresna kepada Liputan6.com, Rabu, 13 Desember 2017.
Di samping mengajar, Brigpol Kresna mengimbau warga agar menasihati anak-anak mereka agar tidak berbuat kejahatan.
Awalnya, kelompok ini beranggotakan 60 pria dan perempuan buta aksara. Namun, karena terkendala jarak rumah yang berjauhan, kelompok dibagi menjadi dua. Waktu belajar disesuaikan dengan waktu luang warga. Setiap pekan, pertemuan digelar pada Rabu petang antara pukul 15.00 hingga 16.00 Wita.
Mereka belajar dengan kondisi serba kekurangan alat tulis. Peralatan belajar mengajar yang ada, seperti buku dan pensil, disediakan oleh Brigpol Kresna dibantu Kapolsek Kakulukmesak Polres Belu.
Tak hanya soal fasilitas belajar, Kresna juga harus memutar otak agar bisa mengumpulkan warga. Warga seringkali enggan berkumpul kalau tidak mendapatkan apa-apa.
Namun dengan berbagai pendekatan, puluhan bapak dan ibu itu akhirnya luluh juga. Kresna mengaku kesulitan karena terkendala bahasa. Rata-rata warga eks-Timtim itu tidak menggunakan bahasa Tetun, tetapi memakai bahasa Tokodede, salah satu bahasa asli masyarakat asal Maubara Timor Leste yang hanya digunakan masyarakat tertentu.
Kendala bahasa itu perlahan bisa diatasi. Para ibu rumah tangga yang tak pernah mengenyam pendidikan perlahan bersemangat mencari ilmu. Begitu pun dengan para bapak yang putus sekolah saat duduk di bangku kelas III SD, juga tak kalah semangatnya.
Untuk menampung warga yang mau belajar, Kresna meminjam halaman rumah Ketua RT 11/RW 03, Laurindu do Santos. Di bawah pohon, masing-masing peserta kelompok belajar membawa kursi sendiri dari rumah untuk belajar. Sementara, Kresna menyiapkan papan tulis dan spidol sebagai alat bantu mengajar.
Setiap akhir pelajaran, masing-masing peserta diberikan tugas menulis huruf dan kata seperti nama hari atau nama bulan dan nama masing-masing peserta. Pada pertemuan berikutnya, tugas tersebut dievaluasi bersama peserta.
Penurunan Angka Kriminalitas
Laurindu do Santos (53), salah seorang peserta kelas belajar mengungkapkan kegembiraannya atas terobosan dari anggota Polri tersebut. Warga eks-Timtim itu juga menjadi salah satu peserta bersama istrinya.
Dengan senang hati, ia juga meminjamkan halaman rumah sebagai tempat belajar. Kebanggaan lain yang dirasakan adalah sikap familiar polisi dalam melakukan pendekatan sehingga masyarakat dan polisi pun akrab serta memiliki kesatuan.
"Kami semangat dan senang ikut kegiatan ini. Sekarang kami sudah bisa mengenal huruf A sampai Z dan huruf gabungan," ujar ayah tiga orang anak ini yang mengaku sudah ikut kelas tersebut sejak Oktober 2016 lalu.
Ia pun antusias mengajak dan mendorong warga untuk ambil bagian dalam belajar membaca dan menulis ini. Waktu belajar pun disesuaikan sehingga tidak menganggu kegiatan ibu rumah tangga maupun kaum bapak untuk berkebun.
Mereka pun bersyukur karena polisi sudah berbuat banyak bagi warga mulai dari pemberantasan buta huruf hingga menekan angka kriminalitas di wilayah mereka.
Kelompok yang rata-rata diisi warga putus sekolah dan tidak pernah bersekolah tersebut, saat ini, sudah berkembang menjadi kelompok arisan maupun kelompok pekerja yang mengutamakan gotong-royong.
Hal lain yang dirasakan adalah adanya kemajuan bagi mereka sehingga selain bisa membaca dan menulis, mereka pun bisa berkomunikasi dengan lancar dengan warga lain yang berkunjung ke wilayahnya.
Mereka berharap adanya perhatian pemerintah daerah mendukung kegiatan tersebut karena disadari makin banyak warga buta huruf yang berminat untuk mengikuti kegiatan tersebut, sementara lokasi belajar dan sarana yang ada terbatas.
Kapolres Belu, AKBP Yandri Irsan secara terpisah mengatakan, sangat mendukung anggota yang mampu mendekatkan diri kepada masyarakat melalui kreativitas maupun inovasi yang dimiliki seperti yang dilakukan salah satu Bhabinkamtibmas di Polres Belu.
Mantan Kapolres Flores Timur ini berjanji akan terus mendorong dan memotivasi anggotanya. "Semenjak saya jadi Kapolres Belu, Brigpol Kresna makin semangat dan saya selalu memberikan perhatian khusus bagi anggota yang mampu berinovasi dan berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat," ujar Yandri.
Advertisement