Difteri Ditetapkan sebagai KLB, Kenali Ciri-Ciri Penularannya

Kasus difteri yang memakan delapan korban jiwa di Kabupaten Garut ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 02 Mar 2023, 11:00 WIB
Diterbitkan 02 Mar 2023, 11:00 WIB
Pemberian Imunisasi untuk Anak Sekolah di Kota Depok
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin tetanus difteri ke siswa kelas 1 di SDI Al Hidayah, Cinere, Depok, Jumat (20/11/2020). Program imunisasi kepada pelajar di Kota Depok terus berjalan guna menjaga kesehatan anak dan meningkatkan imunitas tubuh di masa pandemi COVID-19. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Bandung - Kasus difteri yang memakan delapan korban jiwa di Kabupaten Garut ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Merespons KLB tersebut, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung, Ira Dewi Jani menjelaskan, difteri merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium.

Bahkan, cara penularannya serupa dengan Covid-19 yakni melalui droplet atau air liur saat berbicara, bersin, atau batuk. Sehingga hal terpenting yang harus dilakukan adalah mencegah difteri menjadi wabah di Kota Bandung.

"Imunisasi itu dapat mencegah dia (difteri) bermanifestasi. Sehingga meski potensi tertular itu tetap ada tapi tidak menimbulkan manifestasi klinis atau saat anak tertular atau bergejala tidak menimbulkan komplikasi yang hebat atau kematian," kata Ira melalui keterangan tertulis, Rabu (1/3/2023).

Selain itu, hal penting lainnya untuk masyarakat adalah cara mendeteksi gejala difteri sedini mungkin. Meski menurutnya, bagi masyarakat umum memang agak sulit untuk mendeteksi karena gejala atau keluhan yang dialami pasien.

Sebab, keluhannya bisa beragam, seperti bisa ada demam, bisa juga tidak. Namun, ada juga gejala lain seperti nyeri menelan, sesak napas, dan batuk pilek.

"Gejala-gejala tersebut karena kuman difteri membentuk selaput berwarna abu keputihan di tenggorokan pasien. Itu yang menyebabkan sakit tenggorokan dan jika sudah parah bisa mengganggu pernafasan, atau berliur terus," ujar Ira.

Jika sudah menemui gejala tersebut, sebaiknya pasien langsung dibawa ke faskes terdekat. Sebab, masyarakat umum biasanya sulit menentukan apakah ini benar karena difteri atau bukan.

Jika sudah dibawa ke faskes, nantinya tenaga kesehatan yang akan menentukan itu difteri atau bukan. Sebab untuk mendiagnosis secara pasti memerlukan pemeriksaan kultur di laboratorium dan butuh waktu sampai hasilnya keluar.

"Setelah kita mencurigai secara klinis difteri, harus segera dicari kontak eratnya dan yang bersangkutan harus diisolasi sampai memang dibuktikan ia tidak terkonfirmasi. Mirip seperti Covid-19," tuturnya.

Tak hanya anak-anak, difteri pun bisa menyerang orang dewasa. Ira mengungkapkan, beberapa faktornya bisa saja karena dulu status imunisasinya kurang lengkap. Pun jika sudah lengkap bisa saja terkena, tapi tidak memiliki komplikasi yang serius.

"Makanya dua kasus yang dilaporkan secara klinis ini alhamdulillah hasil akhirnya adalah hidup sehat kembali. Sebab yang dikhawatirkan itu jika mereka mengalami komplikasi berat akibat dari kurang lengkapnya imunisasi yang dulu dilakukan," ujarnya.

Ira mengimbau bagi seluruh masyarakat untuk tetap menerapkan disiplin pola hidup bersih dan sehat (PHBS), melaksanakan prokes seperti cuci tangan dan menggunakan masker.

"Khusus untuk anak balita dan anak sekolah, harap dilengkapi lagi imunisasi DPT, kenali gejala dan tanda untuk mendeteksi dini difteri," katanya.

Belum Ada Kasus di Bandung

Ira Dewi Jani menjelaskan, pihaknya sempat mendapatkan laporan dua kasus difteri klinis di Kota Bandung.

"Ini ada kaitannya juga dengan status epidemiologi di Kota Bandung. Jadi memang selama 2023 ini kami menerima laporan difteri klinis itu ada dua kasus. Sudah ditindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan epidemiologi (PE) dan dikirim ke lab pemeriksa lalu pemeriksaan kultur," kata dia.

"Alhamdulillah diketahui hasilnya dari dua orang itu negatif," ujar Ira menambahkan.

Berdasarkan hal tersebut, hingga saat ini belum ditemukan kejadian difteri di Kota Bandung. Ia memaparkan, difteri sebenarnya bisa dicegah dengan imunisasi DPT (difteri, pertusis, dan tetanus) pada saat anak usia di bawah satu tahun dan akan diulangi lagi saat usia sekolah.

Untuk anak berusia di bawah satu tahun, imunisasi DPT-nya bisa sampai tiga kali, yakni pada saat anak berusia dua bulan, tiga bulan, dan empat bulan.

Kemudian saat anak sudah berusia lebih dari setahun, imunisasi DPT akan diulang lagi di umur 18 bulan, artinya anak sudah memperoleh empat dosis.

"Lalu saat anak memasuki usia sekolah, melalui kegiatan BIAS (bulan imunisasi anak sekolah) sasarannya adalah anak SD kelas 1, 2 dan 5. Di situ mereka dapat lagi imunisasi yang mengandung difteri. Ini namanya DT (difteri dan tetanus)," ujarnya.

Jika anak lengkap imunisasinya atau sudah mendapat tujuh dosis DPT, menurut Ira, hal tersebut sudah cukup untuk mencegah difteri. Sebab prinsip pencegahannya adalah dengan melengkapi dosis imunisasi.

"Waktu pandemi memang cakupannya sudah bagus di atas 90 persen. Kemarin pas kita pandemi semua layanan kesehatan dibatasi. Posyandu juga tidak dibuka waktu itu. Sehingga cakupan vaksinasi DPT kita turun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya," tuturnya.

Oleh karena itu, ia melanjutkan, saat cakupan imunisasi tidak sesuai dengan target berarti surveilansnya harus dikuatkan. Sehingga kasus difteri bisa ditemukan sedini mungkin.

"Kita punya tugas surveilans dan ada Permenkesnya yang mengatur tentang penyakit menular yang berpotensi wabah. Jadi mau ada kasus atau tidak, sebenarnya semua faskes dan Dinkes itu harus mengamati dan memantau perkembangan penyakit yang berpotensi wabah," kata IRa.

"Itu dilaporkannya melalui format W2 rutin sepekan sekali untuk kita deteksi sejak dini," ujar Ira menambahkan.

Untuk angka vaksinasi DPT di Kota Bandung, Ira menjelaskan, saat Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) sangat membantu untuk mengejar jumlah imunisasi DPT saat masa pandemi.

"Selain rubella kita ada vaksinasi DPT ini cukup membantu untuk mengejar ketertinggalan saat masa pandemi. Kemarin setelah dibantu dengan BIAN dan imunisasi rutin, kita ada di angka 89 persen dari target 95 persen,” ucapnya.

Menurut Ira, ada beberapa faktor yang membuat program BIAN belum menyentuh target. Di antaranya kondisi anak-anak yang tidak bisa diimunisasi karena faktor autoimun ataupun penyakit-penyakit lainnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya