Akhir Damai Kasus Pemotongan Nisan Salib di Kotagede

Sultan Hamengku Buwono X menyebut kasus pemotongan nisan salib ini menjadi viral karena apa yang ditampilkan di media sosial tidak sesuai dengan kejadian asli.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 19 Des 2018, 14:36 WIB
Diterbitkan 19 Des 2018, 14:36 WIB
Makam salib digergaji
Makam salib digergaji (Solopos.com)

Liputan6.com, Yogyakarta - Peristiwa pemotongan nisan salib di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kotagede, Yogyakarta, sempat bikin heboh warga. Isu yang berkembang, Yogyakarta disebut-sebut sebagai daerah yang intoleran.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X membantah pemotongan nisan salib di TPU Kotagede Yogyakarta sebagai bentuk intoleransi warga Yogyakarta. Pasalnya, ada latar belakang kasus yang mencuat setelah viral di media sosial, Selasa (18/12/2018) yang berbeda dengan informasi yang beredar di media sosial itu.

Sultan menegaskan kronologi kasus pemotongan nisan salib tidak seperti yang beredar di media sosial dan tidak ada demonstrasi dari warga.

"Masalah ini sudah diselesaikan oleh Wali Kota," ujarnya di UGM, Rabu (19/12/2018).

Menurut Sultan, mayoritas masyarakat yang berada di wilayah itu beragama muslim. Ketika ada tetangganya yang berbeda agama meninggal, maka diputuskan untuk dimakamkan di daerah itu, ketimbang di tempat lain.

Kasus pemotongan nisan salib ini menjadi viral karena apa yang ditampilkan di media sosial tidak sesuai dengan kejadian asli. Anggapan Yogyakarta intoleran juga ditepis Sultan.

"Konsekuensi dianggap intoleransi karena diviralkan, padahal tidak ada masalah," tuturnya.

 

Tak Ada Konflik

Hal senada juga disampaikan tokoh masyarakat sekitar. Nur Hudin mengatakan, keluarga Slamet Sugihardi sebenarnya tidak mempermasalahkan hal tersebut.

"Ini jadi viral karena ada orang luar yang memviralkan. Keluarga itu sudah ikhlas. Kasihan mereka masih berduka," kata Slamet seperti dikutip laman Solopos.

Bedjo, tokoh masyarakat lainnya mengatakan, istri Slamet atas nama Maria Sutris Winarni juga sudah sepakat makam suaminya tak menyandang simbol agama.

"Warga bahkan ikut membantu proses pemakaman. Hanya saja memang tidak diperbolehkan untuk menggunakan simbol agama," katanya.

Sementara itu, Ketua RT setempat, Soleh Rahmad Hidayat, mengatakan pemakaman yang menjadi lokasi pusara Slamet merupakan kuburan muslim dan sudah disepakati warga dan pengurus kampung, selain juga ada aturan tak tertulis bahwa di pemakaman tersebut tidak boleh ada simbol agama.

Jika aturan itu dilanggar, kata Soleh, dikhawatirkan akan menimbulkan konflik di masyarakat.

"Ke depan, TPU tersebut akan dijadikan TPU muslim sebagai bagian dari kesepakatan warga," ujar Soleh.

Menanggapi hal itu, Kapolsek Kotagede Kompol Abdul Rochman mengatakan pemotongan salib tersebut sudah disepakati antara warga dengan keluarga. Mereka sepakat tidak ada simbol agama di pemakaman itu.

"Karena pihak keluarga setuju akhirnya (salib) dipotong. Kalau tidak setuju, mungkin tidak dipotong. Tapi di luar muncul isu-isu yang lain-lain," jelas Rochman saat berada di di Pesantren Nurul Umahat, Kotagede.

Rochman menjelaskan, berdasarkan kesepakatan secara resmi antara warga dengan keluarga, pada Selasa (18/12/2019), masalah dianggap sudah selesai. Tidak ada persoalan lagi.

Dia berharap agar media bisa membantu menginformasikan hal tersebut agar tidak menjadi viral. "Tidak seheboh yang ada di media sosial. Sekarang sudah kondusif," katanya.

Kronologi Pemotongan

Peristiwa itu bermula ketika Slamet Sugihardi meninggal dunia di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada Senin siang. Kepergian mendiang relatif mendadak. Ia dilarikan ke rumah sakit setelah tersedak makanan.

"Nyawanya tidak tertolong. Kemudian dirembuk rencana pemakaman. Setelah ada kesepakatan dengan warga setempat, Pak Slamet dimakamkan di makam kampung (TPU Jambon) yang tidak jauh dari kediamannya," kata Humas Gereja Santo Paulus Pringgolayan Banguntapan, Bantul, Albertus Sunarto, Selasa (18/12/2018).

Kebetulan, Slamet adalah seorang anggota jemaat gereja tersebut sehingga Sunarto juga ikut mengurus proses pemakaman.

Sunarto juga berembuk dengan salah seorang sesepuh warga, Bejo Mulyono, agar Slamet bisa dimakamkan di TPU Jambon.

TPU tersebut memang bukan TPU khusus muslim, tetapi mayoritas digunakan oleh warga muslim.

"Awalnya tidak ada masalah. Karena itu makam kampung, siapa saja bisa dimakamkan di sana. Sampai akhirnya sekitar pukul 13.00 WIB, ada semacam reaksi dari warga kampung. Mereka tidak membolehkan Slamet dimakamkan di tengah pemakaman tetapi di bagian pinggir. Oke, tidak ada masalah," kata Sunarto.

Pusaran yang awalnya berada di tengah, kemudian diganti ke pinggiran. Sebelum dikebumikan, ada permintaan lagi dari warga.

Menurut Narto, keluarga tidak diperkenankan melakukan doa-doa sejak pemberangkatan jenazah hingga proses pemakaman di TPU selesai.

"Oke tidak masalah. Keluarga juga sepakati itu. Proses pemakaman berjalan, sampai akhirnya saya mendengar kalau saat salib ditancapkan ke pusara, ada warga yang memotong salib dengan cara digergaji," katanya.

Salib yang dipotong tersebut tetap ditancapkan, termasuk bagian atasnya sudah terpotong. Praktis, hanya kayu berbentuk huruf 'T' saja yang tertancap di pusara Slamet.

Sementara itu, Bedjo, tokoh masyarakat setempat mengaku, ia bersama sejumlah warga memang menolak ada nisan berbentuk salib.

Alasannya, simbol agama Kristiani tersebut tak elok dipasang di blok pemakaman muslim.

Bedjo dan warga setempat tidak menolak pemakaman Slamet. Namun, mereka menuntut syarat. Salah satunya adalah tak ada simbol agama di makam tersebut.

"Dibolehkan dimakamkan di sana dengan syarat. Syaratnya tidak boleh ada simbol-simbol Nasrani dan makam berada di pinggir area," ujar Bedjo.

Bedjo membantah tudingan bahwa masyarakat Purbayan intoleran. Ia mengatakan, warga sekitar turut membantu proses pemakaman Slamet. Orang-orang, dari berbagai latar belakang keyakinan juga melayat ke rumah duka.

Secara terpisah, Ketua RW 13, Kelurahan Purbayan, Kotagede, Slamet Riyadi mengungkapkan, dalam prosesi pemakaman, warga ikut membantu keluarga mendiang Albertus Slamet Sugihardi.

Dia menambahkan, bantuan yang diberikan warga di antaranya adalah meminjamkan sound system, ikut mendirikan tenda untuk pelayat, bahkan juga ikut membantu kelancaran prosesi pemakaman.

Bahkan, Slamet Riyadi menambahkan, saat keluarga tengah berada di RS PKU Muhammadiyah untuk mengurus jenazah Albertus Slamet Sugihardi, warga justru sudah di rumah duka dan mempersiapkan keperluan pemakaman.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya