Asal Usul Soto Hasil Penelitian Antropologi Kuliner Jawa Timur

Soto merupakan salah satu makanan ringan yang mudah dijumpai di kota-kota di Jawa dengan segala macam variasinya.

oleh Panji Prayitno diperbarui 12 Okt 2022, 19:00 WIB
Diterbitkan 12 Okt 2022, 19:00 WIB
Asal Usul Soto Hasil Penelitian Antropolog Kuliner Jawa Timur
Ilustrasi Soto Bangkalan Madura Credit: pexels.com/Pony

Liputan6.com, Jakarta - Seorang seniman dan penulis budaya populer yang rajin menulis di laman media sosial kerap melontarkan keunikan kuliner soto. 

Mereka adalah Ary Budianto, bersama dengan Intan Kusuma Wardhani. Keduanya merupakan antropologi kuliner Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur.

Kuliner soto merupakan salah satu makanan ringan yang mudah dijumpai di kota-kota di Jawa dengan segala macam variasinya. Soto adalah bentuk paling mudah untuk mengenal apa itu Indonesia. 

Dirangkum dari berbagai sumber, pada seminar internasional orang keturunan China di Indonesia pada November 2013 lalu di Semarang, dua antropolog itu menulis artikel yang agak serius tentang soto.

Ary berangkat dari sebuah catatan kaki yang ditulis Indonesianis asal Prancis Denys Lombard yang menyebut makanan ringan khas Indonesia (Jawa) ini berasal dari makanan populer abad 19 yang aslinya bernama Caudo atau Jao To. 

Dalam dialek hokkian, kata-kata itu berarti 'rerumputan' jeroan atau jeroan berempah. Naskah sejarah yang dicermati Lombard memperkirakan makanan ini pertama kali populer di Semarang pada sekitar abad 19.

Seorang peneliti lain yang bernama Aji "Chen" Bromokusumo mengartikan soto berasal dari kata Shao Du atau Sao Tu yang artinya memasak jeroan. 

Dua versi terjemahan yang berbeda ini sama sekali tidak mengubah pengertian tentang satu bentuk makanan yang berbahan dasar utama perut binatang yang kayak akan kaldu (lemak) berempah yang sangat harum. 

Soto pada abad 19 adalah sebutan yang sangat populer dari para pelanggan kepada penjual yang biasanya menggunakan pikulan saat menjualnya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Makanan Kelas Bawah

Jika dilekatkan pada kondisi sosial abad 19, Ary berani mengatakan bahwa soto adalah makanan khas yang siap saji dan siap antar bagi kalangan menengah ke bawah. 

Sangat sulit untuk membayangkan kalangan kelas menengah atas abad 19 mau memakan makanan yang cenderung "tidak higienis", penuh debu, dan sangat berlemak. Bagi kalangan kelas menengah atas era akhir abad 19 hingga awal abad 20, isu higienitas dan kualitas makanan sangat menjadi perhatian.

Rudolf Mrazek dalam bukunya Engineers of Happy Land (2018) banyak bercerita tentang kalangan kelas atas Hindia Belanda yang lebih borjuis daripada sepantarnya di Eropa. 

Gaya hidup mewah dan super higienis bahkan rasis sering ditunjukkan dalam sajian makanan yang memandang rendah makanan orang pribumi.

Oleh karena itulah, menurut penelitian Ary, dalam buku resep makanan yang sangat populer pada akhir abad 19 yakni Drukkerij Lie Tek Long Batavia, menu soto tidak ditemukan. 

Sejarah menunjukkan bahwa menu makanan rakyat yang sangat populer ini baru tercatat dalam buku resep Mustika Rasa (1967) yang digagas oleh Bung Karno.

Tumbuhnya kalangan kelas menengah ke bawah atau tumbuhnya lapisan borjuis kecil dan kelas buruh di kota-kota pesisir Jawa. 

Abad 18 dan 19 adalah buah dari skema industrialisasi berbasis metalurgi berteknologi tinggi dan tenaga mesin uap. Abad ini menuntut tersedianya lapisan kelas pekerja yang akan meningkatkan produktivitas. 

Perpaduan antara berbagai etinis dalam semangkok soto adalah konsekuensi dari budaya kosmopolitan yang berkembang bahkan sejak lama. Model penyajian cepat saji dan kepraktisan saja yang menguatkan hipotesis bahwa soto memang berasal dan berakar dari abad 19.

Pertumbuhan ekonomi yang semakin besar menimbulkan gaya hidup yang serba cepat. Makanan harus mampu disajikan dengan praktis dan mudah. 

Menurut berbagai riwayat yang dikumpulkan oleh Ary, awal mula penjaja soto ini selalu menggunakan pikulan. Menu siap saji yang dijual pekerja pribumi dan selalu ditemukan di berbagai tempat ramai. 

Persimpangan atau pasar adalah tempat yang menjadi tempat pembawa pikul meletakkan dagangannya.

Seiring berjalannya waktu keranda yang dipikul berubah menjadi kedai atau warung. Satu hal yang penting dicatat oleh Ary adalah kecenderungan penjual soto yang legendaris selalu dekat dengan kawasan pecinan. 

Mulai dari Panjunan di Kudus hingga Bangkong di Semarang atau Senggol di Tegal semuanya tidak jauh dari kawasan Pecinan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya