Kisah Gereja Kayu Tanpa Paku yang Miring dan Tegak Sendiri

Meski dari kayu, gereja ini konstruksi bangunannya nyaris tanpa paku. Gereja ini juga pernah miring, namun tegak sendiri sebab tertiup angin

oleh Edhie Prayitno IgeFelek Wahyu diperbarui 25 Des 2017, 12:05 WIB
Diterbitkan 25 Des 2017, 12:05 WIB
Gereja Tanpa Paku Yang Terancam Bunyi Loncengnya Sendiri
GKJTU di desa Kaliceret, Mrisi Grobogan ini pernah miring dan kembali tegak setelah tertiup angin. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Grobogan - Ingin melihat gereja unik dan tua? Jika hendak bepergian dari Kabupaten Grobogan ke Kota Salatiga mata akan dimanjakan segarnya hutan yang dikelola Perum Perhutani. Sesaat sebelumnya, akan tiba di Desa Mrisi, Kecamatan Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan. Temukan bangunan dengan dominasi cat putih dan biru.

Bangunan itu adalah sebuah gereja yang sangat tua, lengkap dengan lonceng kuno yang dibuat dari konstruksi kayu. Lonceng itu ada di depan bangunan.

Selamat datang di Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU), di Desa Kaliceret, Mrisi, Kecamatan Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan. Salah satu gereja unik yang sudah sangat tua.

Usia bangunan kayu itu pada 2017 sudah menapaki 119 tahun. Ia tidak berbeda dengan bangunan milik warga yakni dengan material kayu sebagai kontruksi rumah. Adakah yang berdeda? Tentu. Meski dari kayu, gereja ini konstruksi bangunannya nyaris tanpa paku.

Secara arsitektur, bangunan gereja ini merupakan perpaduan Jawa-Belanda namun dengan kearifan lokal berbahan kayu. (foto: Liputan6.com/felek wahyu)

Menurut pendeta Agus Tri Harjoko yang memimpin umat Kristen di Tanggungharjo itu, Gereja yang dibangun tahun 1898 ini pernah nyaris roboh. Penyebabnya sepele, tertiup angin yang sangat kencang.

"Kalau ukuran hanya 10x20 meter saja. Dulu waktu miring, kami sempat gelisah. Namun puji Tuhan, bisa tegak sendiri. Penyebabnya juga sama, tertiup angin dari arah yang berlawanan," kata Agus Tri Harjoko.

Konstruksi bangunan yang lentur dan bisa miring untuk kembali lagi itu, kemungkinan besar karena ada plat besi pipih yang menempel di dinding kayu itu. Fungsi besi pipih itu menyerupai sabuk yang melingkar dan mengikat seluruh bangunan yang berarsitektur Jawa-Belanda.

"Itu sebabnya gereja ini unik dan nyaris tanpa paku. Ketika miring, umat sempat memberi penyangga di beberapa bagian gereja. Tapi, menjadi terkejut setelah gereja tegak sendiri," kata Agus Tri.

 

Terancam Bunyi Lonceng

Terancam Bunyi Lonceng
Menara dari beton dibangun di depan gereja agar suara lonceng tak membahayakan bangunan. (foto: Liputan6.com/felek wahyu)

Bangunan gereja, di masa penjajahan hingga awal kemerdekaan sempat menjadi satu bagian dari rumah sakit. Namun, dalam perkembangannya, mengikuti arah perkembangan keramaian daerah maka rumah sakit kemudian dipindahkan ke pusat kota Purwodadi.

"Gereja ini memang sudah lebih dari 100 tahun. Namun tidak banyak renovasi yang dilakukan. Hanya lantai yang dipasang keramik.

Di bagian depan ada sebuah bangunan yang berfungsi sebagai rumah lonceng. Lonceng ini sangat besar dan suaranya juga cukup keras. Ketika lonceng dibunyikan, getaran suara bisa dirasakan sampai tanah juga ikut bergetar.

Besarnya getaran itu, tentu saja membuat ratusan umat Kristen yang beribadah di gereja itu merasa khawatir. Mereka takut jika bunyi lonceng besar itu justru akan merusak seluruh bangunan.

Kemudian disepakati, dengan dana yang tersedia, umat Kristen setempat bergotong royong memindahkan lonceng itu. Ia harus dipindah dari tempatnya yang menyatu dengan bangunan gereja.

Semua masih asli sejak dibangun, termasuk altar dan kursi umat. (foto : Liputan6.com/felek wahyu)

Menurut Agus, atas kesepakatan umat, maka lonceng itu dibuatkan rumah tersendiri.

"Selain lantai kita memindah lonceng dari dalam gedung ke depan. Kita buatkan bangunan sendiri agar jika pas dibunyikan tidak merusak gedung," kata Agus.

Meskipun sudah dibuatkan rumah sendiri, bunyi lonceng itu memang memiliki frekwensi tinggi. Sehingga getaran akibat bunyi masih bisa dirasakan, meski sudah jauh berkurang. Bangunan gereja itu sendiri sesungguhnya bangunan peninggalan Zending yang masuk ke Indonesia bersama dengan penjajahan VOC antara abad 16 hingga abat 18.

"Ornamennya masih asli termasuk kursi dan altar tidak kita ubah," kata Agus.

 

Rahasia Kelenturan Bangunan

Rahasia Kelenturan Bangunan
Penggunaan rel kereta api di bagian bawah dan besi pipih yang serupa sabuk, membuat bangunan menjadi lebih lentur. (foto: Liputan6.com/felek wahyu)

Terkait bisa pulihnya bangunan yang miring, Djoko Setidjowarno, Dosen Teknik Sipil Universitas Soegijapranata, menjelaskan,  secara manajemen teknis penggunaan material kayu dilakukan terkait ketersediaan meterial untuk menyelesaikan bangunan.

"Tahun 1898 maka masih jaman penjajahan VOC. Dan kontruksi dibuat dengan memperhatikan segi keamanan dan kenyamanan penggunanya," kata Djoko.

Tidak saja kayu sebagai material, mengingat Kecamatan Tanggungharjo sebagai kecamatan dimana stasiun pertama di Indonesia didirikan maka tidak lepas keberadaan gereja menjadi satu kesatuan dengan pembuatan stasiun saat itu.

"Dalam kontruksi pekerja juga memanfaatkan besi rel diatas pondasi. Bangunan bisa kembali tegak, tidak lepas dari keberadaan besi sebagai pengikat bangunan sehingga bangunan tetap kokoh kendati sempat miring. Dan saat ada satu bagian tertarik angin, maka bagian lain ikut kembali tegak," kata Djoko. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya