Polemik Pelabelan 'BPA Free' pada Kemasan Air Minum

Kebijakan yang telah digulirkan sejak awal 2021 itu adalah pencantuman label risiko BPA pada semua produk air minum dalam kemasan.

oleh Abelda RN diperbarui 06 Des 2021, 18:00 WIB
Diterbitkan 06 Des 2021, 18:00 WIB
Ilustrasi galon air minum dalam kemasan (AMDK).
Ilustrasi galon air minum dalam kemasan (AMDK).

Liputan6.com, Balikpapan Organisasi lobi industri galon isi ulang bermerek berada dalam tekanan setelah rancangan kebijakan pelabelan risiko Bisfenoal-A (BPA) yang digulirkan otoritas tertinggi keamanan dan mutu pangan dalam negeri sejak beberapa waktu lalu, mendapat dukungan dari banyak kalangan.

"Sepanjang rancangan kebijakan BPOM memang berlatar keinginan untuk kepentingan kesehatan masyarakat secara luas, kami mendukungnya," kata Ketua Umum Asosiasi Pemasok dan Distributor Depot Air Minum Indonesia, Budi Dharmawan.

Menurut Budi, penolakan lobi industri atas rancangan kebijakan pelabelan itu lebih karena persaingan memperebutkan pasar air minum kemasan bermerek di kalangan masyarakat menengah ke atas yang angkanya mencapai 35 miliar liter per tahun.

"Ini sebenarnya hanya pertarungan di level dewa," katanya merujuk pada persaingan antara perusahaan-perusahaan galon isi ulang bermerek yang produknya menggunakan plastik Polikarbonat yang mengandung BPA dan telah lebih dulu menguasai pasar versus sejumlah pemain baru yang produknya menggunakan plastik lebih berkelas dan bebas BPA.

"Bagi kami, andai konsumen datang untuk isi ulang ke depot dengan membawa ember tetap akan kami layani," kata Budi menyebut fokus bisnis industri depot air minum adalah penyediaan air bersih untuk kalangan menengah ke bawah.

Simak video menarik berikut:

Menolak Pelabelan Risiko BPA

Bahaya di Balik Air Minum Kemasan Galon Isi Ulang
Bahaya di Balik Air Minum Kemasan Galon Isi Ulang

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan (Aspadin), Rachmat Hidayat, menyatakan menolak rencana pelabelan risiko BPA pada air minum kemasan antara lain karena bakal mematikan industri Air Minum dalam Kemasan.

"Galon isi ulang sudah digunakan hampir 40 tahun, tidak saja oleh rumah tangga di perkotaan tetapi juga di sub-urban, termasuk di institusi pemerintah, rumah sakit, kantor dan lainnya," katanya menepis risiko kesehatan dari paparan BPA pada galon isi ulang.

Kebijakan akan dilaksanakan BPOM

Galon Guna Ulang
Galon Guna Ulang (Foto: Dok Danone-AQUA)

Pada Oktober, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang, menyampaikan perkembangan rancangan kebijakan (policy brief) pencantuman label risiko BPA pada air minum kemasan. Menurut Rita, arah dari policy brief yang telah digulirkan sejak awal 2021 itu adalah pencantuman label risiko BPA pada semua produk air minum dalam kemasan.

"Redaksinya nanti bisa berupa kalimat 'mungkin/dapat mengandung BPA' untuk galon yang menggunakan plastik polikarbonat," katanya merujuk pada insiatif pelabelan "BPA Free" (Bebas BPA) yang telah diadopsi pemerintah di sejumlah negara, termasuk di Amerika Serikat dan Perancis.

BPA adalah bahan baku utama yang menjadikan Polikarbonat - jenis plastik kemasan yang jamak dijumpai pada produk galon isi ulang - mudah dibentuk, tahan panas dan awet.

Sebagai senyawa kimia, BPA dapat bermigrasi pada air dalam kemasan plastik dan memicu risiko kesehatan yang serius. Lantaran itu lah, sejak 2019, BPOM menetapkan batas migrasi maksimal BPA sebesar 0,6 bagian per juta (mg/kg) pada semua air minum kemasan. Sekaitan itu pula, BPOM secara rutin mengecek kepatuhan industri AMDK atas batas migrasi BPA itu.

Dukungan untuk BPOM

Sidang Terakhir Anggota MPR
Suasana Sidang Paripurna MPR Akhir Masa Jabatan Periode 2014-2019 di Gedung Nusantara, Kompleks MPR DPR RI Senayan, Jakarta, Jumat (29/7/2019). Sidang paripurna MPR ini dipimpin Ketua MPR Zulkifli Hasan didampingi para wakil ketua. (Liputan6.com/HO/Sopi)

Di Senayan, anggota Komisi IX DPR Arzeti Bilbina memberi apresiasi terhadap aturan pelabelan risiko BPA ini.

"Saya minta BPOM membuat aturan setiap wadah plastik untuk tidak ada kandungan BPA dengan ditandai ada label 'BPA free'," katanya dalam sesi dengar pendapat dengan Kepala BPOM, Penny K Lukito, pada November.

Respons positif juga datang dari Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi.

"Semakin tinggi standar keamanan dan mutu pangan yang ditetapkan BPOM, tentunya semakin baik bagi perlindungan konsumen," katanya.

Sosialisasi BPOM

Kepala BPOM Penny K Lukito
Kepala BPOM Penny K. Lukito dalam dialog Antar Generasi bertema “Mengaktualisasikan Nilai-Nilai Kepahlawanan dalam Pengabdian Membangun Kemandirian dan Daya Saing Bangsa," Selasa (9/11/2021). (Dok BPOM RI)

Sementara itu, sumber di kalangan industri menggambarkan dua kali pertemuan tertutup BPOM dan perwakilan industri AMDK belum lama ini, terkait sosialisasi rencana pelabelan risiko BPA, berlangsung panas.

"Pihak Aspadin ngotot menolak pelebelan itu dan menyebut BPOM termakan hoaks bahaya BPA," kata sumber yang tak ingin disebutkan identitasnya lantaran tak berhak berbicara ke publik.

Menurutnya, BPOM "cukup sabar" menjelaskan ke perwakilan industri bahwa rencana kebijakan pelabelan itu tidak berdasarkan tekanan pihak manapun dan bahwa rencana kebijakan itu sejalan dengan praktik serupa di banyak negara lain.

Lebih jauh, sumber menjelaskan, pihak Aspadin menyampaikan dalam pertemuan bahwa banyak industri kecil bakal gulung tikar karena rencana pelabelan itu. Namun, katanya, BPOM kontan keberatan dengan pernyataan itu lantaran tujuan dari rencana pelabelan itu adalah penyelarasan standar pelabelan kemasan pangan dan juga untuk memberi informasi yang presisi pada konsumen.

Bagi peneliti Balai Teknologi Polimer Badan Riset dan Inovasi Nasional, Chandra Liza, rencana pelabelan risiko BPA pada kemasan pangan bakal "membawa dampak positif" dalam perlindungan kesehatan masyarakat. Dia berharap BPOM segera menyosialisasikan rancangan kebijakan pelabelan itu secara luas.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya