Liputan6.com, Purworejo - Setiap dua tahun sekali, tepatnya pada bulan Safar, masyarakat Desa Somongari, Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah, rutin menggelar tradisi 'jolenan'. Tradisi merti desa tersebut berbentuk kegiatan kenduri massal sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang melimpah.
Desa Somongari selama ini memang dikenal sebagai sentra penghasil manggis dan durian yang cukup berkualitas di Purworejo. Hal ini pula yang mendasari digelarnya secara turun-temurun tradisi yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda sejak 2016 ini.
Desa yang masih memegang erat tradisinya tersebut merupakan desa kelahiran WR Supratman. Sebuah catatan sejarah mengatakan bahwa pencipta Lagu Kebangsaan "Indonesia Raya" ini lahir di Dukuh Trembelang, Desa Somongari.
Advertisement
Baca Juga
Bahkan, di Kampung Trembelang ini telah diabadikan rumah Mbok Senen sebagai tempat lahir WR Supratman. Tak hanya itu, di kawasan perempatan Pantok Kota Purworejo juga dibangun patung WR Supratman lengkap dengan biolanya.
Tradisi dua tahun sekali ini biasanya diadakan setiap Selasa Wage pada bulan Safar di kalender Jawa. Oleh sebab itu, ada pula yang menyebut tradisi jolenan dengan nama 'saparan'.
Mengutip dari indonesia.go.id, nama jolenan berasal dari adanya pawai jolen dalam tradisi tersebut. Pawai tersebut membentang di sepanjang jalan desa yang berjarak sekitar 4 km dari ujung timur menuju ke batas desa paling Barat, yakni Kampung Kedung Kacang atau Kedung Tileng.
Setelah sampai di Wates Kedung Tileng atau batas Desa Somongari dengan Desa Kemanukan, pawai kembali menuju ke pendopo desa yang berada di Kampung Sawahan. Di Kampung Sawahan inilah arak-arakan pawai jolen berakhir.
Jolenan berasal dari akronim Jawa 'ojo klalen' atau jangan lupa. Artinya, jolenan merupakan pengingat agar masyarakat tak lupa terhadap Sang Pencipta yang telah memberikan kesuburan dan hasil panen yang melimpah.
Jolen, berupa gunungan, dibuat dari anyaman daun aren atau enau dengan rangka bambu dan gedebok pisang. Pada sisi luar jolen dihiasi bermacam makanan ringan yang digantung di bilah bambu.
Bilah bambu tersebut ditancapkan di dalam kedebog yang dipasang cukup dalam di kerangka gunungan. Beberapa makanan yang digantung tersebut, di antaranya rengginang dari beras ketan, ledre atau opak, binggel dari ketela, serta makanan lainnya.
Sementara, di puncak gunungan jolen biasanya dihiasi gagar mayang, wayang golek, dan buah-buahan lokal, seperti durian, manggis, langsap, dan sebagainya. Adapun di dalam jolen diisi dengan nasi tumpeng lengkap dengan bermacam pelengkapnya, seperti ayam panggang, sayuran matang, dan buah-buahan.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Makna Gunungan Jolenan
Segala hal yang ada pada gunungan tersebut merupakan perwujudan atau gambaran bahwa daerah Pegunungan Somongari kaya akan hasil bumi. Tumpeng menjadi sebuah simbol pengharapan segala cita-cita yang diharapkan dapat terlaksana dengan baik.
Sementara itu, makanan dari beras ketan atau pulut memiliki gambaran agar rakyat bersatu dalam segala langkah dan cita-cita. Beberapa makanan dari ketela pohon juga tak luput memiliki makna, sebut saja ledre yang melambangkan wilayah yang terdiri dari pegunungan, tetapi hasilnya dapat mencukupi kebutuhan rakyatnya.
Kemudian, binggelan menggambarkan bermacam-macam tiruan hasil buah-buahan yang terdapat di daerah tersebut. Adapun wayang golek melambangkan agar masyarakat mencari (goleki) arti atau maksud sebenarnya.
Kehadiran pisang agung raja juga dianggap sebagai buah yang dianggap agung dengan harapan dapat mengagungkan atau mengangkat desa tersebut.
Jolen yang terdapat dalam tradisi ini merupakan jolen yang dibuat oleh warga setempat. Setiap Rukun Tetangga (RT) akan mengirimkan 1-2 jolen, sehingga rata-rata jumlah jolen mencapai 50 buah setiap saparan.
Tak hanya pawai, berbagai kesenian lokal juga ditampilkan. Pentas kesenian tersebut digelar di depan makam leluhur desa, yakni Kedono Kedoni, pagi hari atau sebelum acara dimulai.
Grup kesenian yang ditampilkan yakni jaran kepang dari Kedung Tileng, kesenian incling dari Krajan dan Glongsorang, ndolalak dari Dukuh Rejo, kesenian kuda lumping dari Dukuh Rejo, serta selawatan dari Krajan, Hadroh Krajan. Selain itu, ada juga kesenian reog dari Jatirejo, Dukun, dan Sawahan.
Pada malam hari, dipentaskan kesenian tayub dari Gunung Kidul. Dalam bahasa Jawa, 'tayub' sering diterjemahkan sebagai ‘ditata supaya guyub’.
Tayub diwujudkan dengan seorang penari yang gerakan tariannya diikuti para pengibing dengan maksud agar masyarakat selalu rukun dan guyub. Pengibing adalah penonton yang tampil menari bersama penari tayub.
Â
Penulis: Resla Aknaita Chak
Advertisement