Semangat Pagi Menarik Tagaho bersama Perempuan-Perempuan Perkasa dari Buton Selatan

Nelayan perempuan di Kabupaten Buton Selatan membantu suami dan orangtua mereka menarik pukat ikan di pesisir pantai.

oleh Ahmad Akbar Fua diperbarui 07 Des 2021, 06:00 WIB
Diterbitkan 07 Des 2021, 06:00 WIB
Nelayan wanita di Kabupaten Buton Selatan membantu suami dan orang tua mereka menarik pukat ikan di pesisir pantai.(Liputan6.com/Ahmad Akbar Fua)
Nelayan wanita di Kabupaten Buton Selatan membantu suami dan orang tua mereka menarik pukat ikan di pesisir pantai.(Liputan6.com/Ahmad Akbar Fua)

Liputan6.com, Kendari - Menikmati pagi di Desa Laompo Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton Selatan, tidak akan jauh dari cerita tentang laut dan pantai. Di pesisir Batauga yang memanjang hingga ke Kecamatan Sampolawa, ada aktivitas menarik setiap pagi.

Jika keluar sejak pukul 06.00 Wita hingga pukul 08.00 Wita, kita bakal menjumpai warga yang berkumpul lalu melempar dan menarik tagaho, bahasa lokal warga setempat untuk menyebut sejenis pukat ikan tradisional. Tagaho, merupakan pukat khusus dengan panjang sekitar 150 meter hingga 200 meter.

Di pesisir pantai Laompo, ada 3 kepala keluarga yang biasa menarik tagaho. Mereka merupakan keluarga pengungsi asal Kota Ambon saat kerusuhan 1999 silam. Selain kepala keluarga, ibu rumah tangga dan anak-anak wanita ikut turun ke laut menarik pukat.

Tidak malu-malu, demi tuntutan hidup, para wanita menceburkan diri dalam ombak pantai sejak pagi. Rata-rata, keluarga nelayan bertahan hidup sebagai penarik pukat.

La Atin (52) salah seorang penarik pukat menceritakan, sudah sejak tahun 1999 dia beraktivitas di pesisir Kecamatan Batauga. Saat itu, wilayah ini masih menjadi wilayah Kabupaten Buton.

"Saya punya anak perempuan dua orang, tambah istri, saya selalu dibantu mereka setiap hari," kata La Atin.

La Atin merupakan pengungsi asal Kota Ambon yang datang dan menetap di Batauga Kabupaten Buton Selatan. Usai kerusuhan tahun 2009, dia tak ingin kembali ke kampung halaman. Dia dan istrinya Wa Asi (50), memilih bertahan hidup sebagai nelayan di kampung orang.

"Saya memang ajak anak-anak, supaya bantu-bantu kami cari uang untuk kebutuhan dan sekolah mereka," ujarnya.

Wa Asi, istri La Atin menceritakan, dia berusaha membantu suaminya. Menurutnya, agar kebutuhan hidup cukup bagi mereka dan anak-anak, perempuan harus membantu suami sebisanya.

"Supaya kerja suami ringan, ya tarik tarik pukat sedikit lah tak apa-apa," ujar Wa Asi sambil tertawa.

Dia mengaku, mengajak dua anak perempuannya yang kini tengah bersekolah. Seorang sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi di Kota Baubau. Seorangnya lagi, duduk di bangku SMA.

"Supaya mereka lebih semangat sekolah dan tak kerja seperti kami ini nanti, makanya diajak," ujar Wa Asi.

Ditemui di lokasi pantai, dua anak perempuannya terlihat ikut menarik pukat yang sudah dipasang sebelumnya. Kemudian, keduanya membantu melepas ikan-ikan tangkapan yang terjerat. Aktivitas ini, dilakukan selama dua hingga tiga jam setiap hari.

Diketahui, wilayah Buton Selatan, mengandalkan sektor ekonomi melalui pariwisata dan perikanan. Pemerintah setempat kini tengah menggenjot promosi sekitar 90 titik lokasi wisata dan perikanan di wilayah yang memisahkan diri dari Kabupaten Buton itu sejak 2014 silam.

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

Aktivitas Menarik Tagaho

Nelayan wanita di Kabupaten Buton Selatan membantu suami dan orang tua mereka menarik pukat ikan di pesisir pantai.(Liputan6.com/Ahmad Akbar Fua)
Nelayan wanita di Kabupaten Buton Selatan membantu suami dan orang tua mereka menarik pukat ikan di pesisir pantai.(Liputan6.com/Ahmad Akbar Fua)

Para penarik pukat di pesisir Kecamatan Batauga, ternyata bukan hanya nelayan. Namun, ada dari kalangan PNS, polisi, atau anggota TNI. Mereka kadang datang membantu para nelayan saat sebelum menuju kantor atau saat melintas di lokasi pantai.

Fadri, salah satu pegawai mengatakan, saat pagi, dia kerap membantu para nelayan. Dia mengakui, pukat yang basah sepanjang 100 meter lebih, sangat berat dan tidak bisa hanya ditarik 3 sampai 4 orang.

"Makanya kami bantu, kalau banyak isi ikannya biasa kami diberi sama nelayan. Kalau tidak, yaa tidak apa-apa kan ikhlas," ujar dia.

Nelayan di pesisir Batauga, biasanya memasang pukat sejajar dengan arah datangnya gelombang laut dari arah Laut Flores. Menurut warga setempat, ikan biasanya terempas mengikuti gelombang hingga ke tepi.

La Atin menjelaskan, setelah pukat dibentang, warga akan beramai-ramai membantu. Jika hanya ditarik tiga sampai 4 orang, pukat akan terasa berat.

"Jika musim angin Barat seperti saat ini November sampai Desember, pagi biasa kami mulai jam 7 saat air laut sedang surut, akan ada banyak jenis ikan yang yang terhempas," ujar La Atin.

Lain lagi jika musim angin timur, warga biasanya akan memulai aktivitas memasang pukat sore hari. Sebab, saat itu air baru surut hingga menjelang malam.

"Kalau beruntung, kita bisa dapat ikan kakap, ikan putih, ukurannya bisa setengah sampai 1 meter. Bisa sampai ratusan ekor sekali pasang pukat," ceritanya.

Harganya, bisa mencapai Rp3 juta sampai Rp7 juta rupiah saat dijual ke pasar. Namun, kondisi ini jarang terjadi, peling beruntung dua kali setahun.

"Kalau lagi tidak beruntung, ya seperti ini hanya sedikit dan ikannya kecil-kecil saat pasang pukat," ujarnya memperlihatkan seember penuh ikan lompa, sebutan lokal untuk sejenis ikan sarden kecil yang hidup di perairan Buton Selatan.

Ketika ikan dijual ke pasar, bisa berharga paling rendah Rp50 ribu satu tumpukan. Jika ikan berukuran cukup besar, harganya lain lagi. Bahkan, bisa mencapai Rp100 ribu setiap ekor. Jika pendapatan hanya sedikit, maka biasanya akan dibawa pulang dan dimasak sendiri oleh nelayan.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya