Liputan6.com, Banyumas - Desa Nusadadi Kecamatan Sumpiuh Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah mendadak tenar. Kawanan buaya kerap menampakkan diri di Sungai Ijo dan Gatel yang mengalir di desa ini.
Karangtengah, salah satu dusun di Desa Nusadadi yang kerap menjadi lokasi penampakan buaya pun ramai dikunjungi masyarakat luar desa. Tentu saja, mereka penasaran dengan buaya-buaya liar yang bagi mereka asing.
Sungai Ijo bermuara di Logending. Sebuah muara yang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia atau Laut Kidul. Hutan mangrove atau bakau di daerah ini cocok untuk habitat buaya.
Advertisement
Diduga, buaya-buaya itu kerap naik ke hulu. Barangkali, untuk mencari makanan.
Melihat buaya di alam liar tentu berbeda dengan di kebun binatang atau penangkaran. Kesan seram hingga magis pun meruap. Benar-benar sensasional.
Baca Juga
Bagi masyarakat umum, buaya adalah hewan yang ganas, ditakuti, dan kalau perlu, disingkirkan. Namun, pandangan ini berbeda untuk warga Nusadadi. Bagi warga Nusadadi, buaya adalah berkah.
Kemunculan buaya muara itu telah melahirkan satu kawasan pariwisata, meski temporer. Masyarakat setempat pun bisa memperoleh pendapatan alternatif dari hewan bernama latin Crocodilus porosus ini.
"Ada yang karcis, berjualan makanan di sekitar sungai. Ini jadi potensi wisata bagi desa kami," ucap Kepala Desa Nusadadi, Ngalimin, Rabu, 19 Desember 2019.
Sebab itu, masyarakat Desa Nusadadi dan Pemerintah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah bakal menggelar festival perawan kondang, 22 Desember 2018 esok. Puncak festival ini adalah prosesi pakan buaya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Buaya Picu Geliat Ekonomi Alternatif Desa Nusadadi
Perawan Kondang sebetulnya adalah singkatan dari Pertunjukan Rawa Menawan dan Keroncong berdendang. Festival ini merupakan cara warga Nusadadi untuk mengangkat potensi yang dimiliki, termasuk alam sekitarnya.
Salah satu wujud harmonisasi dengan alam itu adalah puncak festival perawan kondang yang diisi dengan ritual pakan buaya, atau memberi makan buaya yang menghuni Sungai Ijo dan Gatel.
Kemunculan buaya itu membuat masyarakat memiliki pendapatan alternatif, antara lain, dari warung dadakan di area kemunculan buaya, parkir sepeda motor atau mobil, serta karcis masuk untuk melihat buaya di kedua sungai ini.
"Munculnya kadang di Sungai Gatel atau Sungai Ijo. Dusunnya, Karang Tengah," ujarnya.
Dia pun mengakui, saat ini kecil kemungkinan buaya akan menampakkan diri. Pasalnya, debit sungai sedang tinggi. Biasanya, saat debit tinggi, buaya akan menghilang.
"Terakhir kelihatan kalau tidak salah pada Juni atau Juli 2017," dia mengungkapkan.
Meski sudah lama tak muncul, bagi warga Nusadadi, ritual pakan buaya ini bukan sekadar memberi makan hewan liar. Bagi warga ini adalah wujud harmonisasi dengan tujuan melestarikan alam sekitar.
"Kalau saat ini kemunculan buaya kecil, cuma kami, terlepas dari cara kami mengangkat potensi Desa Nusadadi, ini sebagai bahasa untuk kita, untuk harmonisasi dengan alam sekitar," dia menjelaskan.
Ngalimin pun menerangkan, hidup dalam lingkungan yang berdampingan dengan buaya tidak dianggap sebagai ancaman. Masyarakat Nusadadi tidak menganggap buaya sebagai musuh yang harus ditangkap atau disingkirkan.
Sebaliknya, masyarakat Nusadadi berupaya menciptakan harmonisasi hidup dengan buaya sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Advertisement