Wisata Malam, Menyingkap Kisah di Balik Urban Legend Bandung

Legenda urban Bandung kerap dikaitkan dengan tempat-tempat angker yang banyak ceritanya bikin bulu kuduk merinding.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 07 Mei 2018, 00:00 WIB
Diterbitkan 07 Mei 2018, 00:00 WIB
Wisata malam bertajuk Urban Legend Bandung dilaksanakan pada Sabtu, 5 Mei 2018.
Wisata malam bertajuk Urban Legend Bandung dilaksanakan pada Sabtu, 5 Mei 2018.

Liputan6.com, Bandung Urban legend atau legenda urban menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak lama. Bahkan sebagian besar mereka menyakini kebenaran dari cerita tersebut.

Tak terkecuali di Kota Bandung, Jawa Barat. Legenda urban yang diyakini ada itu hingga kini ceritanya dipelihara dan diwariskan dari generasi ke generasi lain.

Tak berbeda dengan kota lainnya di Indonesia, legenda urban Bandung kerap dikaitkan dengan tempat-tempat angker yang banyak ceritanya bikin bulu kuduk merinding. Namun di sisi lain tak banyak diketahui masyarakat adalah tempat-tempat tersebut terkait juga dengan sejarah perkembangan kota.

Soal benar atau tidaknya legenda urban itu pun perlu digali lebih dalam. Dalam sebuah kesempatan mengikuti tur bertajuk Bandung Urban Legend, Liputan6.com mendapatkan penjelasan tempat mana yang mitos dan bukan. Kegiatan wisata ini digelar oleh Mooibandoeng bekerjasama dengan Komunitas Aleut.

Wisata kali ini bertambah menarik karena dilaksanakan malam hari yakni pada Sabtu, 5 Mei 2018. Puluhan peserta tampak antusias untuk mendengarkan penuturan langsung dari dua pemandu Tegar Bestari dan Windi Sri Maulani.

Perjalanan dimulai dari titik kumpul di depan Bandung Planning Gallery, Jalan Aceh menuju Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution. Kata Tegar, di area taman pada siang hari semua tampak biasa saja. Namun, ketika beranjak pukul 9-10 malam, suasana taman mulai berubah.

“Tim Aleut baru ngeh waktu pertama kali survei jam 1 malam. Ada perbedaan mendasar antara penghuni taman utara dan selatan. Yang di utara ini menarik karena banyak dari mereka yang kondisinya tidak utuh,” kata Tegar.

 

Mendengar pemaparan Tegar, peserta tampak terperangah. Windi lalu menimpali, Taman Lalu Lintas adalah sebuah taman tropis yang dibangun pada saat era kolonial Belanda bernama Insulindepark yang mengoleksi berbagai tanaman keras dan bunga-bungaan. Setelah masa kemerdekaan, pada 28 April 1950 nama Insulindepark diganti menjadi Taman Nusantara yang kemudian berganti lagi menjadi Taman Lalu Lintas pada 1 Maret 1958.

Meski begitu, Windi mengaku masih perlu mengkaji lagi terkait sejarah sosok-sosok yang menampakkan diri di wilayah utara taman. "Masih perlu kajian, karena literasi terkait dengan sosok tersebut sampai sekarang memang belum ada," ujarnya.

Tempat berikutnya yang dikunjungi adalah Taman Maluku. Di taman ini, terdapat patung Pastor Hans Christian Verbraak. Konon, mata Verbraak seringkali kedapatan melirik mengikuti gerak-gerik orang-orang yang berada di halamannya. Kadang buku yang ia pegang terlihat berada di sebelah kanan, kadang juga ada di sebelah kiri.

Bahkan, yang tak kalah mistisnya kabar bahwa di bawah patung itu disemayamkan jenazah Verbraak. Padahal faktanya, kata Windi, Pastor Verbraak tak pernah menginjakkan kakinya di Bandung.

"Patung ini dibuat sebagai sebuah penghormatan oleh lembaga Dutch East Indian Army yang bertempat di Bandung. Tujuannya untuk menghargai jasa-jasanya dalam bidang kemanusiaan," tutur Windi.

Pastur yang melaksanakan tugasnya sebagai pendeta di Aceh 33 tahun itu, wafat pada 1 Juni 1928 di Magelang, Jawa Tengah. Patung Pastor Verbraak dibangun pada 27 Januari 1922 yang dirancang di Belanda oleh seniman G.J.W. Rueb.

Simak video pilihan berikut ini:

Gereja S. Albanus dan Rumah Kentang

Pram, anak dari Ibu Sumiati, salah satu saksi sejarah rumah freemason yang berada di Jalan Banda turut memperlihatkan koleksi yang masih bisa diselamatkan.
Pram, anak dari Ibu Sumiati, salah satu saksi sejarah rumah freemason yang berada di Jalan Banda turut memperlihatkan koleksi yang masih bisa diselamatkan.

Selain kedua taman tersebut, ada banyak fakta menarik di balik legenda urban Bandung lainnya dalam tur kali ini. Dua di antaranya adalah mengenai Gereja Katolik Bebas S. Albanus dan Rumah Kentang yang gembar-gembornya kerap ada penampakan.

Bangunan kuno pertama yang disambangi adalah gereja. Agak berbeda dengan lingkungan tetangganya yang ramai, Gereja S. Albanus justru sepi dan hanya halamannya saja yang ramai oleh mobil yang terparkir.

Dikatakan penutur, meskipun memakai nama Katolik, gereja ini sebenarnya tidak berhubungan dengan Katolik di Roma. Sejak awal didirikan, gereja ini banyak terpengaruh teosofi. Arahnya lebih ke Gerakan Zaman baru yang merupakan penggabungan ajaran barat dengan timur.

Saat ini bangunan dibiarkan kosong tak terpakai, sehingga menjadi tempat hunian favorit bagi makhluk tak kasat mata. Pada bagian belakang gereja terdapat rumah penjaga. Menurut pengakuan penjaga gereja, sering terdengar suara radio transistor berbunyi dan memainkan siaran pada masa Belanda meski radio itu sudah tidak ada.

Tegar, pemandu yang cukup sensitif mengatakan bahwa ia melihat makhluk-makhluk tak kasat mata berupa sesosok wanita sedang berdiri dan di belakangnya sosok lelaki berjubah hitam.

Melangkah dari Gereja S. Albanus, para peserta berkumpul di sebelah Rumah Kentang. Pemandu menjelaskan, rumah kentang yang berada di Jalan Banda kerat dikaitkan dengan kabar bahwa pada malam hari di sekitar rumah ini sering tercium aroma kentang yang menyengat.

Aroma kentang ini keluar konon karena di rumah tersebut pernah terjadi kecelakaan yang membuat seorang anak kecil tercebur ke dalam kuali besar ketika memasak kentang.

Untuk menjelaskan fenomena tersebut, Pram, tetangga Rumah Kentang mengatakan, fenomena yang dimaksud tidak pernah ada.

“Cerita itu hanya buatan dari luar saja. Saya pelajari tidak pernah ada kejadian seperti itu. Baunya kebetulan kentang direbus karena di sini dulunya banyak tanaman. Tapi selama saya dan orang tua tinggal di sini tahun 50-an tidak pernah ada bau kentang,” ujar Pram.

Pram justru lebih tertarik menjelaskan keberadaan Rumah Kentang sebagai loji freemason pertama di Kota Bandung. Loji ini bernama Hermes, menjadi yang teraktif dalam menyelenggarakan kegiatan freemason di Hindia Belanda pada masa itu.

Namun, pada masa pendudukan Jepang, loji Hermes tak digunakan lagi. Hal itu dikarenakan semua praktik freemason diberangus oleh pihak Jepang.

“Di zaman Belanda, rumah ini disebut loji Hermes, tempat berkumpulnya kaum kebatinan. Biasanya dipakai tempat diskusi dan yang menjadi anggota harus dites terlebih dulu,” kata Pram.

Pram, anak dari Ibu Sumiati, salah satu saksi sejarah rumah freemason yang berada di Jalan Banda turut memperlihatkan koleksi yang masih bisa diselamatkan.

Bala Keselamatan dan Sekolah Santa Angela

Dari gedung sekolah di Jalan Belitung, peserta melanjutkan perjalanan ke Gedung Bala Keselamatan.
Dari gedung sekolah di Jalan Belitung, peserta melanjutkan perjalanan ke Gedung Bala Keselamatan.

Malam semakin meninggi, para peserta masih terus melangkahkan kaki ke tempat tujuan berikutnya. Dari gedung sekolah di Jalan Belitung, mereka melanjutkan perjalanan ke Gedung Bala Keselamatan.

Gedung milik yayasan rohani asal Inggris ini didirikan pada 24 September 1917. Pada upacara peletakan batu pertamanya, ikut dibenamkan bersama batu penjuru sebuah kotak alumunium berisi buku doktrin Bala Keselematan, perintah dan aturan bagi prajurit Bala Keselamatan, undang-undang peperangan, serta strijdkreet dan penderita peperangan.

“Di sebelah situ ada prasasti isinya ada beberapa nisan dan tulang belulang para perintis Bala Keselamatan. Mereka dikebumikan pemakaman umum Pandu lalu dibawa ke prasasti ini,” kata Leo, petugas dari Bala Keselamatan.

Gedung Bala Keselamatan sempat diduduki tentara Jepang yang tiba di Jawa pada 13 Maret 1942 dan menjadikan bangunan ini sebagai salah satu markas. Setelah kemerdekaan Indonesia, pada September 1945, kantor ini kembali dalam keadaan porak poranda.

“Ada kegiatan semacam polisi rahasia yang sering mengintrogasi mata-mata (pejuang kemerdekaan). Ada penyiksaan, banyak perempuan diperkosa, dibunuh dan dibuang di sekitar lokasi ini,” Tutur Windi.

Setelah fakta-fakta yang terungkap di Bala Keselamatan, para peserta kembali berjalan menuju gedung Sekolah Santa Angela di Jalan Merdeka. Sejarah bangunan dan sekolah ini berawal dari tahun 1905. Lalu berkembang hingga pada tanggal 1 Juli 1921 dibukalah program Hogere Burger School (HBS) diawali dengan total murid 11 orang. Namun pada saat pendudukan Jepang, nasib sekolah ini pun turut terombang-ambing seiring dengan perintah tentara Jepang untuk menutup semua sekolah.

Para suster pengajar yang berkebangsaan Eropa sempat ditahan ke kamp tahanan di Biara Ursulinen, Jalan Supratman. Sebagian murid mereka bawa ke kamp tahanan dan kegiatan belajar mengajar tetap mereka lakukan di situ meski dalam kondisi yang memprihatinkan. Setelah lama disekap dalam kamp, pada Oktober 1945 para suster diperbolehkan kembali ke gedung Jalan Merdeka, meskipun salah satu suster senior yaitu Sr. Aquina van de Berg meninggal dunia karena disentri.

Di salah satu ruangan di lantai 2, Windi kembali melihat ada sosok yang orang biasa sulit melihatnya. “Sosok tersebut pernah bertemu para suster. Ini usianya sekitar 19-20 tahun,” ucapnya.

Dalam wawancara Windi kepada sejumlah orang yang sering melintas, makhluk tersebut kadang menampakkan diri. “Tapi dari kabarnya dia meninggal kekurangan nutrisi. Dan ini berbeda sekali dengan Nancy,” ujarnya.

Rangkaian tur yang diadakan Mooibandoeng dan Komunitas Aleut kali ini telah memberikan pengalaman menarik dan menyenangkan bagi para peserta meski juga membuat bulu kuduk merinding.

Setidaknya itu yang diungkapkan Ony Maharani (27). Mahasiswi program doktoral yang berasal dari Surabaya ini mengatakan, acara legenda urban Bandung ini menambah wawasan soal kota.

“Paling tidak ketika saya pulang bisa menceritakan bahwa Bandung punya cerita yang menarik. Ini juga yang menjadikan Bandung tempat yang berbeda dari daerah lainnya,” kata Ony.

Sementara, Dwika Rizki (21) menuturkan, di balik cerita urban legend yang hidup dan berkembang di Bandung terdapat nilai sejarah yang luput dari pengetahuan masyarakat selama ini.

“Bagi saya ini suatu kesempatan yang langka bisa masuk ke beberapa tempat yang punya nilai sejarah. Untunglah ada Komunitas Aleut dan Mooibandoeng,” ungkap lulusan Arsitektur Universitas Indonesia itu.

Pengalaman mendapatkan pengetahuan sejarah dengan cara tur ini juga dirasakan ibu rumah tangga. Fitria Yuliawati (36) mengatakan, kegiatan tur malam ini memberikan pengalaaman seru.

“Buat aku dengan tingkat stres tinggi karena selama ini mengurusi anak dan diam di rumah ini menjadi hiburan. Bukan cuma soal urban legend-nya tapi bangunan yang diceritakan itu menarik sekali. Yang pastinya akan aku ku ceritakan lagi ke anak-anak,” kata Fitri.

Windi, sang pemandu menambahkan, menceritakan urban legend tak melulu harus dikaitkan dengan hal-hal horor dan menakutkan.

“Misalkan, bangunan yang selama ini dianggap angker itu bisa dijelaskan dengan ilmiah. Ada bukti-bukti kejadian dan ini nyata terjadi. Selama ini jarang ada orang yang mau mencari latar belakang kejadian terjadi di suatu tempat,” jelasnya.

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya