Makna Lain Budaya dan Teknologi di Culturistik 2019 USM

Banyak anak muda berprestasi tapi tak mendapat penghargaan dari negara.

oleh Felek Wahyu diperbarui 03 Jul 2019, 08:28 WIB
Diterbitkan 03 Jul 2019, 08:28 WIB
tedjo
Budayawan Sudjiwo Tedjo berceramah di depan mahasiswa Universitas Semarang tentang kebudayaan dan teknologi. (Foto: Liputan6.com / LInda / Felek Wahyu)

Liputan6.com, Semarang - Culturistik 2019, sebuah acara yang dihelat Himpunan Mahasiswa Fakultas Teknologi Informasi dan Komunikasi (FTIK) Universitas Semarang (USM), Selasa 2 Juli 2019, menghadirkan Sudjiwo Tedjo sebagai penyuntik motivasi. Banyak hal yang bisa diambil dari acara tahunan ini.

Sebelum Sudjiwo Tedjo, tampil Edhie Prayitno Ige, praktisi seni dan budaya di Semarang. Mereka berdua membahas persoalan yang sama, yakni menjawab kegelisahan para mahasiswa yang belum menemukan passion.

Sudjiwo Tedjo menyebutkan bahwa saat ini terlalu banyak orang saling menyalahkan. Akibatnya terjadi kecemasan, kegelisahan bersama.

"Salahnya dimana? Pertama, karena suka membandingkan diri dengan orang lain. Selalu memaksa diri menjadi berguna dengan teknik sama seperti orang lain lakukan," kata Sujiwo Tejo.

Hal-hal yang disampaikan Tedjo itulah yang sering membuat bingung banyak anak-anak muda. Mereka yang tak punya akar budaya kuat, akan menempatkan kemajuan teknologi sebagai pihak yang mempermudah melihat keberhasilan orang lain.

"Hiduplah kamu seperti obat nyamuk. Yang muter dari sisi luar yang besar, lama-lama berputar ke sisi yang kecil," kata Tedjo.

Mencoba beragam hal yang sangat umum dan lama-lama akan mengerucut di bagian yang paling kita disukai.

Sebagai budayawan, Sudjiwo Tedjo yang siang itu mengenakan sarung seperti biasanya menyebutkan bahwa budaya tidak dapat dikotak-kotakkan. Semua kegiatan manusia mulai bangun hingga tidur lagi adalah budaya.

"Kemudahan teknologi mendukung kita bisa menerima hal baru tanpa meninggalkan kebudayaan sendiri. Terlalu banyak orang berkoar-koar melarang ini itu. Alasannya tidak sesuai dengan budaya kita. Yang terjadi justru sebaliknya," kata Tedjo.

Tedjo mencontohkan pelaksanaan pemilu sebagai bukti. Bangsa Indonesia lupa bahwa budaya Indonesia adalah musyawarah dan mufakat dalam pemilu.

"Yang ada kini hanya menelan sistem yang dilakukan negara Barat secara mentah-mentah karena adanya akses teknologi, tapi justru kita luput bahwa Pemilu harus mengedepankan musyawarah dan mufakat," kata Sudjiwo Tedjo.

 

Manajemen Kecewa

tedjo
Sudjiwo Tedjo menyempatkan diri mengiringi paduan suara Universitas Semarang. (foto: Liputan6.com / Linda / Felek Wahyu)

Sementara itu desainer motif batik dan penulis buku Edhie Prayitno Ige menyebutkan bahwa dalam diri setiap manusia ada teknologinya. Teknologi itu bernama ilmu.

"Jika adik-adik melihat cowok ganteng, melihat cewek cantik itu hanya pengetahuan saja. Pengetahuan itu derajatnya di bawah ilmu. Jika melihat makhluk-makhluk yang membahagiakan itu hanya pengetahuan, ilmunya apa? Nah, jika ingin tahu ilmunya, nikahlah," kata Edhie.

Dicontohkan pula bahwa banyak mahasiswa yang menemukan dan meneliti hal baru. Namun ternyata tak ada dukungan dari negara. Hal-hal semacam ini membuat anak-anak muda mudah kecewa dan hilang kreatifitasnya.

"Pak Habibie itu penemu teori Crack Progression atau disebut dengan theory of Habibie. Yaitu teori yang berhasil menemukan titik awal retakan sayap pesawat akibat beban. Hitungannya nggak main-main, akurat sampai tingkat atom. Tapi apa yang didapat Habibie dari Indonesia? Penghargaan? Yang didapat rintisan industri pesawat terbang yang dimimpikannya malah dibubarkan," kata Edhie.

Berpijak dari perlakuan negara kepada Habibie, Edhie meminta para mahasiswa tak patah semangat. Juga tak gampang bangga hanya karena menerima penghargaan dari kelas Wali Kota, Guburnur, bahkan Presiden sekalipun.

"Terus berkarya dengan ikhlas, tanpa ekspektasi apapun. Jalani proses dengan cinta. Karena cinta itu tanpa tapi, juga tanpa tepi. Cinta itu tanpa syarat, juga tanpa batas. Kalau tak dapat penghargaan, jangan sedih, seduh kopi sudahi sedih. Berkarya lagi," kata Edhie.

Dekan FTIK USM Susanto SKom, Mkom menjelaskan bahwa Culturistik selalu digelar tiap tahun Ini disebabkan karena anak-anak muda dan mahasiswa di kampus USM sangat bergantung dengan teknologi. Sehingga diperlukan kesadaran dan panduan untuk melestarikan budaya dengan memanfaatkan teknologi.

"Ini upaya kecil kami mewarnai pergaulan mahasiswa kami," kata Susanto. (Erlinda Puspita Wardani - kontributor Liputan6.com semarang)

Simak video pilihan berikut:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya