Liputan6.com, Bangkalan - Tiap 31 Mei, dunia memperingati Hari Tanpa Tembakau. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menggagas peringatan ini karena tingginya angka kematian akibat rokok.
Pada 1987, tahun saat WHO menggagas hari tanpa tembakau itu, tercatat 5,4 jiwa penduduk dunia meninggal karena rokok dan 900 ribu di antaranya merupakam perokok pasif. Maka, WHO menyerukan tiap 31 Mei seluruh perokok tidak merokok selama 24 jam.
Advertisement
Baca Juga
Tapi, ada baiknya kita merayakan Hari Tanpa Tembakau sedunia tahun 2019 ini dengan menengok sejarah masuknya tembakau di Pulau Madura. Sebab, menurut data Disperindag Jawa Timur, produksi tembakau di provinsi ini menyumbang 35 persen kebutuhan tembakau nasional. Madura menjadi wilayah dengan produksi tembakau tertinggi dibanding daerah lain di wilayah bekas jajahan Mataram ini.
Pada 1980, Guru Besar Universitas Gajah Mada, Profesor Kuntowijoyo mengambil gelar PhD di Universitas Columbia Amerika. Dia lulus dengan disertasi berjudul: "Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940". Disertasi ini kemudian dibukukan dengan judul yang sama.
Lewat buku babon setebal 713 halaman inilah, kita akan menelusuri sejarah tembakau yang oleh orang Madura dijuluki 'daun emas'. Sebab, di masa kejayaan tembakau, tiap selesai panen, dealer- dealer sepeda motor akan kehabisan stok karena diborong orang Madura.
Tebu dan Kapitalisme
Tembakau di Madura erat kaitannya dengan tebu. Di masa lalu, tebu adalah simbol kapitalisme. Tahun 1870 jadi penanda masuknya kapitalisme di Indonesia. Di tahun itu, Pemerintah Hindia Belanda membuat beberapa peraturan baru yang mengubah Indonesia dari sistem jajahan ala VOC menjadi sebuah jajahan yang bersistem liberal.
Perkebunan yang dulunya dimonopoli pemerintah, kini boleh diusahakan modal-modal swasta. Sistem kerja paksa dan rodi dihapus dan diganti dengan sistem kerja upah secara bebas.
'Mulai sejak itu mengalirlah modal-modal asing ke Indonesia, menggarap pertambangan, perkebunan dan pabrik-pabrik,"
"Walaupun pengusaha- pengusaha perkebunan tidak dapat memiliki tanah, namun mereka dapat dan berhak menyewa dari Pemerintah atau "Bumiputra”. Dan dengan kekuasaan uangnya mereka berhasil memaksa desa-desa menyewakan tanah-tanah desa dan biasanya dengan memberikan premi tertentu kepada kepala-kepala desa,"
"Mulai dari sekitaran Cirebon, Pekalongan, Semarang dan terus ke Solo dan Yogyakarta berhamparan kebun-kebun tebu. Tetapi kehidupan kaum buruh dan tani yang menggerakkan produksi tebu dan pabrik gula itu, kian lama kian buruk," Tulis Soe Hoek Gie dalam 'Di Bawah Lentera Merah'.
Bila merujuk Soe Hoek Gie, maka sejarah tebu di Madura lebih lama dari Jawa. Dokumen-dokumen Belanda menyebut tebu telah masuk ke Madura sejak 1835 atau 35 tahun sebelum tebu meluas di pulau Jawa. Tebu pertama diperkenalkan satu kongsi pengusaha dari Eropa.
Ujicoba penanaman pertama di lahan-lahan milik Kerajaan Pamekasan dengan luas tak lebih dari 400 bau. Bau atau bouw bermakna: garapan dalam bahasa Belanda, adalah satuan hitungan tanah di jaman pemerintahan kolonial. 1 bau setara 0,74 hektar.
Ketika sistem kerajaan di Madura dihapus oleh Hindia Belanda pada 1858, penanaman tebu dilanjutkan oleh pemerintah kolonial dan panennya terus meningkat hingga mencapai 10 ribu pikul pada 1860, sehingga sangat menguntungkan pemerintah regional Madura saat itu.
Maka areal tanaman tebu pun diperluas ke seluruh penjuru pulau, mulai dari Sumenep, Sampang dan Bangkalan. Belanda bahkan sampai membangun pabrik gula di Pamekasan.
Namun, kian lama, produksi tebu di Madura terus menurun bahkan kwalitasnya makin jelek. Di luar persoalan itu, yang baru disadari pemerintah Hindia Belanda, perluasan areal perkebunan tebu telah merusak areal tanaman pangan lain seperti jagung dan padi yang gagal tumbuh karena cadangan air dalam tanah telah diserap habis oleh tebu. Madura sampai dilanda kekeringan parah.
Advertisement
Tebu Dulu, Tembakau Kemudian
Ketika bisnis tebu tak lagi manis, tiga usahawan Belanda memperkenalkan tembakau pada 1861. Penanaman pertama di Desa Pradopo, Pamekasan, kini desa itu bernama Proppo. Tidak seperti tebu yang menggunakan sistem tanam paksa, tembakau menggunakan sistem kerja kontrak, dimana perusahaan menyediakan bibit dan buruh mendapat upah.
Tidak ada catatan berapa luas lahan yang ditanami tembakau tahun itu. Namun, nampaknya meluas karena selain di Pradopo, Belanda juga meneken kontrak dengan petani di wilayah kota Pamekasan dan Desa Bunder. Dan produksi tercatat meningkat, pada tahun 1863 sebanyak 264 pikul, tahun 1864 sebanyak 320 pukul dan tahun 1865 dipanen 320 pikul.
Di tahun itu, tembakau mulai ditanam juga di Sumenep dan Sampang. Dalam perkembangannya, produksi tembakau Sumenep melampaui Pamekasan, hal ini terlihat dari luas lahan. Pada 1880 di Pamekasan hanya 279 bau. Di Sumenep sudah mencapai 3671 bau pada tahun 1884.
Ketika pecah Perang Dunia I, menjadi momen bagi tembakau Madura menembus pasar Eropa. Namun kemudian rusak karena produsen tembakau di Surabaya tak bisa menjaga mutu sehingga ditolak pasar Eropa.
"Pada 1919, hanya tersisa satu produsen yang bertransaksi ekspor tembakau Madura dengan Eropa," tulis Kuntowijoyo.
Meski tembakau Madura telah rusak reputasinya di pasar Eropa, namun tetap berjaya di pasar lokal. Pengiriman tembakau di Waru, Bunder dan Ambunten di Sumenep bertambah ramai. Sebaliknya tebu makin ditinggalkan, pada 1922 di Pamekasan misalnya sudah tak ada lagi tanaman tebu sementara ladang tembakau mencapai 2.804 bau.
"Tembakau diminati petani karena bisa beradaptasi di berbagai jenis lahan," tulis Kuntowijoyo.
Dan ini yang miris, sejak dahulu penanaman tembakau telah melibatkan pekerja anak, bahkan jam kerjanya lebih banyak dari pekerja dewasa. Dalam satu hektar lahan, pekerja dewasa bekerja selama 9000 jam. Sedangkan pekerja anak mencapai 17 ribu jam.
Upahnya pun jomplang. Pekerja anak hanya dibayar 1 sen pe rjam. Sedangkan pekerja dewasa 3 sen per jam. Pelibatan anak-anak ini karena tembakau menjadi usaha berbasis keluarga.