Liputan6.com, Banda Aceh - Sejak 1 Januari 2019, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat terjadi gempa bumi sebanyak 27 kali di sejumlah wilayah di Indonesia. Dua di antaranya terjadi di Provinsi Aceh.
Kemarin gempa bumi menguncang Kota Sabang, Provinsi Aceh, pada pukul 09.53 WIB, dengan magnitudo 5,7 dan berpusat di 202 kilometer barat laut Kota Sabang. Sebelumnya, pada 9 Januari lalu, gempa bumi juga terjadi di 104 kilometer barat daya Kabupaten Aceh Barat, dengan magnitudo lebih ringan, yakni magnitudo 5,1.
Baca Juga
Kendati tidak berpotensi tsunami, hal ini sedikit banyak membuat warga Aceh resah. Bukan tidak mungkin, tiba-tiba gempa bumi terjadi dengan kekuatan yang lebih besar dengan daya rusak yang bisa meruntuhkan sebuah bangunan.
Advertisement
Salah satu wilayah yang paling berpotensi terjadi kerusakan berat akibat gempa bumi adalah Kota Banda Aceh. Mengingat kota ini menjadi sentral perekonomian dan kawasan yang paling pesat pembangunannya.
Secara tatanan tektonik dan kondisi geologi, Kota Banda Aceh duduk di atas cekungan yang berumur holosen, atau 10 ribu tahun, dan sangat muda berdasarkan umur geologi. Para geologist memberi sebutan untuk cekungan yang membentang dari kawasan Aceh Besar sampai ke Kota Banda Aceh sebagai cekungan Krueng Aceh.
Menurut peneliti dari Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Ibnu Rusydy, cekungan Krueng Aceh yang berumur muda terbentuk dari endapan aluvial (jenis tanah yang terbentuk dari endapan, red) terdiri dari kerikil, pasir, lanau, dan lempung. Endapan aluvial yang sangat muda atau berumur holosen ini, tidaklah padat, melainkan lunak.
Kelunakan endapan aluvial muda ini akan menyebabkan terjadinya penguatan amplifikasi atau goncangan tanah gelombang gempa bumi. Selain rentan terhadap penguatan amplifikasi, Kota Banda Aceh diapit oleh dua patahan Sumatra yang masih aktif, yaitu patahan segmen Aceh dan segmen Seulimuem.
Patahan segmen Aceh dan Seulimuem merupakan bagian dari patahan Sumatra dari Teluk Semangko di Lampung menerus sampai ke Provinsi Aceh. Masing-masing segmen menerus sampai ke Indrapuri-Mata Ie-Pulau Breuh-Pulau Nasi, dan Seulimuem-Krueng Raya-Sabang.
Belum lama ini, Ibnu Rusydy melakukan riset dan mencoba membuat model gempa bumi. Dia ingin memprediksi kerusakan bangunan yang akan terjadi, serta jumlah korban yang ditimbulkan akibat gempa bumi, khususnya, jika terjadi di Kota Banda Aceh
Rusydy melakukan pendataan jenis bangunan, jumlah lantai, peruntukan bangunan, kondisi geologi tanah dan air di Kota Banda Aceh. Pendataan tersebut untuk memprediksi tingkat kerusakan bangunan akibat gempa bumi yang bersumber dari segmen Aceh maupun segmen Seulimuem.
"Hal ini dilakukan, karena tingkat kerusakan bangunan sangat dipengaruhi oleh jenis konstruksi bangunan, jumlah lantai, kondisi geologi tempat bangunan berdiri, goncangan tanah akibat gempa bumi, dan pengaruh liquifaksi," kata Ibnu Rusydy kepada Liputan6.com, Kamis (17/1/2019).
Dia menyebutkan, apabila gempa bumi dengan magnitudo Mw (magnitudo momen) 7 bersumber dari segmen Aceh, diperkirakan masing-masing bangunan di kota Banda Aceh akan mengalami kerusakan antara 40-80 persen. Sementara, apabila gempa bumi dengan magnitudo Mw 7 bersumber dari segmen Seulimuem, maka masing-masing bangunan akan mengalami kerusakan antara 20-60 persen.
Jumlah korban yang ditimbulkan akibat gempa bumi, ucap Rusydy, tergantung daya rusak yang ditimbulkan oleh gempa bumi itu sendiri. Dalam hal ini, tergantung tingkat kerusakan bangunan atau reruntuhan yang menimpa para korban.
Jika Gempa Terjadi pada Malam Hari
Menurut Rusydy, apabila gempa bumi yang bersumber dari segmen Aceh atau Seulimuem terjadi pada malam hari, maka korban yang paling banyak terdapat di kawasan padat permukiman. Kecamatan Kuta Alam merupakan kecamatan yang paling rentan karena banyak dan padatnya penduduk di wilayah tersebut.
Kecamatan Syiah Kuala berada pada posisi kedua. Kecamatan Baiturrahman berada pada posisi ketiga apabila gempa bumi berasal dari patahan Sumatra segmen Aceh. Namun, apabila gempa bersumber dari segmen Seulimuem, Kecamatan Ulee Kareng berada pada posisi ketiga.
"Hasil dari penelitian ini merupakan perkiraan dengan kondisi terburuk dan semoga saja kita selalu siap ketika gempa bumi terjadi dan mampu meminimalisir korban jiwa," ujar dosen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala ini.
Advertisement
Rekomendasi
Berdasarkan penelitiannya, Rusydy merekomendasikan beberapa hal. Rekomendasi ini untuk meminimalisasi dampak yang ditimbulkan, melihat kondisi Kota Banda Aceh yang rawan terhadap gempa bumi dari patahan Sumatera segmen Aceh dan Seulimuem.
"Setiap pembangunan gedung, perumahan, dan jembatan harus mengikuti kaidah bangunan tahan gempa, bisa merujuk ke SNI 1726 - 2012. Studi bawah permukaan terkait kondisi tanah, baik itu metode seismik, geolistrik, N-SPT, CPT, dan lainnya, harus dilakukan sebelum sebuah tempat dijadikan kawasan pembangunan," sebutnya.
Menurut Rusydy, gempa bumi sering kali memicu bencana ikutan seperti di Palu, sehingga Survei Bathimetri laut di sekitar Kota Banda Aceh dan Aceh Besar harus dilakukan untuk melihat ada tidaknya potensi longsor yang bias memicu tsunami akibat longsoran bawah laut. Selanjutnya, pendidikan kebencanaan harus terus digalakkan guna memberikan pengetahuan kebencanaan sejak dini.
"Terakhir, simulasi atau drill, dan sosialisasi pengetahuan kebencanaan harus terus dilakukan untuk meningkatkan kapasitas dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana," pungkasnya.
Simak juga video pilihan berikut ini: