Cerita Mistis di Balik Keasrian Kampung Naga

Berbicara eksotisme dan keasrian kampung Naga yang berada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, memang tidak ada habisnya, termasuk soal mistis.

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 04 Mar 2019, 03:03 WIB
Diterbitkan 04 Mar 2019, 03:03 WIB
Kampung naga dengan latar belakang leuweung larangan
Kampung naga dengan latar belakang leuweung larangan (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Tasikmalaya Berbicara eksotisme dan keasrian Kampung Naga yang berada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, memang tidak ada habisnya.

Perkampungan yang konon dihuni oleh leluhur suku asli Sunda ini menawarkan ragam cerita unik yang perlu diketahui masyarakat luas. Mulai soal kesederhanaan, hidup rukun dengan memegang teguh adat tradisi leluhur mereka, termasuk soal hubungannya dengan alam sekitar.

"Istilahnya pamali (tabu) kalau dipantang," ujar Endut Suganda, salah satu tokoh masyarakat Kampung Naga, dalam obrolan hangat dengan Liputan6.com, Sabtu (2/3/2019) petang.

Menurutnya, tradisi dan adat istiadat kampung Naga, yang telah diwariskan secara turun menurun, harus diikuti oleh seluruh masyarakat tanpa kecuali.

"Kami tidak boleh menentang apalagi melawan tradisi," ujarnya.

Di tengah kemajuan teknologi dan informasi saat ini, mereka seakan ‘keukeuh’ dan loyal terhadap tradisi nenek moyang. Mereka menolak adanya intervensi dari pihak luar, termasuk soal menjaga kelestarian kampung, dari rencana tangah jahat manusia.

"Di kami itu ada yang namanya leuweung (hutan) larangan, dari dulu sampai sekarang dan seterusnya tidak boleh ada yang mengganggu, biarkan begitu saja," ujarnya menambahkan.

Di hutan tropis seluas 1,5 hektare itu tumbuh rindang ragam tumbuhan dengan rentang usia ratusan tahun. Konon di hutan itu, mereka meyakini tempat para leluhurnya di semayamkan.

"Kalau pun ada yang tumbang, kami tidak berani memindahkannya, biarkan saja, istilahnya mendingan beli kalau butuh kayu," kata dia.  

Ribuan pepohonan dengan diameter cukup besar, tampak memayungi wilayah itu, letaknya yang bersebelahan dengan kampung Naga, hanya dipisahkan oleh aliran sungai Ciwulan yang bersumber air dari gunung Cikuray, Garut.

"Kalau hutan larangan memang dari dulu begitu, siapa yang berani melanggar," ujar Urya, salah seorang pemandu wisata, yang ikut menemani perjalanan.

Bagi masyarakat Kampung Naga, istilah pamali, tabu atau pantangan memang sebuah kewajiban yang merupakan hukum tak tertulis yang wajib ditaati masyarakat. Termasuk soal menjaga kelestarian leuweung larangan itu.

Salah sedikit atau ada orang yang berani melanggar, termasuk dengan menebang secara sengaja pohon di sana, maka malapetaka siap menghantuinya.

"Silahkan tanggung sendiri akibatnya, kan sudah diingatkan," ujar dia mengingatkan.

Tak mengherakan, meskipun hutan tersebut terbilang tua, namun hingga kini masih terjaga keasrian dan kealamiannya. "Saat perkampung naga dibakar, leuweung larangan tetap saja begitu," ujar Urya.

Tugu Kujang Raksana

Tugu Kujang raksana di halaman parkir Kampung naga, Tasikmalaya
Tugu Kujang raksana di halaman parkir Kampung naga, Tasikmalaya (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Selain leuweung (hutan) larangan yang tetap dipertahankan hingga kini, area lain yang kerap menjadi misteri bagi pengunjung adalah ‘Tugu Kujang Pusaka’ yang berada di area parkir utama kampung Naga.

Bangunan setinggi hampir delapan meter itu, memiliki satu senjata kujang rakasasa dengan tinggi hingga 5,5 meter, sementara beratnya mencapai 800 kilogram atau sekitar 8 kuintal.

"Kujang itu asli bukan aksesoris (duplikasi)," ujarnya Endut.

Menurutnya, pembangunan tugu kujang raksana diprakarsai mantan Kapolda Jabar Anton Charliyan. Saat itu, Anton yang doyan mengoleksi banyak benda pusaka, memiliki ide untuk membangunkan sebuah bangunan yang menjadi ciri khas Kampung Naga, termasuk ikon daerah sekitar.

Dalam pengerjaannya ujar dia, ada sekitar 999 keris, benda pusaka dan benda logam bertuah lainnya, yang dileburkan menjadi satu benda kujang raksasa.

"Saat awal diresmikan banyak kejadian aneh yang rasakan warga sekitar," ujar dia kembali mengingat pembangunan tugu, yang dibangun pada 2009 lalu itu.

Tak jarang beberapa pengunjung mendapatkan keanehan saat mengabadikan tugu tersebut melalui jepretan foto, namun hasilnya nihil.

"Gak tahu gak terlihat saja di kamera, padahal saya sendiri melihat jelas tugu itu," ujarnya.

Bahkan beberapa di antara pengunjung sempat melihat jika tugu tersebut tidak terlihat sama sekali. "Tapi Alhamdulillah sekarang sudah mulai menyatu dengan masyarakat sekitar," kata dia sambil tersenyum.

Endut menyatakan, banyaknya fenomena gaib atau lazim saat pertama kali tugu kujang diresmikan memang tidak aneh. Sebabkujang pusaka berasal dari ratusan benda pusaka dan logam bertuah yang dileburkan.

"Kan setiap barang pusaka ada penunggunya, apalagi ini dileburkan menjadi satu, wajar saja (ada tuahnya)," ujarnya.

Namun seiring berjalannya waktu, keberadaan tugu kujang raksasa justru semakin diminati pengunjung, hal yang berkenaan dengan berbagai ‘keanehan’ bangunan itu, dengan sendirinya luntur. "Malah sekarang di dekatnya saja banyak yang jualan, lihat saja," kata dia sambil menunjuk ke arah tugu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya