Mengenal Potensi Ancaman Erupsi Magmatik Gunung Slamet

Penetapan peningkatan status Gunung Slamet di Jawa Tengah menjadi level II (Waspada) dari level I (Normal) tidak perlu ditanggapi kepanikan.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 10 Agu 2019, 04:00 WIB
Diterbitkan 10 Agu 2019, 04:00 WIB
Kini lereng Gunung Slamet tak lepas dari ancaman krisis air bersih akibat beralihnya tanaman keras. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Kini lereng Gunung Slamet tak lepas dari ancaman krisis air bersih akibat beralihnya tanaman keras. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Bandung - Penetapan peningkatan status Gunung Slamet di Jawa Tengah menjadi level II (Waspada) dari level I (Normal) tidak perlu ditanggapi kepanikan. Namun begitu, penting bagi masyarakat untuk mengenali potensi ancaman saat terjadi erupsi.

Kepala Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, Kasbani mengatakan, potensi ancaman erupsi Gunung Slamet cenderung bersifat magmatik. Erupsi magmatik gunung yang berada di lima kabupaten itu kemungkinan besar diawali dengan letusan freatik berupa gas dan air.

"Tipe letusan Gunung Slamet umumnya bersifat magmatik, tapi biasanya bisa diawali dengan letusan freatik," kata Kasbani di Kantor PVMBG, Jumat (9/8/2019).

Kasbani mengatakan, apabila terjadi letusan, maka dapat dipastikan bakal terjadi lontaran atau guguran magma dan lava dari dalam kawah Gunung Slamet. Lontaran material tersebut diprediksi meluber sampai radius dua kilometer.

"Erupsi magmatik menghasilkan lontaran material pijar yang melanda daerah sekitar puncak di dalam radius dua kilometer. Untuk erupsi freatik dan hujan abu di sekitar kawah berpotensi terjadi tanpa ada gejala vulkanik yang jelas," ujarnya.

Kasbani mengungkapkan, hingga saat ini pihaknya belum bisa memastikan kapan erupsi Gunung Slamet bakal terjadi. Namun, tanda-tanda erupsi sudah terekam selama satu bulan terakhir dengan meningkatnya aktivitas gempa hembusan hingga 1.000 kali per hari.

Selain itu, terjadi deformasi berupa penggelembungan tubuh gunung yang mengindikasikan adanya desakan material vulkanik dari perut gunung.

Menurut Kasbani, potensi terjadinya erupsi juga terekam dari hasil pengukuran suhu air panas di daerah Guci yang masuk dalam kawasan wisata air panas. Berdasarkan pengukuran suhu mata air panas pada tiga lokasi menunjukkan nilai 44,8 hingga 50.8 Celsius.

Nilai ini pada pengamatan jangka panjang berfluktuasi dan menunjukkan kecenderungan naik dibandingkan dengan pengukuran sebelumnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api PVMBG Hendra Gunawan mengatakan, berdasarkan data satelit, sudah terpantau adanya titik api diam di kawah gunung api tersebut.

"Dari gambar yang kita terima, areal kawah Slamet sudah merah-merah. Hal ini menandakan kubah sudah terpanasi energi dari perut gunung," kata Hendra.

Dia menyebut bahwa potensi letusan bisa saja berlangsung tiba-tiba. Tipenya diperkirakan seperti halnya kejadian 2014. Slamet yang ketika itu berstatus Siaga hanya mengeluarkan letusan strombolian. Selain itu, dari kawahnya memuncratkan material pijar yang di malam hari terlihat seperti kembang api.

Meski demikian, Hendra menyebutkan bisa saja Slamet tidak meletus. Untuk itu, pengamatan terus diintensifkan melalui Pos PGA di Kabupaten Pemalang.

"Yang jelas, secara kegempaan dan deformasi cukup signifikan. Penggembungannya mencapai 20 microradian. Secara visual memang tak teramati adanya gejala erupsi, bengkaknya juga. Tapi potensinya dapat terjadi sewaktu-waktu," ujarnya.

Untuk mewaspadai potensi ancaman aktivitas vulkanik Gunung Slamet, PVMBG berkoordinasi dengan pemerintah daerah, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) provinsi dan kabupaten setempat.

Simak video pilihan di bawah ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya