Wisata Sejarah Jong Dobo, Mitos Kutukan nan Misterius di Sikka NTT

Jong Dobo merupakan kapal berukuran kecil yang berada di Dusun Dobo, Desa Iyantena, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Jong Dobo dipercaya sebagai warisan sejarah dan jadi buruan peneliti arkeolog.

oleh Ola KedaDionisius Wilibardus diperbarui 01 Jul 2020, 09:00 WIB
Diterbitkan 01 Jul 2020, 09:00 WIB
Situs Sejarah
Foto: Juru kunci atau penjaga artefak kuno Jong Dobo, Bapak Sergius Moa duduk dihadapan tujuh batu adat persis di samping perahu kecil atau Jong Dobo (Liputan6.com/Dion)

Liputan6.com, Sikka - Jong Dobo merupakan kapal berukuran kecil yang berada di Dusun Dobo, Desa Iyantena, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Jong Dobo dipercayai sebagai warisan sejarah dan jadi buruan peneliti arkeolog.

Untuk menuju kampung kecil ini, harus menempuh waktu sekitar 30 menit dari Kota Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka. Ada beberapa perkampungan yang mesti lewati jika ingin berkunjung ke Kampung Dobo, yakni Kampung Habilopong, Apinggoot dan Wolomotong.

Liputan6.com berkesempatan berkunjung ke desa ini, Minggu (28/6/2020). Di pintu masuk desa ini, ada sebuah gapura dengan tulisan bahasa daerah berbunyi “Uhet Dien Dat Hading” yang artinya selamat datang.

Saat tiba, Liputan6.com menuju rumah juru kunci atau penjaga artefak kuno Jong Dobo, Bapak Sergius Moa, yang rumahnya kurang lebih 100 meter dari lokasi perahu Jong Dobo. Sergius Moa menceritakan sejarah dan asal muasal Jong Dobo serta para pewaris.

Menurut dia, ada tujuh suku yang ada di Kampung Dobo dan kepala kampung atau Lepo Tana Pu'ang (tuan tanah). Ia sendiri merupakan pewaris ketujuh yang menjadi pemegang kunci dan penjaga artefak Jong Dobo. Perkampungan Dobo berada di ketinggian 500 meter di atas permukaan laut.

Ada puluhan kepala keluarga (kk) yang menetap dan bermata pencaharian sebagai petani. Di perkampungan ini terdapat 7 suku atau dalam bahasa setempat disebut ”Lepo Pitu”. Diantaranya, Lepo Tana Pu’ang, Lepo Mangun Lajar, Lepo Sadopun, Lepo Hoban, Lepo Goban, Lepo Tadak, dan Lepo Tana Wura. Keseluruhan Lepo yang berada di Perkampungan Dobo dipimpin seorang Kepala Kampung, yaitu Lepo Tana Pu’ang (Tuan Tanah).

Keberadaan Lepo tersebut berkaitan erat dengan tujuh onggokan batu yang tersusun rapi di desa itu yang disebut ”Watu Mahe”. Watu Mahe milik Lepo Tana Pu’ang terletak persis di tengah kampung.

Oleh masyarakat setempat sering diadakan upacara-upacara, seperti memberi sesaji kepada arwah nenek moyang, upacara persiapan tanam dan panen, serta upacara adat lainnya.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Sejarah dan Penelitian

Situs sejarah
Foto : Jong Dobo atau perahu kecil yang dipercayai berasal dari India (Liputan6.com/Dion)

Sergius menceritakan, Jong Dobo sendiri dalam Bahasa Sikka, Maumere, terdiri dari dua suku kata. “Jong” berarti kapal, sedangkan “Dobo” adalah nama perkampungan, tempat disimpannya perahu tersebut. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, artinya “Perahu di Kampung Dobo”.

Nama lengkap kampong Dobo sendiri tempat di mana Jong Dobo berada adalah “Dobo Dora Nata Ulu”, artinya puncak Dobo kampung pertama.

Berdasarkan cerita lisan 'Kleten Latar', mitos “Jong Dobo” ini berawal dari kutukan setelah sebuah kapal asing yang melintas wilayah Flores melanggar perjanjian. Perjanjian itu adalah sebuah imbauan agar segera meninggalkan 'Kampung Dobo' sebelum fajar menyingsing.

Namun, perjanjian ini tak diindahkan dan akhirnya kapal tersebut terkena kutukan menjadi miniatur kecil dalam bentuk tembaga yang memiliki panjang 60 sentimeter, tinggi 12 sentimeter dan lebar 25 sentimeter.

Pada miniatur Jong Dobo, terdapat 12 pendayung, enam di sisi kanan dan enam di kiri. Di dalamya terdapat empat sosok penari perempuan, bersebelahan dengan ayam dan gong.

Ayam ini diyakini sebagai penentu arah waktu. Tiang layar jong ini sudah patah dan tidak ditemukan patahannya. Secara keseluruhan jong terlihat utuh. Jong ini berada di hutan Tuan Pireng, yang maknanya hutan sakti berupa hutan lindung.

Konon, pada abad ke-3 sebelum Masehi, ada kapal besar berlayar keliling dunia yang dipercaya berasal dari Dongson (India belakang). Kapal ini berlayar dari India, Thailand, Selat Malaka terus ke Indonesia melalui Sumatera, Jawa, Irian (Aru/Dabu), Bima, Labuan Bajo (Pulau Flores).

Menurut mitos yang diwariskan secara turun-temurun, setiap daerah/tempat yang disinggahi kapal ini diberi nama Dobo. Di Kabupaten Sikka ada beberapa tempat yang diduga pernah disinggahi kapal ini dan diberi nama Dobo. Misalnya, Dobo Nua Lolo, Dobo Nua Pu’u dan Kampung Dobo tempat di mana kapal berukuran besar ini terdampar dan mengecil.

Jong Dobo dipercayai datang dari India Belakang (Dongson) berlayar dari India untuk mencari tempat yang subur dan menetap. Sebelum melakukan perjalanan, semua mereka yang hendak berlayar tersebut membuat sumpah serapa/janji. Sumpah tersebut adalah tidak boleh melanggar hukum adat, alam dan hukum Tuhan.

 

Penelitian Arkeologi

"Apabila melanggar sumpah tersebut, maka mereka akan dikutuk menjadi kecil. Mereka melanggar sehingga dikutuk menjadi kecil,” dia menjelaskan.

Setelah pelayaran panjang hingga Labuan Bajo, dari situ mereka berlayar melalui pesisir pantai utara Pulau Flores, di Bajawa (Kabupaten Ngada) mereka mampir di Koli Dobo dan meneruskan hingga perjalanan ke Ende. Dari Ende, mereka meneruskan perjalanan menuju Maumere (Kabupaten Sikka) dan berlabu di Waipare, Kecamatan Kangae.

Di Waipare, lanjutnya, jangkar kapal terputus dan tertinggal, sehingga perjalanan dilanjutkan pada keesokan harinya. Bekas jangkar Jong Dobo kini masih ada di pesisir Pantai Waipare yang disebut Watu Milok.

Keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan menuju Ihigete Gera, Getung Deu dan diterima oleh masyarakat setempat, penderita penyakit kudis.

Tetapi ketika akan meninggalkan tempat itu, mereka mesti menarik kapal. Sebab kapal tersebut kandas di salah satu bukit sehingga bukit tersebut terbagi menjadi dua bagian. Oleh masyarakat setempat, bukit itu dinamakan Wolon Gele dan bekas tarikan perahu tersebut dimanfaatkan masyarakat menjadi jalan kampung.

”Karena mereka tidak diterima dengan baik, maka mereka melanjutkan perjalanan dan menetap di Bukit Dobo. Di sini mereka diterima oleh Moat Wogo Pigang dan mereka tinggal hingga saat ini,” dia mengungkapkan.

Menurut dia, artefak Jong Dobo pernah diteliti oleh ahli sejarah, seperti Dr. Theodore Hoeven. Menurut arkeolog sekaligus Padri Theodore Verhoeven, SVD (1982: 74) yang banyak menelusuri situs-situs purbakala di Flores, kapal tersebut merupakan jenis perahu yang sanggup mengangkut barang hingga 500 ton lebih.

Awalnya, berkembang di Semenanjung Indochina dan daratan China Selatan pada 300-500 SM yang dikenal sebagai era kebudayaan Dongson. Tempat Jong Dobo ini juga menjadi tempat penelitian bagi beberapa arkelogi lainya untuk mengetahui asal muasal dari Jong Dobo.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya