Liputan6.com, Jakarta - Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri menilai mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja sangat fasih atau terbiasa melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Hal itu terbukti dari jumlah korbannya.
“Langsung tiga anak dalam satu episode tunggal, mengindikasikan level keberanian dan kefasihan FW dalam melakukan kejahatan seksual terhadap anak. Sehingga, patut diduga ada anak-anak lain yang juga telah dimangsa oleh FW,” tutur Reza Indragiri dalam keterangannya, Kamis (13/3/2025).
Baca Juga
Menurutnya, AKBP Fajar juga dikabarkan pernah membayar perempuan dewasa untuk layanan seksual. Kondisi tersebut menunjukkan selera asusila terhadap anak-anak tidaklah bersifat eksklusif.
Advertisement
“Tambahan lagi jika salah satu korban FW adalah anak yang telah haid. Maka, FW juga tidak dapat disebut sebagai pengidap gangguan pedofili. Syarat pedofili adalah anak berusia prapubertas,” jelas dia.
Tidak ketinggalan soal AKBP Fajar yang turut mengirimkan adegan seksualnya ke situs porno internasional. Rangkaian kejahatan tersebut menimbulkan spekulasi, bahwa pelaku melakukan hal itu dilatarbelakangi oleh dorongan instrumental.
“Yaitu komersialisasi konten pornografi anak. Apakah uang yang dia peroleh dipakai untuk membeli narkoba, atau bagian dari bisnis jahat terkait promosi wisata seks anak, cek rekening bank FW. Yang jelas, FW diduga melakukan kejahatan eksploitasi seksual anak secara online dan offline sekaligus,” ungkapnya.
Reza mengatakan, Indonesia memiliki beberapa hukum khusus, seperti UU Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta UU Narkotika dan UU Psikotropika. Tindak pidana terkait empat undang-undang tersebut pun merupakan kejahatan serius.
“Sehingga, FW harus dikenakan pasal berlapis atas kejahatan serius yang ia lakukan. Ia layak digolongkan sebagai pelaku kejahatan berbahaya,” ujarnya.
Dua Kasus Terdahulu Tak Serius Ditangani
Lebih lanjut, Reza kini menantikan seberapa jauh ketegasan Polri memberikan tindakan terhadap AKBP Fajar atas kejahatan serius yang dilakukannya. Sementara, setidaknya ada dua kasus terdahulu yang menunjukkan ketidakseriusan Indonesia dalam menangani kasus pidana seksual.
“Pertama, grasi Presiden Jokowi kepada pelaku pencabulan seksual anak berkewarganegaraan Kanada pada tahun 2019. Padahal, beberapa waktu sebelumnya, di Istana Jokowi menyebut KSA sebagai kejahatan luar biasa. Bandingkan dengan Presiden Hungaria, Katalin Novak, yang mengundurkan diri akibat tekanan publik setelah memberikan grasi kepada pelaku kejahatan seksual anak,” tukasnya.
“Kedua, tidak adanya penindakan hukum apa pun terhadap Fufufafa. Bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Komnas Perempuan, dan kalangan feminis pun diam seribu bahasa, betapa pun Fufufafa melakukan pelecehan online. Perilaku menyimpang maupun perilaku jahat cenderung bereskalasi. Tidak ada penindakan sama artinya dengan menyepelekan risiko semakin beratnya penyimpangan atau kejahatan Fufufafa,” Reza menandaskan.
Advertisement
Infografis
