Banjarmasin - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Banjarmasin, Kalimantan Selatan, menangkap empat calon anggota legislatif dalam patroli anti politik uang. Keempat caleg itu adalah MS, NV, TN dan NL. Mereka diduga bagi-bagi uang selama masa tenang.
Kabar tersebut sebelumnya telah merebak di masyarakat, khususnya di Kota Banjarmasin. Kabar simpang siur itu adalah terjadinya operasi tangkap tangan (OTT) oleh pihak berwajib di Banjarmasin.
"Bukan OTT. Tapi temuan dugaan praktik politik uang. Jangan disamakan dengan OTT versi KPK. Kami tidak sehebat itu," kata Koordinator Divisi Penindakan Pelanggaran Bawaslu Banjarmasin, Subhani, dikutip dari Jawa Pos, Selasa, 16 April 2019.
Advertisement
Baca Juga
Dugaan politik uang atau serangan fajar itu terjadi terpisah. MS dan NV beraksi pada Senin, 15 April 2019 malam di sebuah kawasan di Banjarmasin Tengah. Tindakan tercela itu terendus berkat laporan warga. Panwaslu kecamatan setempat pun langsung bergerak.
"Karena di lapangan kami cuma mendapati barang buktinya saja. Berupa amplop dan uang yang sudah dibagikan orang-orang suruhan kepada masyarakat. Jadi, bukan menangkap tangan calegnya," ucapnya.
Dari penyisiran lokasi, MS dan NV memang tidak ada di tempat. Namun, Panwaslu menemukan amplop berisi uang Rp50 ribu. Di dalamnya juga diselipkan selebaran kampanye.
"Lengkap dengan foto caleg, nama, dan logo partainya," sebutnya.
Peristiwa kedua dari Banjarmasin Timur terjadi pada Selasa, 16 April 2019 sore. Patroli Panwaslu kecamatan kembali menemukan hal serupa. Namun, kali ini nominal politik uangnya lebih besar.
"Isi amplopnya variatif. Antara Rp50 ribu sampai Rp100 ribu," tukasnya.
Jerat Hukum
Bawaslu kini terus mengumpulkan bukti-bukti. Jika kajian menyatakan kasus ini cukup kuat, bisa dilimpahkan ke Sentra Gakkumdu. Keempat caleg itu diancam tindak pidana pemilu. Terkait politik uang pada masa kampanye, masa tenang, maupun pada hari pemungutan suara.
"Diduga melanggar Pasal 523 Ayat (2) Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Ancamannya penjara paling lama empat tahun, ditambah denda maksimal Rp48 juta," pungkasnya.
Sementara itu, koalisi organisasi masyarakat sipil menyerukan pemilu damai dan bersih di Kalsel. Ketua Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Kalsel, Samahuddin Muharram, mengimbau pemilih melupakan amplop yang sudah diterima.
"Mau Rp 300 ribu atau cuma Rp 50 ribu. Ketika di bilik suara, coblos lah sesuai pilihan hati," serunya pada acara kopi darat di Banjarmasin, Selasa, 16 April 2019 sore.
Sebagai mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalsel, Samahuddin paham betul bahwa politik uang sudah membudaya. Bahkan, orang tak lagi malu-malu membicarakannya.
"Bahkan banyak yang mengaku menunggu diserang," ucapnya.
Rekannya, Taufik Arbain membeberkan hasil survei pada Oktober 2018 di Kalsel. Sebanyak 60 persen responden menyatakan akan menerima amplop yang diberikan timses. Sebagian besar responden berasal dari kelas ekonomi bawah.
Yang menarik, mayoritas responden menegaskan takkan mematuhi suruhan si pemberi uang. "Istilah orang Banjar adalah menjarai (menghukum). Ambil duitnya, jangan coblos orangnya," jelas Taufik.
Ironisnya, ketika ditanya apakah mereka akan mendiamkan atau melaporkan serangan fajar tersebut, sangat sedikit yang menjawab iya. "Pada dasarnya, mereka menghindari terlibat masalah," ucapnya.
Taufik mengibaratkan praktik politik uang seperti jaringan terorisme. "Anda tangkap sel bawahnya, pasti putus. Tidak akan terungkap sampai sel atas," tukasnya.
Baca juga berita menarik lainnya di Jawaspos.com
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Advertisement