Aceh, Virus Corona, dan Upaya Mencari Tuhan di Tengah Kerumunan

Setelah satu orang PDP di Aceh dinyatakan positif corona Covid-19, aktivitas-aktivitas melibatkan orang ramai di tempat-tempat peribadatan masih ditemukan di Aceh.

oleh Rino Abonita diperbarui 27 Mar 2020, 06:36 WIB
Diterbitkan 27 Mar 2020, 06:36 WIB
Ilustrasi (Liputan6.com/Rino Abonita)
Ilustrasi (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Sejak kemunculannya, Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) telah menyentak dunia. Sebanyak 22.340 jiwa meninggal di 198 negara, dengan jumlah kasus yang terkonfirmasi sebanyak 503,219. Di Indonesia, pandemi berkode SARS-CoV-2 telah membunuh 78 jiwa, positif terinfeksi sebanyak 893 jiwa.

Di Aceh, total pasien dalam pengawasan (PDP) berada di angka 40, orang dalam pemantauan (ODP) 226, dua PDP meninggal dunia, satu orang di antaranya dinyatakan positif. Data-data tersebut diakses dari laman worldometers dan situs resmi Pemerintah Aceh pada Kamis (26/03/2020), pukul 23.55 WIB.

Salah satu gejala sosiologis yang muncul saat ini adalah makin menguatnya aktivitas keagamaan di Aceh. Corona Covid-19 adalah bala yang mesti dilawan dengan ibadah serta doa sebagai wujud resistensi dan katarsis diri agar terhindar dari mala.

Sejumlah kabupaten/kota di Aceh bereaksi dengan menggelar ritual kegamaan, seperti tolak bala dan zikir massal. Di beberapa daerah, jalanan dipenuhi oleh arak-arakan obor serta lantunan doa "Waqul jaa-al haqqu wazahaqal baathilu, innal baathila kaana zahuuqan."

Doa tersebut merupakan ayat 81 surat Al-Israa, yang berarti "Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap. Sungguh, yang batil itu pasti lenyap." Tolak bala dengan melantunkan doa tersebut pernah dilakukan sewaktu salah satu kabupaten di provinsi itu dilanda pagebluk "cacar" di era 60-an menurut budayawan TA Sakti.

Fenomena tersebut memang telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan komunitas beragama. Menurut Brainslow Malinowski, peran agama memberi peluang kepada masyarakat bahwa terdapat sumber kekuatan dan harapan yang lebih besar dari kekuatan manusia —selaku manusia yang takdaya, satu-satunya harapan ialah bergantung kepada skenario terbaik yang telah digariskan oleh Tuhan.

Tapi, hal lain yang kemudian terjadi ialah munculnya komunitas-komunitas berkepala "bebal" yang menganggap pelbagai imbauan dari pihak berwajib untuk sementara waktu tidak berkerumun sebagai ancaman terhadap status quo. Di tangan orang-orang ini, agama bersulih jadi institusi kekuasaan, dan orang-orang yang berseberangan dicap sebagai musuh tuhan.

Hal itu terjadi pada Kamis malam (18/3/2020), seseorang melalui pengeras suara di salah satu masjid Kota Madya Banda Aceh, mengumumkan ke publik agar mengikuti kegiatan zikir massal di salah satu kabupaten yang bakal digelar keesokan harinya. Koarnya lebih kurang berbunyi "Kita tunjukan kepada dunia! Zikir massal tidak menyebarkan virus!."

Mengingat aktivitas melibatkan orang ramai berpotensi menjadi medium penularan bagi virus yang mungkin saja telah menginfeksi salah satu dari jemaah, hal tersebut tentu saja ironis. Adapun sejumlah kabupaten/kota yang tercatat melakukan aktivitas keagamaan yang melibatkan orang ramai di Aceh yakni, Bener Meriah, Aceh Utara, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Jaya, dan Aceh Barat Daya.

Tidak cukup sampai di situ, beberapa ulama "tingkat bawah" bersulih jadi demagog melalui ceramah-ceramah mereka yang cenderung menyerukan hal yang berlawanan dengan skema pencegahan penyebaran virus, dengan salah satu pertanyaan yang dimunculkan sebagai kerangka pembenaran: "Lebih takut mana, Tuhan atau Corona?"

Segendang sepenarian dengan itu, Wakil Ketua Komite I DPD RI, Fachrul Razi, mengatakan bahwa Aceh masih aman dari paparan virus, karena itu, imbauan menahan diri agar tidak salat berjemaah di masjid untuk sementara waktu, guna memutus mata rantai virus sama sekali tidak berlaku di daerah itu. Nyatanya, Fachrul salah besar, sebab, di hari yang sama saat pernyataannya itu keluar, seorang PDP di Aceh dinyatakan meninggal dunia dengan status positif terinfeksi virus corona yang disebutnya belum sampai ke Aceh.

"Dan, alhamdulillah, di Aceh, di masjid-masjid, masyarakat melakukan doa tolak bala dan ibadah berjemaah,” kata Fachrul, dalam keterangannya, Rabu (25/03/2020), saat dimintai tanggapan mengenai pernyataan seorang warga yang mencecar dan menyuruhnya untuk uji kejiwaan karena karena telah mengatakan "mengosongkan masjid akibat Corona adalah pikiran yang tidak sehat."

Sementara itu, Kepala Satpol PP dan WH Kota Madya Banda Aceh, Muhammad Hidayat, tidak mau berkomentar banyak soal menguatnya fenomena keagamaan di kota yang berada di bawah wewenangnya itu. Pihaknya sendiri telah melakukan razia tempat-tempat keramaian seperti warung kopi sejak pemegang mandat kepemimpinan di provinsi itu mengeluarkan intruksi, namun, soal berkumpulnya orang ramai di masjid, Hidayat angkat tangan.

"Kalau untuk edaran MUI (MPU, red) Aceh itu masih berlaku, artinya tetap menganjurkan masyarakat untuk, ya, bertobat, salat berjemaah, dan juga, mungkin inilah, katakanlah, itu lebih kepada ulama, lah, ya, saya enggak berani berkomentar, tapi, pada prinsipnya kita sedini mungkin untuk menghindari berkumpullah, untuk ramai-ramai, dan yang paling penting, ya, jaga jarak, jaga kebersihan," jawab Hidayat, dihubungi Liputan6.com, Kamis (26/3/2020).

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Simak juga video pilihan berikut ini:

Narasi versus Narasi

Tangkapan layar sebaran Covid-19 di Aceh di situs resmi pemerintah (Liputan6.com/Rino Abonita)
Tangkapan layar sebaran Covid-19 di Aceh di situs resmi pemerintah (Liputan6.com/Rino Abonita)

Menurut sosiolog cum penulis, Affan Ramli, menguatnya aktivitas keagamaan di masa krisis seperti ini merupakan gejala yang umum di Aceh. Sebagai entitas yang diatur oleh rezim pengetahuan yang bersandar pada agama, tidaklah heran jika narasi-narasi seperti sains dan medis dinomorduakan di provinsi itu.

"Makanya, dalam kondisi bagaimana pun, orang-orang tetap akan memenangkan narasi agama di dalam pikirannya," jelas Affan, kepada Liputan6.com, Kamis (26/03/2020).

Bagi Affan, kondisi ini semakin diperparah oleh sikap Pemerintah Aceh yang dinilainya belum mengambill langkah yang konkret. Kata penulis buku "Adat Berdaulat: Melawan Serbuan Kapitalisme di Aceh" itu, manifestasi penanganan Covid-19 di provinsi itu belum pada tahap yang serius-serius amat.

Alasan lain mengapa ketertarikan sebagian besar orang cenderung kepada hal-hal yang berbau metafisika, ketimbang mengikuti narasi medis yang ilmiah atau pun anjuran-anjuran dari pemerintah, salah satunnya boleh jadi disebabkan adanya anggapan bahwa narasi yang dikeluarkan oleh pemerintah merupakan narasi politis belaka. Di saat kepercayaan terhadap negara runtuh, agama datang mengisi ruang-ruang yang kosong tersebut.

"Celakanya, narasi agama pun tidak jadi masalah seandainya narasi agamanya sehat. Seperti di Mesir dan Iran. Ulama Al-Azhar dan ayatullah-ayatullah itu punya pendapat yang sama dengan ahli medis. Jadi, datangnya dari agama, fatwanya, tetapi, isinya adalah, harus mematuhi apa yang diintruksikan ahli medis, tenaga medis dan petugas kesehatan negara," katanya.

Sebagaimana diketahui, ulama Al-Azhar telah mengeluarkan fatwa pada Minggu (15/03/2020). Isinya meminta umat Islam agar salat di rumah dan tidak salat di masjid berjemaah untuk mencegah penyebaran virus.

Otoritas yang berwenang menambahkan bahwa semua warga negara diwajibkan mematuhi instruksi dan pedoman yang dikeluarkan oleh otoritas kesehatan. Selain beranjak dari fusi antarnarasi, penanganan Covid-19 di negara itu diperkuat oleh dukungan dari instansi militer.

Sementara itu, pemimpin Iran Ayatullah Sayyid Ali Khamenei menyarankan agar orang-orang segera membatalkan kegiatan iktikaf di masjid tahun ini. Kegiatan keagamaan ditiadakan untuk sementara waktu atas rekomendasi dan pedoman dari lembaga penjangkauan masyarakat dan pusat medis untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut.

"Yang bisa dilakukan segera, ulama-ulama kita harus dikumpulkan, dan ditunjukin fatwa ulama-ulama Mesir (terkait Covid-19) yang sealiran sama kita, yang ahlussunah waljamaah, bagaimana mereka juga mengatakan tidak perlu salat jemaah atau jumat berjemaah dulu, dan harus ikuti tenaga medis. Harus ada yang menjelaskan ini ke mereka, supaya kecacatan berpikir atau kekeliriuan berpikir diluruskan," cetusnya.

Affan sadar tidak semua pemuka agama yang mau berpikir konvensional. Jika itu terjadi, negara mesti bersikap secara hukum karena perbuatan-perbuatan seperti itu dinilai menjerumuskan dan membahayakan nyawa orang ramai.

"Karena muatan kejahatannya itu sama dengan pidana," tegas dia.

Catatan YLBHI-LBH Banda Aceh

Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Syahrul (Liputan6.com/Rino Abonita)
Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Syahrul (Liputan6.com/Rino Abonita)

YLBHI-LBH Banda Aceh mengajukan beberapa catatan kepada Pemerintah Aceh terkait penanganan sebaran corona Covid-19. Poin paling penting menurut direktur lembaga nonpemerintah itu adalah otonomi khusus (otsus) dalam hal pendanaan yang dimiliki oleh provinsi tersebut.

Dengan adanya keleluasaan tersebut, mestinya Aceh jauh lebih mampu berdikari ketimbang daerah lain. Sayangnya, pemerintah setempat baru sampai pada tahap mengintruksikan pemberlakuan social distancing atau penjarakan sosial di beberapa titik.

"Kita belum melihat ada ide baru yang strategis yang diterapkan oleh pemerintah untuk solusi pencegahan dan penanganan. Setidaknya, pemerintah bisa mengikuti metode lacak, uji, dan obati, seperti yang digunakan oleh negara Korea Selatan," kata Syahrul dalam keterangannya diterima Liputan6.com, Kamis malam.

Ia juga menyarankan otoritas terkait memperketat koordinasi multisektor terutama dengan pelbagai perangkat di daerah. Pendapat Syahrul ini senarai dengan apa yang telah diajukan oleh Affan soal perlunya menjalin komunikasi dengan pemuka agama di arus bawah untuk melahirkan skema narasi yang sentralistis.

"Jangan sampai seperti saat ini, Pemerintah Aceh mengeluarkan instruksi untuk social distancing, tetapi pada tingkat masyarakat di desa-desa malah mengajak berkumpul-kumpul," kata Syahrul.

Hal lain yang menurutnya penting yakni memastikan ketersedian fasilitas kesehatan serta stok alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan. Catatan lainnya, yakni, segera mempersiapkan skema rapid test atau tes cepat menyeluruh, ketahanan pangan untuk kemungkinan terburuk, serta memastikan ketersediaan alat-alat pencegahan dini yang bisa diakses oleh publik seperti menempatkan cairan disinfeksi di tempat-tempat umum.

"Perlu diingat oleh Pemerintah Aceh, rapid test jangan diperioritaskan untuk diri dan keluarganya. Diutamakan yang berstatus ODP, PDP, dan masyarakat rentan yang berada di lingkungan orang yang berstatus ODP, dan PDP. Pemerintah perlu membatasi ruang gerak orang berstatus ODP. Jangan seperti saat ini, ODP bebas berkeliaran, jika kemudian hasil tesnya positif, maka ini sangat bahaya." pungkas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya