Nestapa Nelayan Suku Duano di Tengah Impitan Krisis Iklim

Suku Duano, masyarakat adat yang tinggal di pesisir timur Provinsi Jambi masih sulit adaptasi dengan anomali pola cuaca yang terjadi. Mereka masih memikirkan bagaimana penghidupan untuk generasinya nanti. Sementara dukungan pemerintah terkait mitigasi krisis iklim masih sangat minim.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 06 Feb 2023, 10:00 WIB
Diterbitkan 06 Feb 2023, 10:00 WIB
Amrizal, Nelayan Suku Duano
Amrizal, nelayan Suku Duano saat melaut di pesisir timur Provinsi Jambi, Kamis (9/12/2022). Tangkapan hasil laut mayoritas nelayan di pesisir timur Provinsi Jambi menurun. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Liputan6.com, Jambi - Pukul lima pagi selepas kumandang azan subuh, Amizal (32) langsung keluar dari rumahnya. Dia berjalan sedikit buru-buru sambil menenteng jerigen kecil menuju dermaga Kampung Laut, Kecamatan Kuala Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Di dermaga itu, orang-orang sudah terlihat mulai sibuk menyiapkan berbagai bekal untuk melaut.

Pompong dan aneka sampan berjejer dan masih tertambat di tiang-tiang penopang dari kayu nibung. Di sebuah pompong--perahu kecil bermesin tempel itu, Amrizal langsung menyodorkan jeriken kecil ke mulut tangki mesin perahunya. Aktivitas ini rutin dilakukan sebelum melaut.

“Hari ini isi solar sedikit saja karena kita melaut yang dekat. Kalau perahu kecil seperti ini tidak berani sampai ke laut lepas,” ujar Amrizal ketika hendak pergi melaut, Kamis 9 Desember 2022.  

“Ombak sedang tinggi, sekarang sedang [musim] angin barat,” sambung nelayan tradisional itu, dengan logat melayunya ini.

Dia mempersilahkan saya ikut menaiki perahunya yang berukuran 4 kali 1,5 meter itu. Tanpa pikir panjang karena berkejaran dengan waktu, tak lama kemudian Amrizal mengengkol tuas mesin perahunya. Bunyinya memekakkan telinga.

Perahu kecil bermesin tempel merayap pelan mengikuti arus pesisir meninggalkan dermaga Kampung Laut, menuju ke arah lautan. Suara deru mesin pompong yang kencang itu membuat kami diam selama dalam perjalanan sekitar satu jam.  

Perlahan-lahan fajar hari Jumat menyingsing. Seluruh cakrawala mulai terlihat terang. Perahu yang dikemudikan Amrizal sampai pada titik yang dituju, tempat ia menebar jaring. Ia mematikan mesin, lalu membuang jangkar.

Seketika jaring sepanjang sekitar 600 meter ditebar sambil berharap hari itu akan peroleh rejeki banyak. Harapan ia panjatkan agar ikan-ikan bisa terperangkap di dalam jaringnya.

“Enggak berani [melaut] sampai jauh, yang dekat-dekat saja. Bahaya kalau di laut lepas,” ucap Amrizal.

“Kalau tiba-tiba diterjang ombak mati kita,” Amrizal meyakinkan.

Dia tak mau ambil risiko. Sebab, sumber bekal yang ia bawa ke laut tak memadai. Hanya teh manis dalam botol dan roti kering. Cuma itu. Tak ada bekal tambahan seperti obat-obatan, apalagi pelampung.

Amrizal adalah seorang nelayan Suku Duano--masyarakat adat minoritas yang mendiami pesisir timur Jambi, tepatnya di Kelurahan Tanjung Solok, Kecamatan Kuala Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Laut bagi masyarakat adat Suku Duano menjadi identitasnya.

Mereka hanya mengandalkan penghasilan dari hasil laut. Amrizal masih ingat dulu sekali melaut, dia bisa mendapatkan keuntungan berlipat dalam sehari melaut.

Tapi setengah dekade terakhir dia harus berjuang keras mencari ikan. Hasil tangkapan kian tak pasti. Belum lagi ia masih punya tanggungan kredit perahu kepada toke atau tengkulak yang membeli hasil lautnya.

“Kalau sekarang paling banyak dapat Rp100 ribu, itupun masih dipotong uang minyak dan setor ke toke. Jadi rata-rata penghasilan bersih yang dibawa pulang cuma Rp50 ribu,” kata Amrizal.

Amrizal mesti menghidupi tiga anak dan satu istrinya. Dari hasil melaut, itu pula ia harus menyekolahkan anak pertama yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ada kalanya situasi benar-benar sulit. Tangkapan ikannya tak dapat menghasilkan uang yang cukup, sehingga terpaksa harus meminjam kepada tauke.

“Sekarang ongkos melaut semakin besar, sementara hasilnya sedikit. Belum lagi tantangan kita laut semakin besar juga. Ini tentu menyulitkan kami, khususnya Suku Duano yang masih tradisional, kapal kecil,”  kata Amrizal.

Suku Duano adalah masyarakat adat yang bertempat tinggal di kawasan pesisir pantai timur Sumatera. Di Provinsi Jambi, kelompok ini tinggal di Kelurahan Tanjung Solok, Kampung Laut, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Mereka hidup sangat bergantung dengan laut dan mereka tidak bisa dipisahkan dari kawasan pesisir.

Mereka masih menjalankan praktik tradisional dalam mencari ikan di laut, mengumpulkan udang nenek, dan berburu kerang bambu (Ensis leei). Tradisi mereka yang paling terkenal adalah menyumbun, sebuah tradisi berburu kerang bambu di kawasan beting--hamparan pasir berlumpur di kawasan pesisir yang sangat mengandalkan siklus pasang surut.

Namun situasinya kini memprihatinkan. Keberadaan Suku Duano terus-menerus terancam oleh krisis iklim. Aktivitas kesehariannya yang bertumpu pada hasil laut kini menghadapi berbagai tantangan dan ancaman.

Menurut penuturan tetua adat Suku Duano di Kampung Laut, jumlah populasi Suku Duano mencapai 77 Kepala Keluarga (KK). Mereka tinggal di rumah-rumah yang dibangun berhimpitan dan saling berhadap-hadapan.

Sebagian besar nelayan Suku Duano adalah nelayan tradisional. Pada umumnya mereka mengakui telah merasakan ikan semakin sulit dicari dan cuaca kian sulit diterka.

Amrizal tidak tahu persis ihwal musim yang sudah sukar diprediksi ini. Dalam benaknya ia bertanya-tanya fenomena apa yang terjadi belakangan tahun terakhir. Kearifan dan pengetahuan lokal yang dimiliki pun tak mampu lagi memprediksi musim di laut.

“Sekarang musim di laut sudah dak tentu lagi. Dulu masih bisa diprediksi, misalnya kalau mau ada angin dan ombak tinggi pasti ada tandanya,” kata Amrizal.  

Tak hanya tantangan krisis iklim. Pesisir timur yang berhadapan dengan jalur Selat Malaka--jalur penting perdagangan, lalu-lalang tongkang pengangkut batubara dari pedalaman Jambi kerap berhadapan dengan nelayan kecil.

Amrizal pernah dua kali berhadapan dengan tongkang batubara ini. Kapal tersebut merusak jaring yang ia pasang. Meski jaring sudah diberi tanda bendera dan Amrizal memberi aba-aba namun tak digubris.

Tongkang dengan muatan gunungan batu bara itu terus menerobos jalur yang dipasangi jaring nelayan. Ada sekitar 120 meter jaring milik Amrizal hilang yang ditabrak tongkang.

“Habis kejadian itu langsung mengadu ke tauke, terus dikasih pinjaman untuk beli jaring sama jangkar baru,” kata Amrizal.   

Kondisi lain juga dirasakan nelayan lain, Wak Ninggal. Pria paruh baya itu mengatakan di tengah gempuran krisis iklim dan cuaca yang tak menentu, dia berupaya bertahan hidup dengan terus mencari ikan. Bahkan, nelayan harus melaut lebih jauh dengan konsekuensi biaya operasional yang tinggi.

Kerugian pun tak terelakkan jika hasil tangkapan tidak sesuai. Padahal, sebelumnya wilayah tangkapan di sekitar pesisir Pantai Timur Jambi masih menjanjikan. Dulu nelayan bisa mendapat penghasilan yang baik. Hasil tangkapan di wilayahnya cukup melimpah. Mulai dari ikan, kepiting, kerang, dan udang.

“Sekarang sudah sulit, musim ikan sudah berubah siklusnya,” kata Ninggal.

Saksikan Video Pilihan Ini:

Asal Muasal Suku Duano

Permukiman Suku Duano di Tanjab Timur Jambi
Permukinan Suku Duano di pesisir timur Jambi, tepatnya di Kampung Laut, Tanjung Jabung Timur, Jambi. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Pesisir laut timur Jambi merupakan ekosistem penting bagi nelayan tradisional Suku Duano. Suku Duano atau yang dulunya biasa disebut dengan Orang Laut ini mendiami perkampungan nelayan di Kampung Laut, Tanjung Solok, Tanjung Jabung Timur, Jambi. Secara geografis tempat tinggal mereka tak jaug dari kawasan pesisir.

Suku Duano dengan jumlah 70-an kepala keluarga dengan jumlah sekitar 300 jiwa ini sangat menggantungkan pada ekosistem laut--tempat utama sumber mata pencaharian mereka.

Pengkaji Bahasa dan Sastra pada Kantor Bahasa Jambi Ristanto menjelaskan, nama Suku Duano terbilang baru. Awalnya masyarakat Suku Duano itu dikenal dengan julukan Orang Laut.

Namun, saat Kongres Bahasa tahun 2000-an, nama Orang Laut yang hidup di Indragiri Hilir dan Jambi berganti menjadi Suku Duano. Penggantian nama ini karena Suku Duano telah memeluk agama Islam dan mengadopsi budaya Melayu.

Ristanto mengatakan, Suku Duano berbeda dengan Orang Laut atau Orang Bajau. Mereka (Suku Duano) punya entitas sendiri dan mereka tidak mau disamakan dengan Orang Bajau karena dari segi cara hidupnya juga berbeda.

“Dari segi mata pencahariannya berbeda, Suku Duano hidup di pesisir dan di pinggir laut, jadi tangkapannya ikan-ikan kecil, udang, kerang. Ini berbeda dengan Orang Bajau atau Orang Laut yang hidupnya di laut lepas dan tangkapannya pun beda,” kata Ristanto.

Suku Duano kata Ristanto, awalnya memang bermukim di pesisir laut. Mereka tinggal di perahu kajang--alat transportasi tradisional yang sekaligus menjadi rumah Suku Duano pada masa lampau. Mereka dahulu hidup secara nomaden dari satu titik pesisir ke titik pesisir lainnya.

Mulai tahun 1980-an masyarakat Suku Duano pindah tempat tinggal ke darat, namun tidak jauh dari pesisir. Mereka dibangunkan rumah oleh pemerintah di daerah Tanjung Solok Kampung Laut, Tanjung Jabung Timur, Jambi. Selain di Provinsi Jambi, masyarakat Suku Duano banyak ditemukan di Sungai Belah, Concong Luar, Concong Dalam, Kuala Enok, Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau.

“Secara ilmiah Suku Duano ini paling banyak populasinya ada Indragiri Hilir Riau,” ujar Ristanto. 

Ristanto yang rutin berkecimpung dalam penelitian bahasa Suku Duano menyatakan, terdapat beberapa versi asal muasal keberadaan Suku Duano. Ristanto menyebut, ada yang menyatakan Suku Duano berasal dari Arab dan ada pula yang menyatakan berasal dari Minangkabau.

<p>Asri Tara, tokoh adat Suku Duano di Kampung Laut, Tanjung Jabung Timur, Jambi. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)</p>

Sementara itu, sesepuh atau tetua adat Suku Duano di Kampung Laut, Asri Tara meyakini Suku Duano di Kampung Laut Jambi sebagai orang yang pertama kali membuka pemukiman di daerah tersebut. Dia meyakini, bahwa nenek moyang masyarakat Suku Duano di daerahnya  berasal dari daerah Riau yang bermigrasi ke arah selatan hingga sampai di perairan pesisir timur Jambi.

“Identitas Suku Duano ini laut, kami tidak bisa dipisahkan dengan laut. Semua sumber mata pencaharian kami berasal dari hasil laut,” kata Asri.   

Namun saat ini kata Asri, pola kehidupan Suku Duano sudah cenderung berubah. Betul kata dia, kini sebagian besar masih ada yang melaut, namun tidak memiliki kapal atau sendiri. Mereka cenderung menjadi buruh nelayan dan bergantung pada toke atau pemodal.

“Penghasilan pekerjaan (nelayan) Suku Duano secara ekonomi masih sangat rendah. Jadi untuk menunjang kehidupan yang baik secara ekonomi tak mampu,” ujar Asri.

Krisis Iklim, Masalah Ketimpangan Sosial, dan Hak Asasi Manusia  

Hasil Laut Suku Duano
Amrizal, nelayan Suku Duano sedang memindahkan hasil laut untuk dijual ke tauke di Kampung Laut, Tanjung Jabung Timur, Jambi, Kamis (9/12/2022). Nelayan Suku Duano kini menghadapi ancaman kriris iklim dan ketimpangan ekonomi. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Krisis iklim ini telah berdampak ke berbagai sendi kehidupan Suku Duano seperti: ekonomi, identitas, dan budaya. Dalam kondisi krisis iklim ini perlahan-lahan membawa nelayan tradisional Suku Duano melaut semakin jauh.

Para nelayan harus berlayar semakin jauh ke lautan lepas untuk mencari ikan sebagai komoditas andalan mereka. Sementara sumber daya untuk ke laut lepas sungguh tak memadai.

Saat ini mereka dihadapkan pada biaya operasional yang semakin tinggi karena mahalnya harga bahan bakar minyak. Belum lagi tantangan di laut semakin besar doi saat sumber daya mereka yang kian terbatas.

Asri Tara, sesepuh Suku Duano menuturkan, mayoritas (masyarakat) Suku Duano tidak punya kapal sendiri untuk melaut. Dari jumlah 77 kepala keluarga Suku Duano yang bermukim di Tanjung Solok, hanya 9 persen yang memiliki kapal atau perahu sendiri.

Sementara selebihnya nelayan Suku Duano bergantung pada tauke dan menjadi pekerja pada pemodal yang memiliki kapal dengan sistem bagi hasil. Kelompok masyarakat Suku Duano sangat bergantung dengan pemodal yang kelas sosial dan ekonomi berada di atasnya.

“Penghasilan pekerjaan nelayan Suku Duano ini masih rendah. Sementara sekarang tangkapan semakin sedikit,” kata Asri Tara.

Anomali cuaca menjadikan kendala tersendiri dihadapi nelayan tradisional. Akhir-akhir ini hasil laut berkurang lebih dari separonya, tak seperti dulu. Dengan pola musim yang telah berubah ini membawa mereka kian sulit.

Beberapa diantara dari mereka sebut Asri, beralih profesi. Terkadang saat cuaca sedang buruk mereka tak melaut dan beralih profesi sementara menjadi tukang ojek atau berdagang.

Budaya mencari kerang sumbun perlahan mulai ditinggalkan oleh nelayan Suku Duano. Jika dulu aktivitas menyumbun sangat lekat dengan suku ini, sekarang karena naiknya permukaan air laut membuat beting, yang jadi habitat kerang sumbun semakin tenggelam.

Kelompok nelayan perempuan yang identik dengan aktivitas mencari kerang, kini perlahan mulai ditinggalkan. Mereka banyak berkegiatan di darat. Para perempuan mencari kesibukan sendiri dengan bekerja sebagai buruh belah ikan di tempat penampungan ikan.

Mak Ijah, seorang perempuan Suku Duano ini telah berhenti melaut. Aktivitas melaut dan mencari kerang ia tinggalkan karena tak memiliki kapal sendiri. Ia pun kini sibuk dengan jualan makanan ringan di rumahnya.

“Kadang ikut jadi tukang belah ikan,” kata Mak Ijah.     

Krisis iklim ini semakin membawa kelompok nelayan ini ke jurang ketimpangan. Sementara pemerintah daerah belum membuat kebijakan mitigasi krisis iklim.

Secara umum tingkat perekonomian masyarakat Suku Duano di Tanjung Solok masih berada di kelas bawah. Ini dampak dari hasil laut yang mulai tak menguntungkan itu.

Setali tiga uang, pendidikan anak-anak nelayan Suku Duano juga masih rendah. Padahal pendidikan dan ekonomi merupakan hak asasi manusia yang harus dipenuhi untuk membangun kehidupan yang lebih baik.

“Rata-rata tingkat pendidikan anak-anak Suku Duano masih tergolong rendah, paling tinggi tamat SMP dan SMA, tidak ada yang sampai melanjutkan ke perguruan tinggi,” kata Asri.

“Karena keterbatasan biaya. Bagaimana mau menguliahkan anak, sedangkan untuk biaya sehari-hari masih kurang,” sambung Asri Tara.

Ketimpangan sosial sebut Asri Tara, juga dialami oleh mayoritas masyarakat Suku Duano. Mereka yang menempati daerah Tanjung Solok sampai sekarang tak memiliki hak atas tanah.

Akibatnya, rumah yang ditempati menumpang di atas tanah orang lain. Sampai saat ini belum ada solusi dari pemerintah terkait status tempat tinggal mereka sekarang.

“Tidak punya kapal, tanah tempat tinggal kami masih numpang. Kami berharap ada bantuan kapal untuk kami melaut secara mandiri, dan juga ada solusi atas tempat tinggal supaya kehidupan kami lebih baik,” ujar Amrizal.

Saat Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Kabupaten di Ruang Pola Kantor Bupati pada 2017, Bupati Tanjung Jabung Timur Romi Haryanto pun mengakui, Kuala Jambi menjadi satu di antara kantong penyumbang standar hidup terendah di kabupaten pesisir timur Jambi itu.

Kehidupan nelayan tradisional Suku Duano agaknya belum keluar dari garis kemiskinan yang tergambar dalam grafik statistik dinas setempat.

Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Hendri, tak menampik di Kuala Jambi yang terdapat perkampungan Suku Duano adalah satu di antara daerah penyumbang kemiskinan. Hal ini kata dia, menjadi tantangan untuk mengubah pola pemberdayaan dan kelembagaan nelayan.

“Paling tidak nanti kelembagaan seperti koperasi akan diperkuat, terutama di sentra-sentra nelayan di kawasan pesisir,” kata Hendri.   

Koordinator Pusat Kajian Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pembangunan Universitas Jambi Doni Yusra mengatakan, secara konstitusional negara bertanggung jawab terhadap hak ekonomi warganya, termasuk suku minoritas yang rata-rata hidupnya berada dibawah garis kemiskinan.

Aspek ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob) telah termaktub ke dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional dan regional sebagai hak mendasar yang harus dilindungi. Negara wajib melindunginya.

Hak asasi manusia kata Doni, melekat dengan urusan kesejahteraan manusia yang harus menjadi perhatian seluruh pihak. Selain itu hak asasi manusia, menurut dia, bukan semata-mata berbicara mengenai norma-norma dan instrumen hukum.

“HAM juga masuk bagian dari kesejahteraan sebagai tujuan kehidupan bangsa,” ujar Doni.    

Kehidupan masyarakat adat kata Doni terus dibayangi ketidakpastian secara ekonomi, pendidikan. Namun sering kali negara abai melindungi dan memenuhi hak mendasar ini.

“Saya pikir hanya dibutuhkan political will terhadap pemenuhan hak hak masyarakat adat kita. Pemerintah harus menjamin bagaimana kehidupan mereka (masyarakat adat) sebagai mestinya,” kata Doni.

Perlakuan terhadap masyarakat lanjut Doni, tidak bisa disamakan seperti masyarakat pada umumnya. Sebab, menurut Doni, masyarakat adat mempunyai keistimewaan dan keunikan sehingga pendekatan kebijakannya pun harus khusus.

“Banyak masyarakat adat yang terpinggirkan, jangan sampai di tengah krisis iklim dan eksploitasi sumber daya alam kehidupan mereka semakin terpinggirkan,” ucap Doni. 

Ironi Negeri Bahari

Perkampungan Nelayan di Pesisir Timur Jambi
Permukiman nelayan tradisional di pesisir timur Jambi. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Negeri bahari adalah julukan bangsa kita. Itu sebabnya sedari kecil kita sudah kenal dengan tembang nenek moyangku seorang pelaut. Pun setiap 23 september Indonesia merayakan sebagai hari maritim nasional.

Susan Herawati masygul tatkala melihat kondisi perkampungan nelayan di berbagai daerah. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara)--organisasi nirlaba yang fokus terkait isu kelautan dan perikanan ini--menemukan beban berlipat yang dihadapi para nelayan akibat krisis iklim.

“Krisis iklim dampaknya luar biasa, kelompok nelayan termasuk yang paling rentan,” kata Susan.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km--merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Luas laut mencapai 5,8 juta kilometer persegi atau 71 persen dari keseluruhan wilayah Indonesia.

Tapi perkampungan nelayan menjadi kantong-kantong kemiskinan. Jumlah nelayan rumah tangga nelayan kian menyusut.  

Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), jumlah nelayan di Indonesia terus mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir sebagaimana dilaporkan oleh dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2021. Penurunan jumlah nelayan ini akibat krisis iklim.

Pada tahun 2010 jumlah nelayan tercatat sebanyak 2,16 juta orang. Namun pada tahun 2019 lalu, jumlahnya tercatat hanya 1,83 juta orang. Dengan demikian, terdapat penurunan jumlah nelayan sebanyak 330.000 orang dalam sepanjang tahun 2010–2019.

Sementara rumah tangga perikanan jenis usaha laut di Kabupaten Tanjung Jabung Timur menunjukan kondisinya tak jauh beda. Berdasarkan data statistik menunjukan rumah tangga perikanan berlipat ganda sebelum menurun drastis dalam dua tahun terakhir.

Krisis iklim yang mengubah pola pengetahuan nelayan dan membuat tangkapan laut semakin berkurang, kata Susan, telah menyebabkan kemiskinan parah. Apalagi direspon dengan kebijakan negara yang tidak tepat.

“Dukungan pemerintah masih sangat minim terkait krisis iklim ini. Dan juga negara belum punya skema atau pola pemberdayaan yang tepat,” ujar Susan.

Di sisi lain kecenderungannya sebut Susan, program pemberdayaan yang terjadi tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh para nelayan. Pemberdayaan nelayan sudah menjadi mandat negara yang termaktub dalam UU No 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan.

“Perlindungan nelayan ini bukan asuransi saja, tapi ketika nelayan tidak bisa melaut pemerintah wajib memberikan fasilitas alternatif ekonomi lain. Ini yang tidak pernah didapat oleh nelayan,” kata Susan.

“Dan yang paling parahnya negara tidak memiliki kebijakan dalam mitigasi krisis iklim yang dihadapi nelayan,” sambung Susan.

Hidup di pelarungan memang penuh risiko. Setiap tahun ada saja berita tentang nelayan yang ditelan laut atau kapalnya hancur dan karam dihantam badai.

Hal ini yang disadari betul oleh Amrizal, nelayan Suku Duano. Tapi apa boleh buat di tengah ketidakpastian dan krisis iklim, dia masih akan terus melaut. Sebab ia menjadi tulang punggung untuk anak-anak dan istrinya. “Kalau tidak melaut mau makan apa kami,” kata Amrizal.  

*Liputan ini diproduksi dengan dukungan American Bar Association Rule of Law Initiative.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya