Liputan6.com, Bulungan - Di balik kemeriahan pesta budaya di Berau menyambut hari jadi Kota Tanjung Selor dan Kabupaten Bulungan 2018, ada yang sepertinya terlupakan.
Kemeriahan acara pesta budaya yang digelar hampir satu bulan itu, seolah melupakan keberadaan saksi bisu HUT Bulungan, yakni rumah dan bangunan kuno.
Tentu saja, perayaan hari jadi ke-228 Kota Tanjung Selor dan ke-58 tahun Kabupaten Bulungan, berawal dari jejak sejarah panjang tersebut.
Advertisement
Salah satu jejak sejarah atau bukti autentik tentang peristiwa masa lalu adalah keberadaan situs ataupun rumah tua dan bangunan kuno di wilayah itu. Penetapan hari jadi Kota Tanjung Selor dan Kabupaten Bulungan setiap 12 Oktober merupakan hasil seminar pada 8 Mei 1991.
Baca Juga
Berdasarkan bukti-bukti sejarah, hasil seminar tersebut menetapkan hari Jadi Kota Tanjung Selor pada 12 Oktober 1790 dan Kabupaten Bulungan pada 12 Oktober 1960.
Keberadaan rumah-rumah kuno di Tanjung Selor seperti menyimpan "misteri" karena hanya sebagian diketahui sejarahnya.
Sama seperti nama "Tanjung Selor" yang juga masih misteri atau belum ada penelitian khusus dan autentik, meskipun sudah jadi pemukiman sejak 1790.
Dilansir Antara, ada beberapa versi dari penuturan generasi ke generasi, yakni diyakini dari nama pohon kelor yang banyak tumbuh di tepian Kayan sehingga menjadi Tanjung Selor.
Penuturan lain, dari nama profesi seorang pelaut berkebangsaan Inggris yang oleh masyarakat setempat dipanggil dengan "Tuan Sailor".
Versi ketiga, berasal dari kondisi geografis adanya tanjung yang diapit dua "ilur" (sungai, bahasa Bulungan).
Sejarah berdirinya Kabupaten Bulungan tidak terlepas dari keberadaan Kesultanan Bulungan. Catatan sejarah menunjukkan bahwa pada 17 Agustus 1959, Kesultanan Bulungan menyatakan resmi bergabung dengan NKRI dengan upacara resmi pengibaran bendera merah putih di depan Istana.
Maka, pada 1959 Status Daerah Istimewa diubah menjadi Daerah Tingkat II Bulungan berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 1959.
Pada 12 Oktober 1960, digelar pelantikan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bulungan pertama, Andi Tjatjo, dengan gelar Datuk Wiharja (1960-1963).
Maka sejak itu, 12 Oktober diperingati sebagai Hari Jadi Kota Tanjung Selor dan Kabupaten Bulungan.
Berbagai acara meriah pun digelar, termasuk acara fenomenal, yakni "Biduk Bebandung", yakni penyambutan tamu agung (istimewa) melalui pendopo terapung.
Di pendopo terapung ini digelar tarian serta upacara adat menyambut tamu agung yang diundang secara khusus.
Biduk Bebandung telah mendapat sertifikat "Warisan Budaya Takbenda" (warisan budaya nasional) yang diserahkan Dr. Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud kepada Gubernur Kaltara Irianto Lambrie, pekan lalu.
Namun, di balik berbagai kemeriahan itu, justru banyak saksi bisu tentang sejarah lahirnya Kota Tanjung Selor dan Kabupaten Bulungan seperti terlantar.
Salah satunya sebuah rumah tua di Jalan Soetoyo Tanjung Selor. Tidak jauh dari Pespustakaan Daerah Bulungan masih berdiri sebuah rumah kuno bangunan Belanda. Dari depan kondisi rumah tua semi permanen tampak masih kokoh.
Cat putih dan biru untuk bagian les pintu dan jendela masih terlihat walau sebagian besar sudah mengelupas. Atap rumah bertiang itu masih menggunakan sirap (papan tipis kayu ulin). Namun, kondisi yang sudah hancur jika melihat dari samping kiri, kanan dan belakang rumah.
Rumah tua ini ternyata menyimpan cerita panjang tentang keberadaan kota Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr H Soemarno Sosroatmodjo.
Kakek Personel Slank
Rumah tua ini merupakan bagian dari serpihan sejarah panjang kota ini. Rumah tua ini dulunya merupakan tempat tinggal berkelas yang pernah didiami dokter Belanda, dan bupati kedua Bulungan, Damus Frans. Rumah kuno ini juga pernah ditinggali dr H Soemarno Sosroatmodjo.
Siapa kepala rumah sakit orang pribumi itu? Ternyata ia adalah ayah dari ibunda Bimbim, sekaligus manajer band Slank, Bunda Iffet. Jadi Soemarno Sosroatmodjo adalah kakek dari personel Slank, Bimbim dan Kaka.
Peran Soemarno Sosroatmodjo (bertugas di Bulungan 1962-1967) begitu besar dalam memajukan kesehatan di Bulungan sehingga pada 1984 namanya diabadikan untuk RSUD di Tanjung Selor.
Di rumah tua ini, dulu, pasti ada kehidupan, cinta, mimpi, harapan, bahkan sebuah benang masa silam yang merajut kehidupan masa kini. Masih banyak bangunan tua seperti ini di Bulungan, terlantar dan meregang maut.
Padahal, kelestariannya dijamin dalam UU 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Jika Pemda tidak cepat menyelamatkan cagar budaya itu, maka agaknya bukan tak mungkin pesta perayaan hari jadi kota ini nantinya kehilangan makna karena saksi sejarah sudah punah.
Tengoklah seperti daerah lain, misalnya Yogyakarta yang membanggakan dan melestarikan bangunan tua untuk sejarah, penelitian, ilmu pengetahuan, pariwisata, dan identitas daerahnya.
Saksikan video pilihan berikut ini: