Â
Liputan6.com, Jakarta Peduli lingkungan. Peduli bumi. Peduli kehidupan generasi selanjutnya. Itulah yang dilakukan masyarakat Kesongo Tuntang Kabupaten Semarang, atas kepeduliannya terhadap sampah. Desa yang terletak di antara gunung Ungaran dan Telomoyo itu dipilih menjadi tuan rumah Kongres Sampah pada 12-13 Oktober 2019.Â
Baca Juga
Kongres yang diinisiasi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo itu akan dihadiri ribuan orang dari berbagai kalangan. Awal mula desa itu dipilih karena warganya yang memilah sampah organik dan non-organik di kantong yang berbeda.
Advertisement
Proses pemilahan sampah dilakukan sejak dalam rumah melalui kantong-kantong sampah. Kemudian setiap pagi mereka memasukkan kantong-kantong tersebut ke keranjang.
"Ini keranjangnya juga beda. Ada dua keranjang, keranjang Iso Bosok dan keranjang Ora Iso Bosok," kata Mareta, warga dusun Sejambu, Kesongo, Tuntang Kabupaten Semarang, Jumat (11/10).
Istilah yang digunakan memang sangat sederhana dan mudah dipahami siapa pun. Dan itu mempermudah masyarakat untuk turut serta dalam gerakan itu.
Keranjang Iso Bosok berarti dikhususkan untuk sampah-sampah yang bisa membusuk (organik) dan keranjang Ora Iso Bosok untuk sampah yang tidak bisa membusuk (non-organik). Namun Mareta mengatakan tidak semua sampah non-organik dibuang ke tempat sampah.
"Kami berikan ke tetangga yang membuat kerajinan dari sampah plastik. Ada yang dibuat kostum, bunga, topi dan lain-lain," katanya.
Untuk sampah yang di keranjang kemudian diangkut ke Tempat Penampungan Sementara oleh petugas dari desa. Supriyadi, Kepala Desa Kesongo mengatakan petugas pengangkut sampah tersebut juga melanjutkan pemisahan sampah. Sampah organik langsung masuk ke bak pickup sementara yang non-organik dimasukkan ke keranjang plastik.
"Di TPS petugas tersebut kembali memilah, sampah yang bisa dimanfaatkan dikumpulkan sementara yang tidak bisa diangkut truck ke TPA," katanya.
Â
Uniknya apa yang dilakukan warga Kesongo tersebut bukan karena embel-embel isu bahaya sampah atau semacamnya. Mereka hanya ingin lingkungannya bersih dan sekadar membantu tetangga yang membuat kerajinan berbahan plastik. Meskipun pada mulanya belum ada dua jenis keranjang sampah pembeda tersebut.
"Mulanya hanya dilakukan satu orang yang membuat kerajinan itu. Dia membuat kerajinan dari plastik itupun karena mulanya jengkel got depan rumahnya banyak tersumbat sampah plastik. Akhirnya warga sini saling getok tular, saking memberi tahu kalau ada sampah plastik jangan dibuang tapi diberikan ke perajin plastik itu," katanya.
Begitu desa membentuk satgas sampah yang dipimpin langsung oleh Babinsa setempat, lanjut Supriyadi, pengelolaan sampah di Kesongo semakin tertata. Dia merasa mesti melanjutkan apa yang telah dilakukan warganya itu dengan gerakan yang lebih besar.
"Kami bertekad kalau bisa desa ini tidak lagi mengirim sampah ke TPA. Semua harus bisa kami manfaatkan di sini. Makanya kami bercita-cita membuat Taman Pendidikan Pengelolaan Sampah. Selain taman, di sana juga ada Pendidikan Anak Usia Dini agar bisa menanamkan pengelolaan sampah dari dini. Master plan telah kami susun dengan tim KKN Undip," katanya.
Total saat ini ada 200 kepala keluarga di Kesongo telah memiliki keranjang Iso Bosok dan keranjang Ora Iso Bosok. Supriyadi mengatakan sampai 2021 seluruh warganya yang mencapai 2800 kepala keluarga itu bakal memiliki dua keranjang tersebut di depan rumahnya.
"Yang bisa membuat gerakan ini hanya punya sedikit hambatan adalah karena ini gerakan non komersial dan swadaya. Jadi PR kami di Pemerintahan desa adalah membuat manfaat lebih besar dari sampah yang dikumpulkan oleh masyarakat," katanya.
Â
(*)