Liputan6.com, Malang - Sejumlah pemuda membawa berbagai alat musik tradisional berupa angklung, jimbe, hingga kulintang. Rancak mereka memainkan tetabuhan itu sembari menyusuri jalanan Kampung Cempluk, Desa Kalisongo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Mereka sedang kothekan, istilah Jawa untuk memukul tetabuhan. Bebunyian yang dihasilkan diharapkan membuat Batara Kala atau raksasa memuntahkan kembali bulan yang ditelannya. Aksi mereka bertepatan fenomena gerhana bulan total atau Super Blue Blood Moon pada Rabu, 31 Januari 2018 malam.
"Dahulu, mulai anak-anak sampai orang dewasa akan memukul apa saja untuk menghasilkan bebunyian saat terjadi gerhana," kata Redy Eko Prasetyo, penggagas kothekan Kampung Cempluk.
Advertisement
Baca Juga
Mitos Jawa Kuno menyatakan Betara Kala menelan Bulan atau Matahari dan menyebabkan gerhana. Dulu, keriuhan bakal terdengar di tiap kampung jika terjadi gerhana. Lesung, kentongan, tampah dan alat lainnya bakal dipukul berulang agar Betara Kala memuntahkan kembali Bulan atau Matahari.
Tradisi kothekan itu sendiri semakin memudar. Apalagi berbagai alat tradisional itu semakin sulit didapat. Di zaman kini, banyak yang memilih mengabadikan momen Gerhana Bulan Total dengan kamera mereka. Pemuda di Kampung Cempluk itu berupaya tetap melestarikan tradisi kotekan.
"Kami ingin lestarikan tradisi kotekan, dengan menggunakan alat musik tradisional," ucap Redy.
Gerhana bulan total yang terjadi saat ini merupakan fenomena langka. Sebab, bulan menunjukkan tiga fenomena sekaligus, yakni Supermoon, Blue Moon, dan Gerhana Bulan Total. Fenomena ini disebut sebagai Super Blue Blood Moon.
Gerhana Bulan di Masa Jawa Kuna
Fenomena Gerhana Bulan Total di masa Jawa Kuno dituliskan dalam prasasti dan relief candi. Baik itu tentang mitos atau penanda peristiwa penting. Kata gerhana bahkan disebut-sebut berasal dari istilah bahasa Jawa Kuna yakni candragrahana.
Arkeolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, mengatakan prasasti tertua yang diperkirakan bertarikh 11 Maret 843 Masehi atau abad ke-9 menyebut adanya peristiwa Gerhana Bulan.
"Prasasti itu menggambarkan peristiwa candragrahana atau Gerhana Bulan, sebuah peristiwa yang dianggap sangat penting," kata Dwi.
Berikutnya, salah satu relief di Candi Belahan atau Sumber Tetek di Mojokerto, Jawa Timur. Relief menggambarkan candra sinahut kalarahu atau raksasa menelan Bulan. Ada dua pendapat berbeda tentang angka tahun relief itu, yakni menunjuk tahun 1009 Masehi atau 1049 Masehi.
Dwi Cahyono menyebut ada peristiwa bersejarah di relief Candi Belahan bertarikh 1049 Masehi tersebut. Yakni, meninggalnya Prabu Airlangga, Raja Mataram terakhir. Serta momentum terbelahnya kerajaan Mataram menjadi dua, yakni Kerajaan Kadiri dan Panjalu.
"Diibaratkan suasana kegelapan politik, sebagaimana gelapnya dunia saat terjadi gerhana total. Mitos Jawa Kuna, saat gerhana semua akan keluar mengejar raksasa agar tak ada kegelapan," ujar Dwi.
Sedangkan pendapat lain lugas menyebut relief di Candi Belahan Sumber Tetek itu menggambarkan gerhana bulan terjadi sekitar pukul 04.00 pada 7 Oktober 1009 Masehi. Detil angka ini berasal penggunaan sistem komputer yang menghitung mundur berdasarkan fenomena alam itu terjadi sebelumnya.
“Kapan fenomena gerhana terjadi lagi bisa diprediksi. Maka, dengan sistem komputer juga bisa diperkirakan kapan tahun terakhir fenomena itu pernah terjadi,” kata Dwi.
Advertisement