Liputan6.com, Bangkalan - Pandemi Covid-19 telah mempopulerkan kembali aktivitas mengayuh sepeda. Dan gowes, kata yang sebenarnya tak tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sehingga tak diketahui maknanya, juga turut populer.
Maka, meski tak diketahui asal usul penyerapannya, gowes seolah telah disepakati bersama menjadi istilah baru untuk menyebut kegiatan bersepeda beramai-ramai yang jamak dilakukan masyarakat tak hanya di perkotaan tapi juga ke pelosok desa.
Minggu pagi (12/8/2020), tak kurang dari 45 bapak-bapak, juga anak-anak penghuni Lavender, sebuah kawasan pemukim elite di Kelurahan Mlajah, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, bergowes dengan kostum lengkap bertuliskan 'pancal lavender', nama komunitas gowes ini di punggung. Pancal adalah mengayuh dalam bahasa Madura.
Advertisement
Baca Juga
Dimulai pukul 05.30 WIB, mereka menempuh jarak lebih dari 25 kilometer, melewati Desa Bilaporah, Keleyan, Petaonan, Sembilangan, Ujung Piring, Kramat dan kembali ke titik awal pemberangkatan pukul 08.30 WIB.
Setelah melepas lelah dengan air mineral, kolak labu juga kopi. Kegiatan pamungkas adalah sarapan bersama di pos kamling perumahan.
"Sangat lelah, tapi senang, saya hanya istirahat sekali," kata Azam, bocah 13 tahun, menceritakan pengalaman pertamanya ikut gowes karena diajak sang ayah.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Pandemi Mengeratkan Hubungan Sosial
Sejak lama, hidup di perumahan identik dengan individualisme. Tak saling kenal meski bertetangga adalah lumrah. Tapi virus Covid-19 yang pertama kali muncul di Wuhan China pada Desember 2019, telah mengubah semua itu.
Ketika WHO menyebut olahraga bersepeda bisa mencegah seseorang tertular corona karena imunitas tubuh meningkat, Ketua RW Graha Lavender, Ahmat Kamil, seorang pensiunan PNS, memelopori terbentuk komunitas Pancal Lavender tepat 1 Januari 2020, jauh sebelum corona masuk ke Indonesia.
Mula-mula hanya beberapa orang ambil bagian, kini setelah 7 bulan anggotanya lebih 70 orang. Jadwal gowes pun ditambah menjadi tiga kali sepekan.
Tiap kali gowes selalu dipilih rute yang berbeda, agar mereka lebih mengenali seluk-beluk desa di Bangkalan.
"Sejak gowes ini, saya lebih kenal seperti apa desa-desa di Bangkalan. Tapi yang lebih penting, kami saling mengenal antar tetangga. Lebih sering bersosialisasi satu dengan yang lain," kata Kamil.
Kamil sudah sejak lama bersepeda. Maka di usia 62 tahun, dia masih mampu mengimbangi yang muda-muda. Rute terjauhnya ke Jembatan Suramadu yang berjarak 47 kilometer.
"Sejak rutin gowes, gairah di ranjang juga lebih stabil," kata dia sembari tertawa.
Advertisement
Olahraga Sepeda Tak Lagi Murah
Sejak booming gowes, olahraga ini tak lagi masuk kategori olahraga murah. di komunitas Pancal Lavender, sepeda gunung X Trail milik Rusliyadi yang paling mahal.
Harganya Rp12 juta, kini harganya di berbagai marketplace sudah mencapai Rp16 jutaan. Ini belum termasuk biaya modifikasi gir, ban, stang dan kostum lengkap pesepeda yang tak murah.
Bagi Rusli yang seorang kontraktor, harga tak menjadi soal. Sebab, katanya, sejak rutin gowes dia merasa hidupnya lebih bahagia.
Kolesterol dan gula darah Rusli yang kerap tinggi, Kini perlahan stabil setelah rutin bersepeda. Jam tidurnya pun menjadi lebih teratur.
Di luar jadwal rutin, Rusli yang ketagihan kerap bersepeda sendirian, saat pagi atau malam hari.
"Sejak datang corona, kerjaan ikut lockdown, pikiran ruwet. Ketika dibawa gowes, tertawa bareng teman-teman, pikiran lebih fresh," kata dia.
Doni Andrian, seorang anggota komunitas, juga merasakan manfaat serupa. Bekerja di kapal asing berbulan-bulan membuatnya tak banyak bergaul. Semenjak cuti panjang akibat pandemi, dia bergabung dengan Pancal Lavender.
"Sekarang sudah lebih mengenal satu sama lain, lebih banyak teman ngobrol," ungkap dia.