PTPN V Disebut Ambil Alih Ribuan Hektare Lahan Petani Sawit, Benarkah?

PTPN V dituding telah merebut ribuan hektar lahan masyarakat di Kabupaten Kampar tapi faktanya berbeda karena sudah pernah digugat di Pengadilan Negeri Bangkinang.

oleh M Syukur diperbarui 18 Sep 2021, 10:00 WIB
Diterbitkan 18 Sep 2021, 10:00 WIB
Kebun sawit pola kerjasama ayah angkat atau plasma antara masyarakat Riau dengan PTPN V.
Kebun sawit pola kerjasama ayah angkat atau plasma antara masyarakat Riau dengan PTPN V. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Pekanbaru - Pengurus lama Koperasi Sawit Makmur (Kopsa-M) melaporkan PT Perkebunan Nusantara atau PTPN V ke berbagai lembaga penegak hukum. Anthony Hamzah sebagai ketua lama menggandeng Setara Institut juga menghembuskan berbagai kabar.

Kabar ini mulai dari pencaplokan ribuan hektare lahan di Desa Pangkalan Baru, Kabupaten Kampar hingga tudingan PTPN V gagal membangun kebun dengan sistem bapak angkat atau plasma.

Selama ini, PTPN V selalu diam karena menilai apa yang dituduhkan tidak berdasarkan fakta. Kali ini melalui kuasa hukumnya, Dr Sadino, PTPN V mengingatkan Kopsa-M pengurus lama jangan mempermainkan hukum.

Sadino menceritakan, Kopsa-M versi Anthony Hamzah pernah menggugat pada tahun 2019 termasuk Bank Mandiri. Dalam gugatannya, Anthony meminta PTPN V membayarkan kerugian materil Rp129 miliar dan melunasi hutang di Bank Mandiri selanjutnya mengembalikan 1.650 hektare lahan beserta jaminan kredit berupa SHM.

Penggugat, lanjut Sadino, juga meminta pengadilan menyatakan PTPN V telah gagal membangun kebun Kopsa-M seluas 1.650 serta melakukan wan prestasi atau ingkar janji.

"Oleh majelis hakim PN Bangkinang, gugatan mereka seluruhnya dinyatakan tidak dapat diterima," ujar Sadino, Kamis petang, 16 September 2021.

Usai itu, Anthony mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru pada Maret 2020. Di sini, amar putusan justru menguatkan putusan tingkat pertama.

Setelah gagal di tingkat banding, Anthony kembali mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada Juni 2021, kasasi tersebut kemudian dicabut oleh penggugat.

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Simak juga video pilihan berikut ini:

Tidak Ada Kebun Inti

Berdasarkan putusan ini, persoalan yang terjadi antara PTPN V dan Kopsa-M telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga secara legal, perjanjian antara Kopsa-M dan PTPN V yang disepakati pada tahun 2003, 2006 dan 2013 lalu, sah dan masih berlaku serta menjadi pengikat.

"Ini harus dijalankan," tegas akademisi pasca sarjana Universitas Al-Azhar Indonesia itu.

Sadino menambahkan, PTPN V adalah bapak angkat sekaligus avalis kebun Kopsa-M yang merupakan kebun dengan pola Koperasi Kredit Primer untuk Anggota (KKPA). Lahan seluruhnya 100 persen berasal dari masyarakat.

Ia menjelaskan, masyarakat melalui Kopsa-M dan Ninik Mamak atau tetua adat setempat pada tahun 2001 meminta PTPN V untuk dibangunkan perkebunan. Perusahaan setuju dan mulailah dibangun kebun pola KKPA.

Saat itu, total luasan yang disebutkan masyakarat untuk dibangun perkebunan mencapai 4.000 hektare. Terdiri dari Kebun Kopsa-M 2.000 hektare, kebun inti 500 hektare, Kebun Sosial Masyarakat Desa Pangkalan Baru 500 hektare, dan Kebun Sosial 1.000 hektare.

"Tapi ternyata setelah diukur, arealnya tidak cukup, sehingga dari beberapa tahap pembangunan, yang terbangun adalah seluas 1.650 hektare kebun untuk Kopsa-M sendiri," terang Sadino.

PTPN V sendiri tidak dapat kebun inti sama sekali seperti yang direncanakan dari awal. Ada surat ninik mamak yang menyatakan lahan untuk kebun inti tidak tersedia sehingga batal dibangun.

Menurut Sadino, fakta ini sekaligus membantah tudingan menyesatkan yang menyebutkan PTPN V merampas tanah rakyat dan menjual kebun inti serta melakukan korupsi.

"Saya pastikan itu tidak benar, wong sampai saat ini tanah dan asetnya sepenuhnya dikuasai oleh Kopsa-M, tidak ada sejengkalpun kebun inti PTPN V di sana," tegas Sadino.

Jangan Permainkan Hukum

Dengan dasar ini, Sadino meminta pengurus Kopsa-M lama jangan membuat berita yang tidak sesuai fakta di berbagai media, apalagi sampai mempermainkan hukum.

Pakar hukum nasional ini turut menyoroti tiga perjanjian yang terbit dalam pembangunan Kopsa-M yakni perjanjian nomor 7 tahun 2003, nomor 18 tahun 2003 dan nomor 2 tahun 2006, yang telah menjadi undang-undang yang berlaku bagi kedua belah pihak.

Ia menyebutkan terdapat hak dan kewajiban kedua belah pihak yang sangat jelas, di mana kewajiban PTPN V adalah menjadi off-taker pembangun kebun dan avalis penjamin di perbankan. Selanjutnya, ada pula kewajiban Kopsa-M untuk membayar cicilan atas biaya pembangunan kebun yang telah disepakati.

"Sekarang ini, Kopsa-M versi ketua Anthony Hamzah menolak itu semua dan menggugat PTPN V. Maka saat gugatan tersebut ditolak oleh hukum melalui pengadilan, apalagi sampai berkekuatan hukum tetap, maka ikutilah perjanjian yang ada. Jangan putar balikkan fakta dengan melaporkan kami ke berbagai lembaga penegak hukum," tegur Sadino.

"Bayangkan, hasil penjualan produksi Kopsa-M dalam satu bulan mencapai lebih Rp2 miliar, masa pembayaran cicilan hutang cuma Rp5 sampai Rp25 juta perbulan. Sisanya PTPN V selaku avalis yang terus menalangi ke perbankan, luar biasa wanprestasinya," tuturnya.

Berbagai upaya diusahakan PTPN V untuk dapat mencari jalan tengah agar masalah ini tidak berlarut-larut. Mulai dari melakukan perundingan, melakukan take over dari Bank Agro ke Bank Mandiri agar Kopsa-M memiliki dana untuk perbaikan areal, hingga pertemuan-pertemuan yang melibatkan pemerintah setempat.

"Bisa dibilang buntu. Apalagi sejak kepengurusan diambil alih Anthony Hamzah pada 2016. Dia bukan penduduk asli apalagi petani tempatan. Lalu dia juga tidak mau menandatangani berita acara pernyataan hutang (BAPH)," terang Sadino.

"Padahal dia tahu kondisi kebun masih dalam status berhutang ke bank dengan PTPN V selaku avalis. Jangan main-mainlah dengan hukum kalau tidak mau terjerat hukum," tutup Sadino.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya