Tumbilotohe, Tradisi Malam-Malam Terakhir Ramadan di Gorontalo

Melalui tradisi tumbilotohe, masyarakat Gorontalo akan terus melestarikan budaya lokal sekaligus mempererat rasa kekeluargaan antar masyarakat dengan berbagai hiburan.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 14 Apr 2023, 00:00 WIB
Diterbitkan 14 Apr 2023, 00:00 WIB
Akhir Ramadan, Berjuta Lampu Minyak Hiasi Kota Gorontalo
Lampu minyak yang dinyalakan saat perayaan tumbilotohe atau penyalaan berjuta lampu minyak di akhir Ramadan di Kota Gorontalo, Jumat (31/5/2019). Sebanyak 15 ribu buah lampu minyak dari Dinas Pariwisata Kota Gorontalo menghiasi muara Sungai Bone. (Liputan6.com/Arfandi Ibrahim)

Liputan6.com, Gorontalo - Tumbilotohe merupakan tradisi masyarakat Gorontalo yang digelar saat malam-malam terakhir Ramadan atau saat menjelang Idul Fitri. Tradisi ini juga biasa disebut dengan malam pasang lampu.

Mengutip dari gorontalo.kemenag.go.id, konon tradisi ini sudah berlangsung sejak abad XV. Saat itu, masyarakat masih menggunakan penerangan yang terbuat dari wamuta atau seludang yang dihaluskan, diruncingkan, dan dibakar.

Masyarakat setempat menyebut alat penerangan ini dengan nama wango-wango. Pada tahun-tahun selanjutnya, masyarakat mulai menggunakan alat penerangan berupa tohetutu atau damar.

Tahetutu atau damar merupakan semacam penerangan dari getah padat. Alat penerangan ini akan menyala cukup lama saat dibakar.

Tak berhenti di situ, alat penerangan yang digunakan masyarakat pun terus berkembang. Selanjutnya, masyarakat mulai menggunakan lampu dengan sumbu dari kapas dan minyak kelapa.

Alat penerangan ini menggunakan wadah berupa kima, sejenis kerang, dan pepaya yang dipotong menjadi dua. Lampu jenis ini disebut dengan padamala.

Seiring perkembangan zaman, bahan yang digunakan untuk penerangan lampu pun diganti menjadi minyak tanah. Hingga saat ini, jenis lampu ini masih digunakan dalam tradisi tumbilotohe.

Namun, lampu-lampu tersebut juga tampak semakin meriah dengan ditambahkannya ribuan lampu listrik. Tradisi yang hanya ada di Gorontalo ini menjadi ajang hiburan untuk masyarakat setempat:

Tak jarang, festival ini juga diwarnai dengan diselenggarakannya lomba antar kampung atau kecamatan, membunyikan meriam bambu atau atraksi bunggo, dan festival beduk. Adapun lentera-lentera penerangan biasanya digantung di kerangka-kerangka kayu yang dihiasi janur kuning, atau yang dikenal dengan nama alikusu.

Pada bagian atas kerangka juga digantung sejumlah pisang sebagai lambang kesejahteraan. Selain itu, juga ada tebu sebagai wujud keramahan dan kemuliaan hati dalqm menyambut Hari Raya Idul Fitri. Melalui tradisi tumbilotohe, masyarakat Gorontalo akan terus melestarikan budaya lokal sekaligus mempererat rasa kekeluargaan antar masyarakat dengan berbagai hiburan.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya