Yogyakarta - Kabar dugaan praktik intoleransi muncul di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebuah nisan berbentuk salib yang terpasang pada makam Albertus Slamet Sugihardi (60) dikabarkan dipotong warga Purbayan, Kotagede.
Insiden tersebut terjadi pada Senin 17 Desember 2018. Informasi soal peristiwa tersebut kemudian viral di media sosial dan aplikasi percakapan, memancing beragam komentar.
Advertisement
Baca Juga
Banyak pihak menyayangkan peristiwa tersebut terjadi. Apalagi, kasus ini terjadi di Yogyakarta yang diklaim sebagai kota yang kuat dalam menjunjung toleransi umat beragama dilansir Solopos.
Namun, sebelum bereaksi lebih jauh, ada baiknya kita simak fakta-fakta di baliknya.
Peristiwa itu bermula ketika Slamet Sugihardi meninggal dunia di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada Senin siang. Kepergian mendiang relatif mendadak. Ia dilarikan ke rumah sakit setelah tersedak makanan.
"Nyawanya tidak tertolong. Kemudian dirembuk rencana pemakaman. Setelah ada kesepakatan dengan warga setempat, Pak Slamet dimakamkan di makam kampung [TPU Jambon] yang tidak jauh dari kediamannya," kata Humas Gereja Santo Paulus Pringgolayan Banguntapan, Bantul, Albertus Sunarto, Selasa (18/12/2018).
Kebetulan, Slamet adalah seorang anggota jemaat gereja tersebut sehingga Sunarto juga ikut mengurus proses pemakaman.
Sunarto juga berembuk dengan salah seorang sesepuh warga, Bejo Mulyono, agar Slamet bisa dimakamkan di TPU Jambon.
Kesepakatan Warga dan Keluarga
TPU tersebut memang bukan TPU khusus muslim, tetapi mayoritas digunakan oleh warga muslim.
"Awalnya tidak ada masalah. Karena itu makam kampung, siapa saja bisa dimakamkan di sana. Sampai akhirnya sekitar pukul 13.00 WIB, ada semacam reaksi dari warga kampung. Mereka tidak membolehkan Slamet dimakamkan di tengah pemakaman tetapi di bagian pinggir. Oke, tidak ada masalah," kata Sunarto.
Pusaran yang awalnya berada di tengah, kemudian diganti ke pinggiran. Sebelum dikebumikan, ada permintaan lagi dari warga.
Menurut Narto, keluarga tidak diperkenankan melakukan doa-doa sejak pemberangkatan jenazah hingga proses pemakaman di TPU selesai.
"Oke tidak masalah. Keluarga juga sepakati itu. Proses pemakaman berjalan, sampai akhirnya saya mendengar kalau saat salib ditancapkan ke pusara, ada warga yang memotong salib dengan cara digergaji," katanya.
Salib yang dipotong tersebut tetap ditancapkan, termasuk bagian atasnya sudah terpotong. Praktis, hanya kayu berbentuk huruf 'T' saja yang tertancap di pusara Slamet.
Sementara itu, Bedjo, tokoh masyarakat setempat mengaku, ia bersama sejumlah warga memang menolak ada nisan berbentuk salib.
Alasannya, simbol agama Kristiani tersebut tak elok dipasang di blok pemakaman muslim.
Bedjo dan warga setempat tidak menolak pemakaman Slamet. Namun, mereka menuntut syarat. Salah satunya adalah tak ada simbol agama di makam tersebut.
"Dibolehkan dimakamkan di sana dengan syarat. Syaratnya tidak boleh ada simbol-simbol Nasrani dan makam berada di pinggir area," ujar Bedjo.
Bedjo membantah tudingan bahwa masyarakat Purbayan intoleran. Ia mengatakan, warga sekitar turut membantu proses pemakaman Slamet. Orang-orang, dari berbagai latar belakang keyakinan juga melayat ke rumah duka.
Secara terpisah, Ketua RW 13, Kelurahan Purbayan, Kotagede, Slamet Riyadi mengungkapkan, dalam prosesi pemakaman, warga ikut membantu keluarga mendiang Albertus Slamet Sugihardi.
Dia menambahkan, bantuan yang diberikan warga di antaranya adalah meminjamkan sound system, ikut mendirikan tenda untuk pelayat, bahkan juga ikut membantu kelancaran prosesi pemakaman.
Bahkan, Slamet Riyadi menambahkan, saat keluarga tengah berada di RS PKU Muhammadiyah untuk mengurus jenazah Albertus Slamet Sugihardi, warga justru sudah di rumah duka dan mempersiapkan keperluan pemakaman.
Baca berita menarik Solopos.com lainnya di sini.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement