Dilema Kenaikan Harga Sawit di Indonesia dengan Melonjaknya Harga Minyak Goreng

Harga sawit Riau makin perkasa dan nyaris menyentuh Rp4 ribu per kilogram, tapi harga sawit ini dapat berimbas pada harga minyak goreng karena adanya kebijakan DMO serta DPO dari Kemendag.

oleh M Syukur diperbarui 03 Mar 2022, 18:30 WIB
Diterbitkan 03 Mar 2022, 18:00 WIB
Perkebunan sawit di Riau.
Perkebunan sawit di Riau. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Pekanbaru - Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit Riau kembali pecah rekor. Harga sawit untuk periode 2-8 Maret 2022 ini mencapai Rp3.930,94 per kilogram dan merupakan tertinggi di Indonesia.

"Untuk kelompok umur 10 sampai 20 tahun naik sebesar Rp250,78 atau mencapai 6,81 persen dari harga minggu lalu menjadi Rp 3.930,94 per kilogram, pecah rekor harga tertinggi se Indonesia," kata Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (P2HP) Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Defris Hatmaja, Rabu siang, 2 Maret 2022.

Selain TBS, harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) juga tercatat mengalami kenaikan dibandingkan penetapan pekan lalu. Harga CPO Riau untuk sepekan ke depan ditetapkan sebesar Rp16.195,05 atau naik sebesar Rp1.075,11 dari harga pekan lalu yakni Rp15.119,94

"Harga kernel juga tercatat mengalami kenaikan, pekan ini harga kernel ditetapkan sebesar Rp13.210,00 atau naik Rp376,36 dari harga pekan lalu yakni Rp 12.833,64," ujarnya.

Harga sawit naik ini sekilas menjadi kabar gembira dan sangat disyukuri para petani sawit. Namun, organisasi kelapa sawit justru menyebutkan ada plus minus dari naiknya harga sawit ini, sebagaimana disampaikan Wakil Ketua Umum Sawitku Masa Depanku (Samade), Abdul Aziz.

Aziz mengatakan, ada sejumlah pihak yang justru tertekan dengan kondisi ini. Apalagi dengan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) saat ini.

Kebijakan DMO dan DPO itu mengharuskan korporasi memasok 20 persen CPO ke dalam negeri dengan harga Rp9.300 per kilogram. Selain itu, dalam kebijakan tersebut juga diatur harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng sebesar Rp14.000 per liter.

"Nah, dengan kondisi harga CPO yang tinggi saat ini, mau tidak mau korporasi harus memutar otak untuk bisa tetap untung," kata Azis.

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Simak video pilihan berikut ini:

Bumerang Perusahaan

Lokasi pengembangan bibit sawit unggul di Riau.
Lokasi pengembangan bibit sawit unggul di Riau. (Liputan6.com/M Syukur)

Menurut Aziz, semakin baik harga CPO otomatis semakin menjadi bumerang bagi perusahaan-perusahaan yang harus memenuhi DMO dan DPO itu. Sebab, rentang harga jual CPO dan subsidi yang musti dilakukan perusahaan akan makin lebar sehingga kenyataan-kenyataan seperti ini harus dipikirkan.

"Logikanya, apakah pebisnis mau rugi? Gak mungkin, DMO dan DPO itu dimulai saat harga CPO masih Rp15.000, dan kemarin per 1 Maret harga CPO sudah Rp 18.250 per kilogram," jelas Azis.

Kalau dikaitkan dengan pembuatan minyak goreng, tambah Azis, berarti modal membuat minyak goreng itu bisa-bisa sudah Rp21.000 namun harus dijual senilai Rp 14.000 per kilogram sehingga korporasi sudah tekor Rp7.000.

"Itupun jika hasil pengolahan sekilogram CPO bisa menjadi sekilogram minyak goreng. Kalau hanya menjadi 0,7 kilogram migor bagaimana? Berarti kerugian perusahaan akan semakin besar, apakah korporasi mau? Itu yang menjadi pertanyaan," ungkap Aziz.

Aziz mengatakan, kebijakan DMO dan DPO yang ada saat ini bukan merupakan solusi tepat untuk mengatasi tingginya harga minyak goreng. Karena bagaimanapun, jika harga CPO sebagai bahan baku minyak goreng tinggi, tentu harga minyak goreng juga akan ikut melonjak.

"Kalau menurut saya, menaiknya harga CPO itu sudah menjadi risiko bagi kita untuk realistis menaikkan harga minyak goreng, membiarkan harga minyak goreng naik sesuai harga real bahan bakunya," ujarnya.

Subsidi dan BK

Kalau pemerintah kemudian menginginkan harga minyak goreng tetap murah di tengah masyarakat, Aziz meminta pemerintah membuat kebijakan lain. Misalnya mensubsidi lewat anggaran yang dianggarkan dari uang negara.

"Subsidi itu bisa melalui pasar murah, atau distribusi migor langsung kepada mereka yang berhak menerima," kata Aziz.

Azis mengatakan, data calon penerimanya bisa saja dari data Program Keluarga Harapan (PKH) yang sudah ada. Bukan menebar migor itu ke ritel. Sebab yang belanja ke ritel itu belum tentu orang tak mampu secara ekonomi.

"Kalau diharapkan perusahaan yang melakukan itu, yang ada kucing-kucinganlah sehingga yang terjadi ya seperti sekarang ini, sebentar tampak (minyak goreng itu), sebentar tidak," imbuhnya.

Lebih jauh Aziz mengatakan, sumber uang menyubsidi minyak goreng menjadi murah itu bisa diambil pemerintah dari duit Bea Keluar (BK) yang selama ini dipungut pemerintah dari ekspor CPO.

"Selama ini duit BK itu kan tidak pernah diotak-atik pemerintah untuk subsidi, malah yang mau diambil itu dari Pungutan Ekspor (PE) yang dikelola oleh BPDPKS. Sementara dana PE itu sudah banyak tersedot untuk subsidi biosolar yang juga menjadi kepentingan publik," katanya.

"Tahun lalu saja subsidi biosolar itu mencapai Rp51,86 triliun, semuanya untuk kepentingannya publik, kenapa untuk subsidi minyak goreng yang nilainya hanya sekitar Rp15 triliun setahun tidak diambil dari BK itu," kata lelaki 47 tahun ini.

Ritel Kurang Tepat

Dengan demikian, kata dia, bukan korporasi yang dibebankan atas kewajiban yang harusnya dilakukan pemerintah itu.

"Jadi biarkanlah harga minyak goreng itu mengikuti harga CPO, sementara pemerintah membuat kebijakan untuk menolong masyarakat kurang mampu, dengan data yang sesungguhnya sudah ada. Dengan demikian, mudah-mudahan minyak goreng tidak akan langka," sebutnya.

Selain itu, sambungnya, pendistribusian minyak goreng yang saat ini lebih dominan dilakukan di ritel modern, juga kurang tepat.

"Pemerintah dalam melakukan penetrasi pasar itu jangan di gerai supermarket, tapi harus di pasar-pasar basah, dan kemendag pasti sudah punya data lah berapa kebutuhan minyak goreng sesungguhnya," ujarnya.

Dia mengatakan, seharusnya pemerintah juga bisa memanfaatkan keberadaan Bulog yang selama ini menjadi media penyalur berbagai subsidi kebutuhan masyarakat.

"Kita sepakat lah, bahwa Bulog itu bagus saat dikasih tugas untuk pendistribusian karena Bulog sampai ke kabupaten kan sudah ada, biarkan Bulog yang mendistribusikan minyak goreng, jadi jangan tugas pemerintah dibebankan kepada korporasi," kata Azis.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya