Perjalanan Dua Windu Rumah Baca Buku Sunda Jeung Sajabana

Februari 2020, genap 16 tahun usia Rumah Baca Buku Sunda Jeung Sajabana.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 22 Feb 2020, 00:00 WIB
Diterbitkan 22 Feb 2020, 00:00 WIB
Rumah Baca Buku Sunda
Mamat Sasmita (69), pendiri dan pemilik Rumah Baca Buku Sunda Jeung Sajabana. Rumah baca yang berada di Kota Bandung ini menyediakan buku berbahasa Sunda dan bahasa Inggris serta Belanda. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung Februari 2020, genap 16 tahun usia Rumah Baca Buku Sunda Jeung Sajabana. Ruang baca yang didirikan seorang pensiunan Telkom ini punya ribuan bacaan mulai dari cerita anak, budaya, cerita pantun, sejarah, humor hingga berbagai kumpulan buku sastra berupa cerita pendek, novel, roman pop, dan sajak yang semuanya terkait dengan bahasa maupun budaya Sunda.

Mamat Sasmita (69) adalah pemilik sekaligus pendiri rumah baca yang terletak di Jalan Margawangi VII, No 5, Kota Bandung itu. Uwak Sas, begitu dia akrab disapa, berbagi cerita perjalanan dua windu rumah baca yang didirikannya.

Uwak Sas mengatakan, rumah baca miliknya didirikan pada Februari 2004. Namun, jauh sebelum rumah baca didirikan, Sasmita yang memiliki kebiasaan berburu buku sejak masih duduk di bangku SMA, sudah memiliki beberapa koleksi buku.

"Tadinya ini akan jadi perpustakaan keluarga saja. Tapi setelah koleksinya cukup banyak, saya kepikiran untuk dibuka untuk umum," kata Uwak Sas ditemui Liputan6.com, Kamis (13/2/2020).

Hobi berburu buku dan berbagai literatur berlanjut semasa masih bekerja hingga pensiun dari Telkom. Sebagai pegawai di perusahaan pelat merah itu, Uwak Sas pernah berdinas di sejumlah daerah seperti Pontianak, Jambi, Papua, Lombok, Bali, dan Flores. 

"Kebanyakan bukunya dihasilkan ketika saya berada di luar Bandung. Sekitar 32 tahun bekerja, tiga perempatnya justru di luar kota. Agak repot memang harus bawa buku ke sana-sini, tapi itu dilakukan semata karena kerinduan pada kampung sendiri," ujarnya.

Uwak Sas merasa sebagai perantau, membaca buku-buku berbahasa Sunda maupun bertema tentang Sunda adalah salah satu cara untuk mengobati rindu pada budaya sendiri.

"Pada saat di luar kota itu ada semacam kerinduan buku-buku berbahasa ibu. Bahkan, saya sering pesan ke orang rumah belikan buku atau lagi pulang ke Bandung saya berburu sendiri," ucapnya.

Inisiatif mendirikan rumah baca mulai dirancang Sasmita saat dunia internet melanda pada era 2000-an. Dirinya ketika itu menjadi moderator milis bernama Kusnet atau Komunitas Urang Sunda di Internet.

"Waktu itu banyak yang bertanya, nyari buku Sunda kok susah ya. Dari situ saya menganggap bahwa ada yang perlu dilakukan. Okelah kalau ada yang perlu mencari buku tentang Sunda, perpustakaan keluarga saya itu dibuka untuk umum. Jadi rumah baca ini dari situ titik berangkatnya," katanya.

Sejak Februari 2004 itulah, Rumah Baca Buku Sunda Jeung Sajabana di Jalan Margawangi VII akhirnya dilengkapi dengan pasang papan nama. Bertepatan dengan kembalinya Sasmita berdinas di Bandung.

Tak Hanya Buku Berbahasa Sunda

Rumah Baca Buku Sunda
Rumah Baca Buku Sunda terletak di Jalan Margawangi VII, No 5, Kota Bandung. Rumah baca ini selain menyediakan buku berbahasa Sunda juga menyediakan bahasa Inggris serta Belanda. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Untuk menemukan lokasi rumah baca ini tidak terlalu sulit. Di halaman rumah terdapat plang penanda Rumah Baca Buku Sunda Jeung Sajabana yang siap menyambut siapa pun datang.

Ketika mengunjungi rumah baca ini, terdapat tempat membaca di tengah rumah berupa meja kayu yang dikelilingi kursi-kursi. Di sekelilingnya buku-buku memenuhi rak kayu yang tingginya menggapai langit-langit rumah.

Soal koleksi, walau tak selengkap di perpustakaan umum, rumah baca milik Uwak Sas terbilang cukup dahsyat. Uniknya, tidak semua buku terkait bahasa Sunda. Ada beberapa buku berbahasa Indonesia, Inggris, Belanda, dan Prancis.

Semisal kisah Bandung tempo dulu dalam tulisan Sudarsono Katam atau buku Bandung Purba yang ditulis T Bachtiar. Kemudian ada juga Semerbak Bunga di Bandung Raya serta Wajah Bandung Tempo Doeloe karya mendiang Haryoto Kunto juga ada di salah satu bagian rak di rumah baca ini.

Uwak Sas juga termasuk penggemar sejarah. Tidak heran bila dirinya mengoleksi buku Priangan I-IV karangan De Haan, penulis Belanda yang diterbitkan melalui empat buku tebal dalam periode 1910-1912. Juga Gedenkboek der Nederlandsch Indische Theecultuur atau Buku Kenangan Sejarah Perusahaan Teh di Indonesia.

"Karena saya dikutuk oleh judul (Rumah Baca Buku Sunda), jadi mau tidak mau saya menyediakan buku bahasa Sunda. Tapi sebetulnya tidak melulu menyatakan Sunda. Paling untuk Sunda ada buku 30 persennya termasuk di dalamnya sastra, bahasa, hingga bacaan anak. Sedangkan 70 persen buku lain yang masih terkait dengan bahasa Sunda," ujarnya.

Mantan pemimpin redaksi majalah Cupumanik ini juga hobi melengkapi kamus. Ada berbagai kamus Sunda mulai dari kamus lama sampai sekarang. Untuk kamus tertua yang dimiliki Sasmita adalah tahun 1862, yaitu kamus Sunda-Inggris yang ditulis Jonathan Rigg.

Baca di Tempat

Rumah Baca Buku Sunda
Rumah Baca Buku Sunda terletak di Jalan Margawangi VII, No 5, Kota Bandung. Rumah baca ini selain menyediakan buku berbahasa Sunda juga menyediakan bahasa Inggris serta Belanda. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Uwak Sas mengatakan, sejak 2004-2017 siapa pun boleh meminjam buku secara gratis dan tak perlu membuat kartu seperti di perpustakaan. Hanya saja sejak 2017, buku tidak lagi menggunakan sistem pinjam dan hanya baca di tempat.

"Karena ada sekitar 100 buku tak kembali termasuk ada beberapa buku langka. Ada satu buku yang sangat saya sayang dan itu tak kembali. Makanya, sejak 2017 ke sini hanya berlaku baca di tempat," ujarnya.

Pengunjung di rumah baca ini juga beragam. Ada umum, siswa SD, SMP, SMA, hingga mahasiswa. 

"Kalau yang paling sering sekarang ini datangnya dari mahasiswa dan yang banyak dilihat ensiklopedi Sunda. Mereka juga sering ada kegiatan di sini bikin diskusi," ucapnya.

Saat ini, di rumah baca yang didirikan Uwak Sas terdapat sekitar 7.800 ribu buku dan majalah. Sejak beberapa tahun terakhir, pembelian bukunya mulai berkurang. Dalam sebulan, sekitar 2-3 buku saja yang dia beli.

"Untuk memburu buku memang mulai berkurang karena penglihatan mata mulai kurang nyaman. Kalaupun beli, biasanya dibantu anak saya pesan lewat online," katanya.

Sasmita juga melibatkan putrinya Rachmah Firstriani (23) untuk menggelar beberapa workshop di rumah baca pada tahun ini. Hal itu dilakukan untuk menggeliatkan literasi kepada masyarakat.

"Ke depan, anak saya mau bikin workshop. Paling tidak melalui dia, bisa memahami rumah baca ini apa. Untuk kegiatannya silakan ditambahkan sendiri oleh dia," katanya.

Menurutnya, pendirian Rumah Baca Buku Sunda Jeung Sajabana ini salah satunya adalah meningkatkan literasi. Selain membaca, orang-orang bisa mendiskusikan hal-hal baru dan pelajaran penting di masa lalu 

"Saya cuma menyediakan, silakan ada buku ini kalau anda perlu silakan datang. Kalau secara pribadi saya membuka rumah baca ini karena bisa banyak bertemu orang dan menjaga silaturahim," ujarnya. 

Geliat LIterasi

Rumah Baca Buku Sunda
Mamat Sasmita dan putrinya Racmah Firstriani. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Sementara itu, putri Uwak Sas, Rachmah mengaku siap meneruskan semangat juang ayahnya melalui pendirian Rumah Baca Buku Sunda Jeung Sabana, salah satunya menggelar workshop.

"Kalau lagi ada diskusi saya suka ikut juga ya, kadang teman-teman juga diajak ke sini. Sebetulnya sudah ada rancangan menggelar workshop di tahun ini," kata perempuan lulusan seni kriya di Kampus Universitas Telkom itu.

Rachmah yang kini bergelut di bidang kriya mengaku justru mendapatkan wawasan dari buku-buku yang dikoleksi ayahnya.

"Waktu kuliah awal-awal itu memang ada buku mengenai kujang dan ragam hias. Makin ke sini banyak buku teori dan semiotika. Justru dari buku informasinya lebih terstruktur, berbeda dengan sumber di internet yang sepotong-sepotong," katanya.

Simak video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya