Liputan6.com, Aceh - Ketua salah satu lembaga nonpemerintah di Aceh, Fitriadi Lanta ditahan oleh Kejaksaan Negeri setelah ia jadi tersangka dalam kasus dugaan defamasi atau pencemaran nama baik. Ia diduga menyebarkan video yang dinilai mendiskreditkan bupati Aceh Barat.
Fitriadi disangkakan dengan pasal 27 ayat 3 juncto pasal 45 ayat 3 UU No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang ITE pasal 14 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dia ditahan selama 20 hari, terhitung sejak Kamis (11/06/2020), di Lapas Kelas II B Meulaboh, di bawah wewenang kejari, sambil menunggu pelimpahan perkara ke pengadilan.
Baca Juga
Sebagai informasi, Fitriadi merupakan ketua salah satu komunitas mengatasnamakan lingkup barat selatan Aceh. Dia dilaporkan ke polisi karena lelaki yang pernah mencalonkan diri sebagai calon legislator itu diduga menyebarkan video yang dinilai merugikan sang bupati.
Advertisement
Video tersebut berisi adegan kericuhan yang melibatkan bupati, Ramli, Ms., dengan seorang warga bernama Tgk. Zahidin, yang terjadi di pendopo, pada Selasa (18/02/2020). Punca kericuhan disebut oleh sejumlah media karena perkara utang piutang.
Ajudan bupati melaporkan Fitriadi ke polres keesokan harinya. Tuduhan terhadapnya, yakni, menyebarkan video tersebut ke sejumlah grup WhatsApp disertai kata-kata yang dinilai bernada kebencian.
Liputan6.com berupaya menghubungi Kabag Humas Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, Amril Nuthihar, untuk mengonfirmasi duduk perkara insiden yang terjadi di pendopo tersebut via panggilan telepon juga WhatsApp, secara berkala sejak 13 -17 Juni, namun, yang bersangkutan tidak menanggapi sama sekali.
Sementara itu, Abdullah Saleh, eks anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), yang dipercaya jadi kuasa hukum sang bupati, menampik jika kliennya itu telah melakukan penganiayaan seperti yang telah dituduhkan. Pun, hingga saat ini, kata dia, tidak ada visum et repertum yang menyatakan ada tanda-tanda bekas penganiayaan seperti yang dituduhkan.
"Aparat penegak hukum itu, kan, tidak mudah, tidak gampang dalam melakukan proses hukum, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, lalu, kemudian untuk mengumpulkan bukti-bukti memenuhi unsur-unsur yang didakwakan," jawab Abdullah Saleh, Jumat (19/06/2020), yang mengatakan bahwa kliennya itu tidak pernah memukul, tapi, hanya menepis dan tepisan itu mengenai tangan Zahidin.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Kejari Dinilai Abai Sesuatu
Sementara itu, penasihat hukum tersangka Fitriadi, Pujiaman Zulfikar, menilai ada yang janggal dengan penahanan kliennya. Pihak kejari awalnya mengatakan bahwa berkas kliennya masih belum lengkap, dan akan ditinjau ulang. Namun, tiba-tiba surat perintah penahanan Fitriadi diterbitkan.
"Kami pikir, masih ada waktu satu atau dua hari ke depan. Tahu-tahu, pagi dipanggil ke polres, siang langsung pelimpahan, kemudian, sore menjelang ashar, keluar surat perintah penahanan," jawabnya, kepada Liputan6.com, Jumat siang (12/06/2020).
Menurut Pujiaman, kejari telah mengabaikan fakta bahwa jumlah ancaman pidana dari pasal yang disangkakan terhadap Fitriadi tidak mengharuskan kliennya itu ditahan. Itu karena yang boleh ditahan hanya tersangka dengan ancaman pidana lima tahun lebih.
"Di pasal 21 ayat 4 KUHAP jelas disebutkan bahwa yang bisa dilakukan penahanan itu adalah ancaman pidana lima tahun. Itu akan jadi alasan bagi JPU, alasannya penahanannya itu apa?" ujar Pujiaman.
Sebagai catatan, ketentuan dalam pasal 27 ayat 3 UU ITE yang sebelumnya memiliki ancaman pidana penjara enam tahun lebur dalam pasal 45 ayat 3 yang merupakan pasal revisi. Implikasinya adalah pengurangan masa hukuman yang dijalani, dari enam jadi empat tahun.
Liputan6.com mencoba menghubungi Kepala Divisi Intelijen Kejari Aceh Barat, Abdi Fikri, untuk dimintai keterangan mengenai hal tersebut. Sempat menjawab kemudian beralasan sedang rapat, Abdi tidak lagi mengangkat telepon hingga membalas pesan via WhatsApp, untuk yang kesekian kali.
Advertisement
Menyoal Video Sang Bupati
Di lain hal, lanjut Pujiaman, mestinya penegak hukum juga mengambil langkah yang sama ketat terhadap kasus yang melibatkan bupati dalam video yang akan mengantar kliennya ke meja hijau.
Sayangnya, imbuh Pujiaman, sejak sang bupati dilaporkan ke polres hingga berkasnya dilimpahkan ke polda, belum tampak ada perkembangan yang signifikan. Kabar terakhir menyebutkan bahwa pemeriksaan terhadap orang nomor satu di Aceh Barat tersebut masih menunggu izin dari Kementerian Dalam Negeri.
Hal yang sama dilontarkan oleh penasihat hukum dari Zahidin, yaitu, Zulkifli. Menurutnya, jika mengikuti aturan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA), demi hukum, tegasnya, polisi mestinya telah melakukan pemeriksaan terhadap Ramli.
Ini mengingat persetujuan tertulis mengenai penyelidikan dan penyidikan terhadap Ramli belum keluar hingga kini, padahal telah terhitung 60 hari sejak diterimanya permohonan. Aturan ini tertera pada pasal 55, ayat 1, 2, dan 3 UUPA.
"Apalagi, dia (Ramli) itu sebagai saksi, pemberi saksi terlapor. Apalagi, sekarang, kan, sudah diperiksa 10 orang saksi, sudah diambil visumnya, kita sudah berikan videonya. Artinya, sudah lebih dua alat bukti," terang Zulkifli, Jumat sore.
Wallahua'lam
Nama Fitriadi sendiri pernah disebut-sebut salah satu media lokal terlibat secara tidak langsung dalam insiden pengancaman yang dialami wartawan bernama Aidil Firmansyah pada Januari lalu. Pelakunya utamanya seorang pengusaha muda dan direktur utama salah satu Perusahaan Bongkar Muat (PBM).
Insiden tersebut berpunca dari pemberitaan yang ditulis oleh Aidil yang dinilai menyudutkan perusahaan milik pengusaha bernama Akrim.
Fitriadi yang juga bekerja sebagai wartawan salah satu media siber lokal dituding berada di pihak pengusaha tersebut pada malam kejadian. Pasalnya, ia disebut-sebut punya jabatan dalam forum pekerja di bawah kepemimpinan si pengusaha.
Sementara itu, Zahidin disebut-sebut ikut serta terlibat sebagai tim lobi yang belakangan dikirimkan oleh Akrim ke rumah Aidil untuk menyelesaikan masalah dirinya dan Aidil dengan jalan kekeluargaan.
Lobi tersebut gagal, hingga pada 09 Juni lalu, Akrim divonis bersalah telah melakukan pengancaman, dan dihukum pidana kurungan penjara enam bulan dengan masa hukuman percobaan satu tahun.
Tidak hanya itu, ia juga dipidana lima bulan kurungan penjara bersama Umar Dani, T. Darmansyah, dan T. Herizal, atas kasus pengeroyokan wartawan LKBN Antara, melaporkan untuk daerah setempat, bernama T. Dedi Iskandar. Pengeroyokan tersebut terjadi hanya berselang belasan hari setelah kasus yang menimpa Aidil terjadi —pengeroyokan ini menurut pihak Akrim sebenarnya dikarenakan Dedi enggan meneken kwitansi utang yang disodorkan kepadanya.
Advertisement
Bergumul
Setelah peristiwa pengancaman yang menimpa Aidil terjadi, berbalas pantun dan saling sindir dengan medium media pun sempat terjadi.
Ultima dari perang dingin tersebut kala Fitriadi mengadukan media di mana Aidil bekerja ke Dewan Pers. Sebab terdapat berita yang dinilai merugikan nama baiknya, karena berita tentang dirinya ditulis tanpa konfirmasi serta tendensius.
Ada 12 berita yang diadukan oleh Fitriadi melalui Penasihat Hukumnya, Putra Pratama Sinulingga. Salah satunya termasuk berita yang menjadi punca dari peristiwa pengancaman yang dialami dan ditulis oleh Aidil.
Untuk diketahui, surat aduan tersebut juga mengatasnamakan Akrim dan Zahidin sebagai klien. Artinya, yang mewakili pengaduan di sini ada tiga orang, terhitung Fitriadi, melalui penasihat hukum yang sama.
Aduan tersebut ditanggapi oleh Dewan Pers dengan menerbitkan surat penilaian dan rekomendasi sementara. Belasan berita yang diadukan tadi dinilai oleh Dewan Pers telah melanggar Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers.
Antara lain, tidak berimbang, berpotensi menghakimi, semata-mata versi teradu dan wartawannya. Karena itu, media yang diadukan direkomendasi untuk memuat hak jawab disertai permintaan maaf baik kepada pengadu, juga pembaca.
Surat yang sama menyebutkan beberapa prosedur penyelesaian yang dapat ditempuh dalam persoalan tersebut. Pertama, melalui surat menyurat jika rekomendasi untuk memuat hak jawab dan meminta maaf disetujui.
Dapat pula melalui dua cara lainnya. Yakni, mediasi dan ajudikasi apabila rekomendasi tadi tidak disetujui oleh kedua pihak.
Putra mengatakan, belakangan Dewan Pers mengajukan undangan di mana kedua belah pihak diminta menggelar klarifikasi melalui telekonferensi. Dengan pertimbangan bahwa hal tersebut merupakan inisiasi pihak teradu belaka, yang kemudian diamini oleh Dewan Pers, Fitriadi cum suis melalui penasihat hukum kukuh agar terlapor melaksanakan rekomendasi sesuai surat sebelumnya saja.
"Jadi, enggak perlu lagi ada klarifikasi untuk membela diri si Saleh (pimred media di mana Aidil bekerja) dalam forum itu, makanya, kami enggak mau," jelas Putra, kepada Liputan6.com, Jumat malam.
Namun, imbuh Putra, hingga ia dan kliennya memberi balasan kepada Dewan Pers yang isinya menolak adanya langkah lain selain yang terdapat di dalam surat yang pertama, dirinya belum mendapat kabar lanjutan. Di pihak sebaliknya, pimpinan redaksi media tempat Aidil bekerja, Muhammad Saleh, mengaku bahwa dirinya kini tengah menunggu.
"Sudah kami jawab dan coba dibaca secara lengkap serta detail. Surat itu sebagai konfirmasi awal dari DP dan akan dilakukan mediasi. Hanya saja, beberapa waktu lalu tidak jadi dilaksanakan secara virtual atau zoom karena Aidil kurang sehat. Karena itu, kami minta dijadwal ulang," jawab Saleh via WhatsApp.