Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Meningkat di Sumbar

Kasus kekerasan pada masa tahun kedua pandemi Covid-19 ini mengalami peningkatan.

oleh Novia Harlina diperbarui 11 Jan 2022, 04:00 WIB
Diterbitkan 11 Jan 2022, 04:00 WIB
Kekerasan seksual
Aplikasi Truecaller melakukan sebuah studi yang menunjukkan 80% perempuan di 5 negara pernah mengalami pelecehan melalui telepon. | pexels.com/@rodnae-prod

Liputan6.com, Padang - Kasus kekerasan pada perempuan dan anak di Sumatera Barat sepanjang 2021 mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya.

Direktur Nurani Perempuan Women’s Crisis Center, Rahmi Merry Yenti mengatakan pada 2020, pihaknya menangani sebanyak 94 kasus, sedangkan pada tahun 2021 ada sebanyak 104 kasus.

Dari total kasus tersebut, kekerasan dalam rumah tangga merupakan kasus paling banyak yakni 47 kasus atau meningkat dari sebelumnya 32 kasus.

"Hal ini menggambarkan bahwa rumah yang seharusnya menjadi tempat sosialisasi primer bagi anak, namun saat ini rumah menjadi pusat terjadinya kekerasan," kata Merry (10/1/2021).

Kemudian kasus lainnya yakni pemerkosaan, pada 2021 jumlah kasusnya mencapai 26 kasus, sementara pada 2020 terdapat 34 kasus.

Sejumlah kasus lainnya seperti sodomi terjadi sebanyak 4 kali pada 2021, pelecehan seksual 15 kasus, kekerasan berbasis gender online 9 kasus.

"Untuk korban, rata-rata berpendidikan, ini mematahkan stigma masyarakat yang mengatakan bahwa kekerasan terjadi karena pendidikan masyarakat yang rendah, sehingga ada ketakutan untuk menolak terjadinya kekerasan," jelasnya.

Nyatanya, lanjut Merry, data dari Nurani Perempuan menunjukkan bahwa para korban rata-rata sekolah dan berpendidikan tinggi, di antaranya sebanyak 29 korban tamat SMA, 26 korban tamat SD, 20 korban tamat SMP, 16 korban S1, 8 korban belum sekolah, 3 korban D3, 1 korban SDLB, dan 1 korban S2.

 

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

Pelaku Orang Terdekat Korban

Data ini menggambarkan bahwa pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang bisa terhindar dari tindakan kekerasan berbasis gender, kekerasan berbasis gender terjadi karena adanya relasi kuasa yang timpang antara perempuan dengan laki-laki ditambah lagi budaya patriarki yang mengakar sangat kuat di tengah masyarakat.

"Sehingga para pelaku kekerasan dengan mudahnya membangun relasi yang tidak sehat sebagai modus dalam menguasai korbannya," jelasnya.

Kemudian untuk pelaku, sebutnya, ada 26 ragam pelaku dari 104 kasus dan semua itu adalah orang-orang terdekat atau dikenal korban, di antaranya suami, pacar, tetangga, ayah kandung, paman, hingga tetangga korban.

Pelaku melakukan tindakan kekerasan fisik, psikis, dan seksual di dalam rumah. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung dari bahaya dan ancaman ternyata rumah menjadi tempat meyeramkan dan meninggalkan trauma yang panjang bagi korban.

"Rumah bukan lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi perempuan dan anak," ucap Merry.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya