Liputan6.com, Kutai Kartanegara - Siang yang terik, Agus Priyono menyeka dahi di keringatnya. Tiga ibu-ibu PKK mengerubunginya.
Beragam pertanyaan meluncur membuatnya sedikit kewalahan. Dengan telaten, Agus yang terbiasa menjadi tempat konsultasi soal pertanian menjawab dengan tenang.
“Untuk memberikan pupuk buah pada pohon elai harus menunggu tidak hujan minimal tiga hari, paling bagus satu pekan,” kata Agus menjawab pertanyaan seorang ibu.
Advertisement
Baca Juga
Rusniwati, seorang ibu rumah tangga yang merupakan anggota PKK itu sangat berharap pohon elainya bisa berbuah di luar musim buah. Agus Priyono yang merupakan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di Desa Batuah, Kabupaten Kutai Kartanegara sedang berupaya menyemangati warga untuk fokus menanam elai.
Elai adalah varian jenis durian yang merupakan tanaman endemik di Kutai Kartanegara. Tanaman itu tumbuh subur di hutan hujan tropis yang menjadi ciri khas topografi Pulau Kalimantan.
Di tengah upaya mengembangkan sektor perkebunan dan pertanian, Agus terkadang harus menghadapi kenyataan tak menyenangkan. Banyak warganya yang enggan mengembangkan lahannya.
“Kebanyakan tergiur untuk menyerahkan lahannya untuk tambang batubara,” katanya.
Upaya menyemangati agar warga terus fokus pada tanaman pangan tanpa henti dilakukannya. Tantangan terberat adalah keenganan warga menggarap lahannya.
“Dengan teknologi pertanian yang kita ajarkan, kita berharap warga desa tergerak karena pendapatan tak hanya di musim buah saja,” tuturnya.
Sejak awal ditugaskan ke Desa Batuah, Agus memfokuskan warga untuk menanam elai di samping tanaman holtikultura lainnya. Potensi buah elai di Desa Batuah terbilang sangat besar jika ditekuni dengan baik.
Simak juga video pilihan berikut
Pernah Frustasi
Kesuksesan bagi seorang penyuluh pertanian adalah melihat warga binaannya sukses. Apalagi bisa menghasilkan pendapatan yang besar dari hasil mengolah lahan.
Di Desa Batuah, tantangan terberat menjadi penyuluh pertanian adalah transfer teknologi. Itu yang dirasakan oleh Agus Priyono.
“Petaninya banyak yang tradisional, kita transfer teknologinya agak susah. Karena tradisional, warga lebih banyak tergantung pada alam,” kata Agus.
Misalnya saja soal pembuahan di luar musim, Agus menyebut teknologi sudah sejak lama dikampanyekannya. Ada beberapa warga yang mau dan berhasil.
“Mereka lihat bukti keberhasilan itu, tapi tetap aja tidak mau melakukan,” tutur Agus heran.
Padahal, sambungnya, pembuahan di luar musim itu dari sisi bisnis itu lebih menarik. Aspek penyerapan pasar dan aspek pendapatannya juga bisa lebih besar.
“Kita mengubah mindset petani tradisional ke petani agrobisnis itu susah, saya hampir frustasi juga,” ungkapnya.
Bagi Agus Priyono, 16 tahun mengabdi seakan sia-sia karena hingga saat ini tidak banyak kelihatan hasilnya. Padahal, saat 2004 bertugas di Desa Batuah, dia sudah mencanangkan desa itu sukses di agrobisnis pohon elai pada 10 tahun berikutnya.
“Target saya, dengan tahapan-tahapan yang sudah kita buat, harusnya 2014 lalu buah elai dari Desa Batuah sudah bisa diekspor,” kata Agus.
Faktor mudahnya warga melepas lahan untuk aktivitas lain menjadi salah satu penghambat utama rencana itu. Mimpi sebagai produsen elai terbaik di Indonesia masih sangat panjang.
“Tahapannya jelas dari tahun pertama sampai tahun ke-10 sudah tersusun baik apa yang harus dilakukan. Pada tahun kelima waktu itu saya lihat, sudah tidak mungkin terealisasi,” katanya.
Meski demikian, Agus tak pantang menyerah. Semua tahapan itu masih terus diupayakannya dengan menggandeng warga yang masih punya niat kuat mengembangkan kebun elai.
Advertisement
Fokus Buah Elai
Melihat potensi Desa Batuah, ditambah kultur masyarakatnya, Agus Priyono optimis menjadikan desa ini sebagai produsen buah elai terbesar di Indonesia. Dorongan dan pendampingan, tentu akan mampu merealisasikan cita-cita tersebut.
“Elai itu kan yang pertama ditemukan yang unggul, Elai Mahakam. Kedua, resikonya itu kecil. Karena sebagai tanaman endemis lokal kita, persoalannya itu tidak banyak, beda dengan tanaman introduksi,” paparnya.
Warga Desa Batuah, sambungnya, lebih suka menanam elai daripada durian. Karena tuntuan teknologinya tidak banyak.
“Mereka tanam alakadarnya saja mereka bisa panen melimpah,” kata Agus.
Sementara jika menanam durian, kalau tidak menggunakan cara intensif pasti gagal. Elai ini bisa bertahan dari serangan hama.
“Serangan ulat pada elai, saya tidak pernah menemukan lebih dari 20 persen serangannya. Resikonya tidak terlalu besar,” ujarnya.
Di sisi lain, elai ini merupakan varian durian yang khas. Penggemarnya juga khusus.
“Ada orang yang tidak suka durian, ternyata suka elai. Ada juga yang suka durian, suka juga elai. Elai ini ada pangsa pasar, tidak ada pesaing, kenapa tidak kita mainkan,” kata Agus.
Dengan menjual sebagai tanaman khas Kutai, elai bisa memiliki daya tawar tersendiri bagi penggemar buah jenis durian. Potensi ini akan menggerakkan perekonomian warga dan mengenalkan Desa Batuah hingga ke luar negeri.
Edukasi Ibu-ibu PKK
Agus Priyono meraih ponselnya. Jarum jam menunjukkan pukul 23.00 WITA. Di tengah pandemi Covid-19, Agus masih melayani satu per satu pesan whatsapp dari ibu-ibu PKK.
Saat Kepala Desa Batuah Abdul Rasyid meminta setiap RT membuat dasawisma di awal tahun 2020, kesibukan Agus makin bertambah. Dia harus mendampingi 84 kelompok dasawisma untuk membuat kebun.
Meski lelah, Agus sebenarnya menanti kesibukan seperti ini. Ada semangat baru tatkala ibu-ibu yang terbiasa berkutat di dapur menanyakan cara menanam sayur.
“Ini bisa jadi embrio yang menggerakan banyak warga Desa Batuah kembali mengolah lahannya,” katanya.
Secara perlahan, Agus mengajarkan ibu-ibu ini cara mengolah lahan. Perlahan tapi pasti, kebun-kebun kecil terus tumbuh hingga kini mencapai 84 kebun.
“Kita ajarkan lagi dari awal, menyiapkan lahan, membuat pupuk, dan lain-lain,” sambungnya.
Meski lelah, dia tetap tekun mendampingi warga desa yang hendak membuat kebun. Satu per satu dasawisma itu didatangi hanya sekedar memastikan cara menanamnya dengan benar.
Ibu-ibu dasawisma itu merasa sangat terbantu dengan kehadiran pria kelahiran Probolinggo, 57 tahun lalu itu. Ayah dari enam anak ini terus berkeliling Desa Batuah, menjawab satu per satu persoalan yang dihadapi warga desa dalam berkebun.
“Sejak 15 tahun lalu saya sudah didampingi untuk menanam elai, itu buktinya,” kata Nanik, seorang ibu rumah tangga, anggota Dasawisma Asoka, seraya menunjukkan kebun elainya yang rimbun dan cukup luas.
Agus Priyono kini menjelang pensiun. Namun dia meneguhkan hati untuk tetap berada di Desa Batuah. Tentu saja, untuk mewujudkan mimpinya agar Desa Batuah menjadi pusat buah elai.
Advertisement
Sangat Terbantu
Kepala Desa Batuah Abdul Rasyid mengaku sangat terbantu dengan kehadiran PPL berdedikasi seperti Agus Priyono. Ini dibuktikan dengan terbentuknya 84 kebun dan taman yang cantik dari ibu-ibu PKK anggota dasawisma.
Seringkali, kata Rasyid, Agus langsung menemui dasawisma yang kesulitan mengembangkan kebunnya. Pemerintah Desa Batuah sangat terbantu mengedukasi warganya untuk menjalankan program ketahanan pangan mandiri.
“Pak Agus meski tidak diminta datang, tetap datang sehingga menjadi tempat bertanya ibu-ibu itu. Pak Agus apa yang kurang? Dijawab butuh ini itu, itulah yang membuat ibu-ibu itu merasa didukung pemerintah,” papar Rasyid.
Bantuan Agus, tambahnya, memudahkan tugas pemerintah desa dalam mengembangkan dasawisma ini. Perhatian serta ketekunan melatih dan menjawab semua persoalan yang dihadapi warga dalam mengolah kebun membuat keberadaan PPL sangat terasa.
“Mulai dari pembuatan bedeng, Pak Agus mengarahkan harus seperti apa. Jika ada tanaman yang tidak bisa besar, ternyata pola pupuknya, kemudian lokasinya, sampai ada yang diubah arah tanamnya,” ujar Rasyid.
Paling penting dari program dasawisma itu adalah pengenalan teknologi pertanian dan perkebunan kepada warga Desa Batuah. Tanpa lelah, Agus Priyono mengajarkan dengan telaten.
“Kita sangat terbantu dengan kehadiran beliau, bisa diajak berdiskusi kapan saja, mau bergerak bersama,” pungkasnya.