Reaksi Warga atas Selebaran Wanita Dibatasi Jajan Malam di Warung Kopi

Selebaran standardisasi warung kopi di Aceh yang mengatasnamakan Pemkab Bireuen membuat heboh jagat maya. Dalam selebaran itu diatur salah satunya pembatasan pengunjung wanita di warung kopi.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 06 Sep 2018, 12:31 WIB
Diterbitkan 06 Sep 2018, 12:31 WIB
Selebaran Pemkab Bireuen
Selebaran standarisasi warung kopi di Aceh yang mengatasnamakan Pemkab Bireuen membuat heboh jagat maya. (Istimewa)

Liputan6.com, Bireuen - Selebaran standardisasi warung kopi di Aceh yang mengatasnamakan Pemkab Bireuen membuat heboh jagat maya. Pasalnya, selebaran berisi 14 poin aturan warung kopi bertanda tangan Bupati Bireuen Saifannur tersebut dianggap meminggirkan hak perempuan.

Di antara 14 poin ini, poin 7 dan 13 dianggap menyentuh kebebasan hak perempuan. Pada poin 7 disebut, "Dilarang melayani pelanggan wanita di atas pukul 21.00 WIB, kecuali bersama mahramnya". Adapun, poin 13 ditulis, "Haram hukumnya laki-laki dan perempuan makan dan minum satu meja kecuali dengan mahramnya".

Nisa, perempuan asli Aceh yang juga pencinta kopi saat dihubungi Liputan6.com, Rabu, 5 September 2018, mengatakan, aturan standardisasi warung kopi yang beredar di dunia maya itu sangat aneh, membingungkan, dan seperti dibuat-buat.

"Dilarang melayani wanita? Mengapa harus dilarang? Itu intimidatif sekali. Misal orang lapar, enggak boleh makan gitu? Haram satu meja, dari mana hukumnya kalau itu haram?" ungkap Nisa.

Nisa lebih jauh mengatakan, meski aturan ini secara teritori tidak masuk dalam wilayah tempat tinggalnya, dia merasa kasihan dengan wanita yang ada di Bireuen.

"Sedih juga. Kok ya imbauan semacam ini di Aceh sering sekali ditujukan ke wanita. Sebagai anak Aceh asli, saya yakin sekali, kami perempuan Aceh tahu bagaimana harus menempatkan diri," kata Nisa.

Dia menyadari penerapan syariat Islam di Aceh memang harga mati dan tidak perlu dipersoalkan. Hanya saja, aturan yang dibuat perlu dilihat dari berbagai sudut pandang dan disosialisasikan terlebih dahulu agar tidak menjadi polemik dalam masyarakat.

"Sebagai perempuan asli Aceh, saya berharap pembuat kebijakan perlu juga mempertimbangkan dan melihat dari banyak sudut pandang. Dalam case ini karena menyorot wanita, tanya dulu ke mereka, apakah mereka nyaman? Harapan saya ini hanya imbauan saja, tidak menjadi aturan baku," Nisa menambahkan.

 

Simak video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya