Liputan6.com, Banjarnegara - Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Banjarnegara, Sutini Tri Hefisi, yang dipulangkan dari Singapura saat sakit parah akhir Oktober 2018 lalu meninggal dunia, 4 Desember 2018 usai menjalani operasi dan serangkaian perawatan.
Ada dugaan human trafficking atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO) pada kasus Sutini.
Indikasi TPPO itu salah satunya adalah ketidakjelasan data Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Swasta Indonesia (PPTKIS) yang memberangkatkan Sutini. Sejak diberangkatkan, nyaris seluruh dokumen Sutini ditahan. Seperti KTP, surat cerai, ijazah, dan dokumen lainnya.
Advertisement
Baca Juga
Selama di Singapura, kata Bangkit, Sutini hanya berbekal paspor dan permit. Selama di Singapura pula, Sutini diduga menjadi korban kekerasan dan sempat pula disekap.
Kuasa Hukum Keluarga Sutini dari LBH Sikap, Adhi Bangkit Saputra menilai ada unsur perdagangan orang dalam pemberangkatan Sutini. Sebab, prosedur administratif sebelum dan setelah pemberangkatan Sutini banyak yang dilanggar.
Selain itu, hak-hak Sutini sebagai pekerja migran pun tidak diberikan. Salah satunya, gaji yang tak jelas.
Selama bekerja di Singapura selama enam bulan, hanya sekali Sutini mengirim uang. Bahkan saat dipulangkan, Sutini hanya membawa uang Dollar Singapura yang jika dirupiahkan berjumlah sekitar Rp 2,4 juta serta mata uang rupiah sebesar Rp 180 ribu.
"Pengakuannya pihak calo ini, upah diberikan. Tetapi, pada kenyataannya, Sutini hanya membawa uang sejumlah Rp 2.400.000,” ucapnya, Jumat, 14 Desember 2018.
Indikasi TPPO lainnya, Sutini tak memiliki perjanjian kerja yang mestinya menjadi dokumen yang wajib diberikan sebelum pemberangkatan.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Upaya Litigasi dan Non Litigasi Kasus TKI Sutini
"Indikasinya semakin kuat, ketika syarat-syarat administratif pemberangkatan almarhumah Sutini ini tidak dilengkapi, tetapi dia bisa berangkat," dia menegaskan.
Indikasi lainnya adalah tidak dipenuhinya perlindungan Sutini sebagai pekerja migran. Misalnya, jaminan asuransi lewat BPJS yang secara undang-undang menjadi prasyarat pemberangkatan seorang pekerja migran.
"Seperti BPJS itu kan wajib. Dalam undang-undang perlindungan pekerja migran itu kan wajib. Bahkan ada sanksi pidana juga ada. Jadi semakin kuat bahwa ini adalah perekrutan yang dilakukan secara perorangan," ujar dia.
Indikasi-indikasi perdagangan orang, mulai dari ketidaklengkapan dokumen administratif, hak-hak pekerja migran yang diabaikan, penahanan dokumen, dan ketidakjelasan perusahaan yang memberangkatkan Sutini membuat keluarga dan tim kuasa hukum memutuskan untuk melaporkan kasus ini ke kepolisian.
LBH Sikap Banyumas selaku tim advokasi atau kuasa hukum melakukan langkah advokasi awal berupa pelaporan kepada Polres pada Jumat, 14 Desember 2018 atas terjadinya dugaan tindak pidana dalam kasus Sutini.
Setelah itu dilakukan langkah advokasi lainnya seperti membuat laporan aduan kepada badan atau instansi pemerintah terkait permasalahan yang dihadapi Sutini dan keluarga.
Selama langkah advokasi dan hukum berjalan, dukungan, simpati dan solidaritas kepada keluarga Sutini juga terus berdatangan.
Salah satunya telah menggalang dana peduli Sutini antara tanggal 12 November - 4 Desember 2018 oleh Front Perjuangan Rakyat Banyumas. Penggalangan dana tersebut berhasil menghimpun uang sejumlah Rp. 2.065.000.
Selain didampingi oleh LBH Sikap Banyumas, terlibat juga beberapa organisasi yang concern terhadap isu kemanusiaa. Di antaranya, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Cabang Banyumas, Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABARBUMI), Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Purwokerto, Pemuda Baru Indonesia (PEMBARU) Cabang Banyumas.
Advertisement