Liputan6.com, Semarang - "Ya wis aku lila yen omah iki arep mbok rebut, aku lila yen awakku sing wis tuwa iku mbok singkang-singkang, mbok ambrukke! Mbok singkirke…" (Baikah, aku ikhlas jika rumah ini hendak kau rebut, aku ikhlas jika tubuh tuaku ini kau telantarkan, kau buang, kau singkirkan)
Penggambaran emosi antara kemarahan, kesedihan, kesia-siaan, hingga kepasrahan begitu apik digambarkan dengan bahasa Jawa. Cuplikan itu bisa dibaca dalam cerkak (cerita cekak) atau cerpen bahasa Jawa berjudul "Pagupon Mbah Pon", gubahan Budi Wahyono.
Pagupon adalah kandang merpati. Biasanya hanya berbentuk kotak kecil dengan satu pintu tanpa jendela. Menurut Budi Wahyono, penggambaran pagupon sebagai rumah manusia sebenarnya sikap alam bawah sadar manusia Jawa untuk bersikap rendah hati.
Advertisement
"Jadi melalui bahasa Jawa itu, saya malah bisa bercerita dengan lebih klimaks. Diksi bahasa Jawa sangat kaya. Namun, saya tak memilih model diksi klasik, justru dengan diksi yang lebih kekinian, merakyat, keseharian, saya bisa bercerita lebih klimaks," kata Budi Wahyono menjelaskan alasan memilih setia berbahasa Jawa.
Advertisement
Baca Juga
Kekhawatiran sejumlah kalangan bahwa bahasa Jawa sebagai bahasa ibu semakin tersisihkan, dianggap sebagai peluang. Budi mengambil ceruk sastra dengan pasar yang sangat khusus sebagai upaya menambah dan menjaga nilai budaya.
Ia menuturkan bahwa menggunakan bahasa Jawa sesungguhnya bukan hanya menjaga budaya dan kearifan lokal saja. Namun, di dalamnya secara otomatis ada pembelajaran etika, nilai rasa atau kepekaan juga.
"Misalnya, seseorang yang biasa memanggil temannya dengan sebutan 'Mas', tapi tiba-tiba berubah menjadi 'Pak' atau 'Bapak' pada saat-saat tertentu ketika si teman tadi sudah menjadi seorang pejabat, bisa dipastikan ia sedang menyembunyikan sebuah maksud," kata Budi.
Dalam pergaulan Jawa, memang sangat lekat dengan basa-basi. Namun basa-basi yang disampaikan atau penghormatan yang berlebihan pada saat-saat tertentu, menunjukkan isi hatinya.
Cerita-cerita pendek berbahasa Jawa karya Budi Wahyono juga jauh dari bahasa sastra Jawa tingkat tinggi. Sebaliknya, secara sadar Budi memilih bahasa Jawa pasaran atau sehari-hari karena yang ia ceritakan adalah dunia sehari-hari masyarakat kebanyakan.
"Nanti malah 'njomplang' (tak seimbang) jika saya bercerita tentang dunia prostitusi jalanan, tapi menggunakan bahasa Jawa keraton," kata Budi.
Simak video pilihan berikut:
Â
Topografi dan Pengaruhnya
Bahasa Jawa memang mengenal struktur penggunaan. Ini sama dengan beberapa bahasa daerah lainnya. Namun, ragam bahasa Jawa yang ada dan masih hidup seperti Mataraman, Ngapak (Banyumas), Ngapak (Tegalan), Osing (Banyuwangi), Pesisiran, Keraton, dan ragam-ragam lain yang merupakan percampuran itu tak bisa disandingkan.
"Bahasa-bahasa itu memiliki kedudukan yang sama. Bahasa Ngapak (Banyumas) dan bahasa Ngapak (gaya Tegal) tak berarti salah satunya lebih halus atau lebih bergengsi. Semua terhormat," kata Budi.
Sementara itu budayawan Eko Tunas menyebutkan, bahasa ibu menunjukkan akar budaya dari mana penutur itu berasal. Ia memetakan bahwa ada tiga kelompok masyarakat yang secara umum memiliki ciri khusus.
Pertama adalah masyarakat yang tinggal di gunung atau pegunungan. Masyarakat gunung atau pegunungan ini karena sulitnya medan untuk hidup sehari-hari mereka sangat gemar bergotong-royong. Tentu saja dimaksudkan agar bisa mengatasi kesulitan hidupnya sehari-hari.
"Masyarakat ini cara bertuturnya sopan. Namun, aksen bahasanya keras secara volume. Awalnya untuk mengatasi kesulitan berbicara akibat jarak yang jauh," kata Eko Tunas.
Kedua, adalah kelompok masyarakat tengahan. Masyarakat ini biasanya tinggal di kawasan lembah atau tempat-tempat subur lainnya, sehingga hidup lebih mudah. Model masyarakat ini memiliki kebiasaan suka berpesta.
"Bentuk pesta bisa macam-macam. Salah satunya dengan syukuran. Bahasa yang digunakan relatif lebih pelan saat diucapkan," kata Eko.
Kemudian yang terakhir adalah kelompok masyarakat pesisir. Karena keseharian mereka berada di tengah laut dan bertaruh nyawa untuk bertahan hidup mencari makan, maka kecenderungan masyarakat ini juga keras. Berbicara apa adanya agar efektif.
"Biasa berpacu dengan waktu mempertahankan nyawa, sehingga gaya bahasa mereka sangat efektif," kata Eko.
Sepakat dengan Budi Wahyono, Eko Tunas juga tak mau membandingkan. Semua memiliki tingkat kesopanan dan strata penggunaan tersendiri di penggunanya. Namun tak dipungkiri bahwa ada anggapan bahwa bahasa daerah tertentu dianggap lebih halus dibanding daerah lain.
Anggapan bahwa ada daerah yang dianggap lebih halus ini sangat berkait erat dengan dominasi secara politik. Bahasa Jawa gaya Mataram dianggap paling halus karena mereka memiliki keraton sebagai pusat kekuasaan. Sementara bahasa Jawa pesisiran karena disampaikan secara terbuka dan efektif, sedikit basa-basi dianggap kasar.
"Ah itu hanya anggapan saja. Sebenarnya tidak demikian. Itulah sebabnya akhir-akhir ini muncul semacam gerakan kebanggaan menggunakan bahasa ibu. Misalnya seloroh 'ora ngapak ora kepenak'. Itu menunjukkan kebanggaan mereka," Budi Wahyono menambahkan.
Â
Advertisement
Masih Ada Suriname
Kembali ke awal tulisan ini yang mengutip penggalan cerita pendek Budi Wahyono. Dalam cerkak Pagupon Mbah Pon itu, Budi Wahyono menyentil tentang keberadaan seorang anak, meskipun anak tiri yang sering menjadi kerikil dalam urusan harta dunia.
Anak tiri Mbah Pon menginginkan agar rumah lapuk yang ditinggali Mbah Pon dijual. Mbah Pon berusaha mempertahankan. Namun, ia mesti menyerah dan menjual rumah itu. Kejutan terjadi di akhir cerita ketika Mbah Pon memilih pulang ke kampungnya di Wonogiri. Setelah dibagi-bagi, sisa penjualan rumahnya di kota ia gunakan untuk menikah dengan mantan istri Pak Mantri Kesehatan
Warga mengantar ke rumah barunya. Rumah yang lebih bagus dari yang dijual itu oleh Mbah Pon disebutnya sebagai pagupon atau kandang merpati.
Ternyata dari dalam rumah itu muncul sosok perempuan yang masih menyisakan garis kecantikannya. Ia adalah seorang pesinden di masa mudanya. Warga kaget. Ternyata Mbah Pon yang sederhana dan terlihat menderita itu malah mampu berpoligami sebagai salah satu jalan keluar mengusir kesedihan.
Begitulah. Bahasa Jawa sebagai bahasa ibu tetap memiliki pesona dan mampu mencipta drama-drama dalam karya sastra yang mudah dipahami. Tentu saja Budi Wahyono tak sendiri, ada Turiyo Ragilputra dari Kebumen, Djayus Pete dari Bojonegoro, Achmad Dalady dari Magelang dan sederet sastrawan-sastrawan bahasa Jawa lainnya.
Bahasa Jawa sebagai bahasa ibu tentu akan terus hidup. Apalagi jumlah penggunanya bukan hanya di Indonesia, tapi juga di Suriname masih sangat banyak. Hanya saja jika tak ada dukungan dari masyarakat dan negara hadir dalam pengembangannya, tentu akan semakin bergeser dan hilang identitasnya.