Tatkala Pagebluk Menguji Daya Sintas Lengger Lanang Banyumas

Desakan agama juga mengubah penari lengger yang semula dimainkan perempuan diganti laki-laki. Perubahan penari yang semula perempuan menjadi laki-laki terjadi setelah pengaruh ajaran Islam semakin kuat di Jawa

oleh Rudal Afgani Dirgantara diperbarui 12 Jan 2022, 03:39 WIB
Diterbitkan 12 Jan 2022, 03:30 WIB
Lengger lanang. (Foto: Liputan6.com/Rudal Afgani Dirgantara)
Lengger lanang. (Foto: Liputan6.com/Rudal Afgani Dirgantara)

Liputan6.com, Banyumas - Ini adalah sepenggal kisah Sutrio, penggerak Kelompok Lengger Mekarsari di Purbalingga ketika menghadapi pagebluk Covid-19. Ia hanya bisa pasrah menghadapi pandemi selama hampir dua tahun terakhir. Ia tak tahu lagi harus bagaimana mempertahankan grup lengger yang ia bentuk bersama seniman lain dua dekade lalu.

Sejak berdiri, ia tak pernah mengalami pagebluk separah ini. Sejak pemerintah mendeklarasikan Covid-19 sebagai pandemi dua tahun silam, ia dan grup lengger besutannya tak bisa pentas.

Pemerintah melalui kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat melarang setiap kegiatan yang memicu kerumunan, termasuk pertunjukka seni. Akibatnya, grup lengger asal Wirasaba, Kabupaten Purbalingga ini sama sekali tak bisa pentas.

Para seniman yang bernaung di bawah grup lenger Mekarsari kehilangan penghasilan. Sebagai alternatif, sebagian mereka bertani. Sementara yang tidak punya tanah menjadi buruh tani dan pekerjaan serabutan lainnya. “Selama pandemi, 99 persen kami off,” kata Sutrio usai tampil pada pementasan secara hibrid luring-daring di Bioskop Misbar Purbalingga, Minggu malam (7/11/2021).

Jika sebelum pandemi Grup Lengger Mekarsari menerima tawaran pentas lima kali dalam sebulan, kini sama sekali tak ada job. Merekapun mengurangi porsi latihan dari yang semula tiga kali seminggu menjadi sekali dalam sebulan.

“Mau latihan buat apa, lha wong ndak ada yang nanggap,” ucapnya.

Pernah suatu hari mereka nekat menggelar pentas lengger di tengah larangan pemerintah. Selain karena begitu ingin tampil, mereka juga didesak masyarakat yang rindu dengan pentas kesenian khas Banyumasan ini.

Namun belum juga mulai, aparat pemerintah berjuluk Satgas Covid-19 Pemkab Purbalingga datang mengadang. Mereka membubarkan pentas lengger atas nama keselamatan warga.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

 

Lengger lanang. (Foto: Liputan6.com/Rudal Afgani Dirgantara)
Lengger lanang. (Foto: Liputan6.com/Rudal Afgani Dirgantara)

Nasib serupa juga dialami seniman tradisional yang lain. Sukendar, maestro kendang pengiring lengger Banyumas, mengaku kehilangan panggung.

Ia beruntung masih ada tiga putranya yang membantu memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Namun, ia mengaku malu jika terus-menerus menjadi beban anak-anaknya.

"Saya menerima pesanan pembuatan calung, tapi tidak banyak yang pesan, karena pandemi mau buat apa," kata dia yang ditemui usai latihan di Rumah Lengger Banyumas, Selasa (19/10/2021).

Soal bantuan pemerintah, ia sama sekali tak bisa berharap. Hingga hari ini, ia hanya sekali mendapat bantuan sembako dari pemerintah.

“Dari Dinas Kebudayaan, isinya ada beras, mi instan dan bahan makanan lainnya,” ucapnya.

Pico Prasetyo, penari lengger asal Banyumas, bertahan dengan menerima jasa pesanan batik tulis, menjadi cucuk lampah upacara pernikahan, dan membuat sesaji kembang setaman. Ia bahkan menerima permintaan mengkafani jenazah demi bertahan di tengah pandemi.

"Tenimbang nganggur lah (daripada menganggur lah)," ujar dia.

Pandemi benar-benar menguji daya sintas para seniman tradisional, khususnya lengger. Pada situasi normal saja, mereka harus berhadapan dengan arus perubahan zaman. Di masa pandemi, cobaan semakin berlipat untuk terus bertahan hidup.

Saksikan Video Pilihan Ini:

Lengger Lanang di Banyumas Menghadapi Stigma

Lengger lanang. (Foto: Liputan6.com/Rudal Afgani Dirgantara)
Lengger lanang. (Foto: Liputan6.com/Rudal Afgani Dirgantara)

Sigit mulai memulas wajahnya. Beberapa usapan kuas membuat rona pipi beralas bedak itu memerah. Olesan gincu mengubah warna bibirnya merah merekah. Goresan pensil mata menjadikan garis matanya tajam berhias lentik bulu mata buatan berwarna hitam.

Riasan itu mengubah Sigit menjadi Gita, nama panggung tiap kali ia mementaskan tari lengger. Wajah maskulin itu sirna bersalin rupa menjadi jelita.

Pagi itu Sigit tak hanya berdandan, tapi juga mengenakan kemben dari kain batik. Separuh dadanya ia biarkan terbuka. Di kedua pundaknya terurai selendang merah. Tak lupa konde ia pasang untuk menyempurnakan penampilannya.

Pada cermin lemari yang mulai buram, ia menatap bayangan sekujur tubuhnya. Menimang-nimang mana yang masih harus dipoles agar cantiknya sempurna. Senyum mengembang sesaat kemudian, tanda riasannnya sudah maksimal.

Usai bersolek, ia lalu menghadap sesaji yang disiapkan semalam. Menyalakan korek dan membakar kemenyan. Asap mengepul. Aroma wangi khas menyeruak ke seisi ruangan.

Sigit lalu menengadahkan kedua tangan. Bibirnya komat-kamit merapalkan mantra. Bersama dengan mantra itu, harapan keselamatan dan kelancaran dalam pengembaraan turut membumbung tinggi.

Usai merampungkan ritual doa, ia dan para penayagan atau pengiring musik calung, berangkat. Mereka mencari pusat keramaian dari desa ke desa, berharap ada tuan tanah atau juragan kaya yang tertarik "nanggap" mereka.

Dan benar, seorang berpakaian priyayi datang menghampiri setelah alunan calung dan kendang berhasil mencuri perhatian khalayak. Pria paruh baya ini langsung menawar tarif jasa tari lengger untuk lima babak sekaligus.

Begitulah cara para penari lengger bertahan pada musim paceklik. Sejak kemarau panjang, Sigit dan lengger lain semakin jarang pentas.

Saat kemarau, para petani tak menanam padi. Yang menanampun kerap gagal panen. Karena itu, jarang sekali ada perayaan musim panen. Tanpa musim panen, maka tak ada sukacita yang dirayakan dengan mementaskan lengger.

Bagi lengger lanang seperti Sigit, musim panen petani juga musim panen untuk seorang lengger. Begitupun sebaliknya.

Saat kemarau tiba, maka para penari lengger juga menghadapi paceklik. Untuk tetap bertahan, mereka berkelana ke berbagai penjuru desa berharap ada tuan kaya yang berbaik hati mengundangnya untuk menari.

Kisah Sigit ini adalah kisah dari masa lalu tentang bagaimana lengger bertahan hidup menghadapi paceklik. Kisah itu divisualisasikan dalam sebuah film dokumenter bertajuk “Mbarangan, Kesaksian Perjalanan” garapan Rumah Lengger Banyumas.

Film yang proses pengambilan gambarnya berlangsung pada Selasa, 19 Oktober 2021 ini mengungkap bagaimana perjalanan lengger beralih dari ritus kesuburan yang sakral menjadi seni panggung yang menghibur. Pada masa kekinian, tantangan lengger adalah pandemi Covid-19.

 

Tantangan Konservatisme Agama

Lengger lanang. (Foto: Liputan6.com/Rudal Afgani Dirgantara)
Lengger lanang. (Foto: Liputan6.com/Rudal Afgani Dirgantara)

Kedatangan agama samawi ke bumi Nusantara membawa pengaruh besar terhadap perkembangan seni tradisi lengger. Pengaruh semakin terasa ketika konservatisme agama menguat.

Hadi Sumarto Sukendar, pengrawit atau musisi pengiring lengger senior asal Banyumas, melihat kebangkitan konservatisme agama mulai terasa sejak tahun 2004.

Ketika itu, mulai muncul seruan menolak seni tradisi yang lekat dengan ritual agama-agama yang berkembang pada masa lalu, seperti membakar kemenyan, pembacaan mantra, dan sesajen. Dari sudut pandang agama-agama samawi seperti Islam, praktik itu dianggap musrik dan harus dihapuskan.

Pandangan ini memengaruhi penilaian masyarakat terhadap lengger. Mereka mulai meninggalkan lenger dan beralih ke seni religi dan seni kontemporer lain.

"Aja naggap lengger lah, nanggap qasidah bae, kadang ada yang bilang nanggap pengajian bae. Itu kan menandakan sedikit banyak menghambat seniman," kata Sukendar, yang juga maestro kendang Banyumas.

Hal ini membuat permintaan pentas lengger semakin berkurang. Ia masih mengingat dari tahun 1980-an hingga 2004, permintaan pementasan lengger masih tinggi. Namun setelah 2004, ia merasakan peminat lengger semakin menurun.

Sukendar menengarai ada paham ajaran agama yang muncul belakangan hari yang tak ramah terhadap seni tradisi lokal seperti lengger. Sebab, menurutnya ajaran agama yang selama ini dianut masyarakat sejak dahulu tidak mempermasalahkan kesenian tradisional semacam lengger.

"Sekarang kan ada ajaran Islam baru yang garis keras atau gimana saya tidak tahu. Itu yang banyak kurang simpatik pada kesenian," ujar dia.

Rianto, maestro lengger Banyumas, berpendapat tidak tidak perlu mempertentangkan agama dengan budaya. Sejarah telah membuktikan budaya dan agama bisa berjalan beriringan tanpa harus saling menegasikan.

Dalam konteks lengger, Rianto mencontohkan ada perubahan mendasar sebagai penyelarasan keduanya, anatara lain pada doa yang dirapalkan dan lagu yang dinyanyikan sinden saat pentas.

Pada doa-doa dan tembang jawa itu masuk unsur Islam seperti salawat dan syahadat. Penyesuaian ini tak lepas dari pengaruh norma agama yang kemudian diadopsi menjadi norma sosial pada masa lalu.

"Pada masa itu mereka tidak mau dianggap bertentangan dengan agama, karena aturan sosial masyarakat yang terkontaminasi kebudayaan-kebudayaan yang lain," ujar dia ketika ditemui usai sesi latihan di Rumah Lengger, yayasan yang didirikan Rianto untuk mendokumentasikan kesenian lengger, Selasa (19/10/2021).

Desakan agama juga mengubah penari lengger yang semula dimainkan perempuan diganti laki-laki. Perubahan penari yang semula perempuan menjadi laki-laki terjadi setelah pengaruh ajaran Islam semakin kuat di Jawa.

Bersamaan dengan masuknya ajaran Islam, budaya patriarkipun semakin kuat. Peran perempuan semakin merosot, termasuk dalam berkesenian. Tak terkecuali dalam lengger yang semula dimainkan perempuan diganti laki-laki.

"Pada abad ke-14 muncul perbedaan yang sangat luar biasa ketika Islam mulai dominan di tanah Jawa. Peradaban-peradaban lama, mitos-mitos lama, ritus-ritus lama semua dipinggirkan digantikan dengan ajaran agama samawi," kata Yusmanto, budayawan Banyumas dalam diskusi bertajuk "Lenger Lanang: Dulu, Kini dan Nanti" yang diselenggarakan Labsasdaya Fakultas Ilmu Budaya Unsoed, Kamis (28/10/2021).

Selain pengaruh budaya patriarki, ajaran Islam yang melarang perzinahan juga turut berperan dalam perubahan seni lengger. Lengger yang dimainkan perempuan (ronggeng-red) pada masa lalu lekat dengan citra prostitusi.

Sebab, ada praktik di mana penari lengger bisa melayani permintaan hubungan seks dengan imbalan yang setimpal. Untuk menghapus praktik ini, maka peran perempuan diganti laki-laki yang didandani dan berbusana perempuan.

Rektor UIN Saifudin Zuhri Purwokerto, Muhammad Roqib, menjelaskan meskipun keduanya tak sesuai dengan ajaran Islam, namun mencegah perzinahan dinilai lebih utama dibanding mendandani laki-laki hingga menyerupai perempuan.

"Ini adalah bagian dari kreasi penyesuaian, kaitannya dengan budaya agar tetap memiliki nilai estetis plus etis dibandingkan dengan langsung perempuan yang tampil ke publik," kata dia yang juga ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Banyumas saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (3/11/2021).

 

Stigma LGBT Lengger Lanang

Lengger lanang. (Foto: Liputan6.com/Rudal Afgani Dirgantara)
Lengger lanang. (Foto: Liputan6.com/Rudal Afgani Dirgantara)

Lynda Susana Widya, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Sudirman, terkejut mendengar respons sekelompok mahasiswa yang menyaksikan pementasan lengger di kampus.

Ketika itu, sekelompok mahasiswa ini menilai pementasan lengger sebagai dukungan terhadap LGBT. Lynda mengaku terenyak dengan pandangan yang mengaitkan lengger dengan LGBT.

"Maka yang terjadi adalah marginalisasi, saya kira ini adalah stereotiping, pelekatan bahwa lengger asosiatif dengan LGBT," ujar dia pada sebuah sesi diskusi bertajuk "Lenger Lanang: Dulu, Kini, dan Nanti" pada 28 Oktober 2021 yang lalu.

Lynda menyebut, tidak semua daerah di Banyumas menolak lengger. Namun tidak semua daerah itu juga menerima lengger.

Dari penelitiannya, daerah yang menolak lengger memeiliki ciri religiusitas yang kuat. Begitu kuatnya, hingga pandangan religiusitas itu juga memengaruhi pandangan masyarakat.

"Daerahnya kalau tidak salah ada pesantren, jadi religiusnya sangat kuat. Itu sangat memengaruhi perspektif masyarakatnya," tuturnya.

Dari penelitian yang ia lakukan di Banyumas, label negatif terhadap lengger lanang sampai membuat seorang penari lengger berhenti menarikan lengger. Ia memilih menjadi penari ebeg yang lebih terkesan maskulin sehingga tak perlu menghadapi stigma banci, homoseksual, atau yang lainnya.

"Dia merasa tidak mendapat tempat sebagai penari lengger di lingkungan keluarga dan masyarakat. Jadi dia dikucilkan, di-liyan-kan dalam bahasa budayanya," ucapnya.

Sigit Kurniawan, lengger muda Banyumas, tahu persis bagaimana rasanya mendapat label transgender. Ia mulai mendapat nama tambahan wandu atau banci sejak ia menarikan lengger saat masih duduk di bangku kelas 2 SMP.

"Sedih sih dikatai kayak gitu. Sempat berpikir aku kok gini sih, dikatai banci, banci, banci, padahal gak kayak gitu kok," ujar dia.

Pengalaman sama juga dialami Pico Prasetyo, lengger lanang Banyumas. Bedanya, Piko tak mau ambil pusing dengan omongan orang. Ia justru menjadikan cibiran itu sebagai cambuk untuk berprestasi.

"Walaupun dapat cemoohan, wong itu namanya naluri untuk adat ya tetep dijalani, masa bodo," tuturnya.

Agus Widodo yang memiliki nama panggung Agnes, juga mengalami perundungan setelah menjadi penari lengger. Penari lengger yang terbilang senior ini pernah menerima cemoohan sesaat menjelang pementasan.

"Penolakan dulu banyak, pernah di suatu tempat dipanggil jadi bitang tamu. Tapi sebelumpentas ada yang telpon duluan, katanya 'lengger lanang arep dideleng apane? terus lengger lanang kan medeni wis genah lanang didandani wadon," katanya.

Namun Agnes menjawab tantangan itu dengan berdandan maksimal. Hasilnya, Agnes tak sedikitpun tampak sebagai lelaki. Kecantikannya bahkan memukau mereka yang semula mencemooh.

"Yang tadinya kontra akhirnya malah pro, minta foto bareng, minta ada wawancara dan sebagainya," ucapnya.

 

Cerita Rianto, Maestro Lengger yang Kerap Dicibir

Lengger lanang. (Foto: Liputan6.com/Rudal Afgani Dirgantara)
Lengger lanang. (Foto: Liputan6.com/Rudal Afgani Dirgantara)

Rianto, sang maestro lengger, juga tak luput dari cibiran. Saat kecil, ia mendapat nama tambahan menjadi Anto Banci hanya karena keluwesannya menari.

Menari lengger, bagi orang kebanyakan, sepatutnya ditekuni perempuan. Karena itu, ketika ada seoranrg lelaki tapi luwes menari, maka ia dianggap setengah lelaki dan setengah perempuan.

Namun dukungan orang-orang terdekat membuatnya bertahan. Ia yang mengaku dirasuki indang lengger saat masih kecil meneruskan panggilan dalam hatinya menjadi penari lengger.

Kini Rianto menjadi ikon lengger Banyumas. Kisahnya menginspirasi lengger lanang lain untuk bertahan dari terpaan perspektif publik yang belum terbuka terhadap dualisme gender seorang lengger.

Rianto tak mengidentifikasi tubuhnya dengan ragam gender yang ada. Ketika menari, ia lepas dari dikotomi lelaki maupun perempuan. Yang feminin dan maskulin menyatu menjadi medium antara Yang Maha Tinggi dengan alam semesta.

Ia mengajak semua orang untuk mendalami pemahaman tentang lengger sebelum memberikan penilaian. Menurutnya semakin baik mengenal lenger, maka yang muncul bukan hujatan, namun penghormatan sebagai tradisi yang penuh kearifan.

"Kurangi bicara, perbanyak memahami. Kurangi membenci, perbanyak mencintai," tuturnya.

Hariyadi, Sosiolog Unsoed, mengatakan, lengger tumbuh dari kebudayaan masyarakat Banyumas yang bercorak agraris ribuan tahun silam. Jika mengacu pada serat Centini, maka lengger sudah ada sejak abad ke-16.

Karena kemunculan lengger bermula dari ekspresi spiritualitas masyarakat agraris di Banyumas, maka tak ada alasan penolakan dari masyarakat pada masanya. Masyarakat melihat lengger lanang sebagai hasil perenunagan mendalam dan diekspresikan sebagai sarana penghubung dengan Sang Maha Kuasa.

 

Gender di Nusantara

Lengger lanang. (Foto: Liputan6.com/Rudal Afgani Dirgantara)
Lengger lanang. (Foto: Liputan6.com/Rudal Afgani Dirgantara)

Menurutnya, wilayah Nusantara sangat kaya ragam gender. Gender tidak terbatas pada laki-laki dan perempuan saja.

“Misalnya di Bugis ada Calabai ada Calalai dan ada kategori yang tidak mengenal gender,” kata doktor lulusan University of Western Australia itu ketika ditemui di Kantor LPPM Unsoed, Selasa (16/11/2021). Perspektif publik tentang lengger yang diasosiasikan dengan LGBT muncul belakangan hari ketika modernisme dan wacana Barat yang dibawa bangsa Eropa masuk ke Nusantara. Sebelum itu masyarakat pribumi tak pernah menyoal orientasi seksual lengger. Mereka justru menempatkan lengger pada kedudukan sosial yang tinggi.

Gelombang modernisme yang dibawa bangsa Belanda saat era penjajahan mulai membedakan strata sosial antara lelaki dan perempuan. Perempuan seolah menjadi kelas kedua setelah lelaki.

Pandangan ini semakin menguat ketika sistem pendidikan warisan Belanda mengukuhkan pembedaan peran antara lelaki dan perempuan. Pembedaan ini semakin tajam pada masa Orde Baru ketika perempuan mulai diatur untuk tampil sebatas wilayah domestik dan lelaki yang tampil pada wilayah publik.

“Pada masa Orde Baru kan sangat dikotomis antara laki-laki dan perempuan, bahwa laki-laki di ranah publik dan perempuan di ranah domestik,” tuturnya.

Untuk mengembalikan kesalahpahaman ini, Hariyadi menilai perlu meluruskan sejarah lengger pada asal mulanya. Bahwa lengger seagai ekspresi buda tak terkait dengan oreintasi seksual para pelakunya. Banyak di antara para penari lengger yang tetap menjadi lelaki setelah turun panggung. Rianto misalnya, di luar panggung ia adalah kepala rumah tangga, seorang suami sekaligus ayah untuk anak-anaknya.

Pelurusan sejarah ini akan lebih massif melalui proses pendidikan formal di sekolah. Karena itu, perlu intervensi pemerintah dalam kurikulum sekolah, khususnya sekolah kejuruan yang mengajarkan seni tradisi.

“Berikutnya insentif pemerintah untuk kelompok-kelompok seni, karena keberlangsungan seni tradisi ini bergantung pada kelompok seni di desa-desa,” ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya