Elegi Anak-Anak Pinggir Hutan Bayar Sekolah dengan Hasil Bumi

Hasil bumi itu dijejer di meja dan menjadi pertanda diterimanya mereka menjadi siswa sekolah alam MTs Pakis yang menjadi lembaga pendidikan alternatif bagi anak-anak pinggir hutan Banyumas

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 11 Jul 2018, 12:01 WIB
Diterbitkan 11 Jul 2018, 12:01 WIB
Senyum calon siswa sekolah alam MTs Pakis, Cilongok, Banyumas mengembang menerima kartu registrasi hanya dengan membayar memakai hasil bumi. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Senyum calon siswa sekolah alam MTs Pakis, Cilongok, Banyumas mengembang menerima kartu registrasi hanya dengan membayar memakai hasil bumi. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banyumas - Matahari baru mengintip di balik kabut lereng hutan Gunung Slamet. Seiring dengan itu, Saepuri (13) dan ayahnya, Darso, tergesa-gesa memasuki gerbang sederhana sekolah alam MTs Pakis Gunung Lurah, Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Selasa, 10 Agustus 2018, adalah hari kali pertama mereka hadir di sekolah untuk anak-anak pinggir hutan ini. Mereka khawatir telat. Meski sebenarnya, mereka menjadi calon siswa dan wali murid yang pertama kali tiba.

Mereka tergopoh berjalan kaki menyusuri hutan pinus dari Dusun Karanggondang, Desa Sambirata, yang terletak sekitar tiga kilometer dari sekolah alam MTs Pakis yang terletak di Dusun Pesawahan, Gunung Lurah.

Sang ayah, Darso, bersimbah peluh memanggul ketela pohon, bersama dengan pangkal batangnya yang dipotong pendek. Sementara, Saepuri, berpakaian rapi, tapi bukan seragam sekolah. Ia mengenakan kemeja dan celana panjang untuk ke sekolah alam ini.

Lain lagi dengan Nia Anzalia dan ibundanya, Waridah. Mereka menenteng dua ikat talas. Nia juga berasal dari Dusun Karanggondang, Sambirata, namun berbeda RT dengan Saepuri.

Berbeda dengan dua calon siswa MTs Pakis yang disebut mula-mula, Gayuh David dan ibunya, Karti, warga Pesawahan Desa Gununglurah, BAnyumas, membawa butiran kelapa. Mereka datang belakangan, ketika teman-teman seangkatannya sudah mendaftar ulang.

Hasil bumi atau pertanian itu bukan untuk dijual. Kelapa, ketela, dan talas itu digunakan untuk daftar ulang, sebagai prasyarat menjadi siswa baru di MTs Pakis.

Di luar ketela, kelapa, dan talas, calon siswa dan orang tua lainnya membawa aneka sayuran seperti pare, kacang panjang, wortel, kangkung, welok, beras, serta pisang.

Hasil bumi untuk daftar ulang itu dijejer di meja ruang kelas, dan akan menjadi pertanda diterimanya mereka menjadi bagian dari sekolah alam MTs Pakis yang menjadi lembaga pendidikan alternatif bagi anak-anak pinggir hutan ini.

Saksikan video pilihan berikut ini:

 


13 Anak Pemberani dari Lereng Gunung Slamet

Orang tua mengantar anak-anak menyambut masa depannya cukup dengan hasil bumi di sekolah alam MTs Pakis, Gunung Lurah, Cilongok, Banyumas,. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Orang tua mengantar anak-anak menyambut masa depannya cukup dengan hasil bumi di sekolah alam MTs Pakis, Gunung Lurah, Cilongok, Banyumas. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

"Tahun ini, kami meminta agar orang tua ikut berperan terhadap sekolah anaknya, yakni dengan membawa hasil bumi atau hasil panen pertanian," kata Kepala Sekolah MTs Pakis, Isrodin kepada Liputan6.com, kemarin sore.

Isrodin berujar, daftar ulang menggunakan hasil bumi ini bukannya tanpa pesan. Orang tua siswa diharapkan turut terlibat dalam pendidikan anak-anak di MTs Pakis yang menerapkan sekolah berbasis Agroforestry atau sekolah alam.

Sebabnya, dari orang tua lah, anak-anak ini pertama kali mengenal dunia pertanian, sebuah dunia yang bakal digeluti beriringan dengan akademik dan pendidikan ilmu agama.

"Tahun lalu daftar ulangnya menggunakan bibit tanaman pertanian. Sebelumnya lagi, alat-alat pertanian, Tahun ini hasil pertanian," Isrodin menerangkan.

Penerapan membayar daftar ulang dengan hasil pertanian kebun orang tua juga merupakan bentuk keringanan pihak sekolah kepada wali murid. Pihak sekolah paham, kebanyakan penduduk pinggir hutan berasal dari kalangan tak mampu atau miskin.

Mereka tak sanggup meneruskan pendidikan ke tingkat SLTP ke daerah bawah yang jaraknya sekian kilometer. Biaya dan transportasi menjadi ganjalan bagi anak-anak pinggir hutan lereng Gunung Slamet, Banyumas untuk merengkuh cita-citanya.

"Ya, rata-rata memang berasal dari ekonomi kebanyakan. Tidak mampu untuk meneruskan pendidikan, apalagi ke perkotaan," dia mengungkapkan.

Pada Selasa, 10 Juli 2018, sebanyak 13 siswa mendaftar ulang. Angka yang lumayan, dibanding tahun-tahun sebelumnya, yang hanya berjumlah delapan dan 10 anak.

 


Sekolah Alam yang jadi Sekolah Alternatif untuk Kaum Duafa

Kegiatan siswa MTs Pakis Cilongok, Banyumas, bertani dan belajar sesuai dengan kurikulum pendidikan nasional. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Kegiatan siswa MTs Pakis Cilongok, Banyumas, bertani dan belajar sesuai dengan kurikulum pendidikan nasional. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Bahkan, tahun ini MTs Pakis tak menelurkan satu lulusan pun. Empat anak yang mestinya berada di kelas 9, satu per satu terpaksa keluar.

Dua orang keluar lantaran merantau ke Jakarta, satu orang menikah, satu lainnya tak tahan duduk sendirian di kelas. Lagi-lagi, kemiskinan menjadi kendala pendidikan.

Masalah inilah yang dihadapi oleh MTs Pakis untuk meluluskan siswanya. Acap kali, mereka memutuskan berhenti sekolah lantaran tuntutan hidup keluarganya.

Tiga belas siswa yang mendaftar ulang hari ini, rata-rata bukanlah yang secara sadar mendaftar ke MTs Pakis. Sebagian besar mendaftar karena didatangi oleh para pendamping MTs Pakis.

Para orang tua disadarkan pentingnya pendidikan demi mengubah nasib. Anak-anak pinggir hutan ini dibujuk untuk melanjutkan sekolah.

"Kami menyisir ke penjuru desa. Dapatnya 13 anak ini, Alhamdulillah," ujarnya.

Isrodin pun yakin, jumlah 13 anak akan bertambah. Namun, jumlahnya tak akan sebanyak ini. "Paling hanya satu dua tambahnya," dia menerangkan.

Tahun 2018 adalah tahun ke-7 MTs Pakis beroperasi. Anak-anak lulusan terdahulu, kini sudah ada yang kuliah. Beberapa lainnya, meneruskan di Sekolah Kader Desa Brilian, sebuah pendidikan program paket C di Kampung Sidat, Desa Singasari Kecamatan Karanglewas, Banyumas.

Dua sekolah ini sama-sama menggabungkan pertanian, peternakan dan perikanan dalam kurikulum keseharian mereka. Dari hasil bumi atau peternakannya, mereka bisa menyambung asa untuk bersekolah.

"Yang sudah kuliah atau sekolah setingkat SMA menjadi pendamping mereka. Kakak kelas, atau senior juga ikut mendampingi," katanya.

Kemiskinan selalu menjadi masalah laten pada masyarakat pinggir hutan Gunung Slamet. Namun, kemiskinan bukan alasan untuk memupus cita-cita para pemberani. Dan MTs Pakis, menjadi pendidikan alternatif untuk menyambut masa depan nan cemerlang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya