Dituntut 13 Tahun Penjara, Begini Tanggapan Kuasa Hukum Sudrajad

Sudrajad Dimyati dituntut atas dugaan kasus suap penanganan perkara kasasi pailit KSP Intidana

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Jun 2023, 11:13 WIB
Diterbitkan 18 Mei 2023, 21:12 WIB
Dituntut 13 Tahun Penjara, Begini Tanggapan Kuasa Hukum Sudrajad
Hakim Agung nonaktif, Sudrajad Dimyati (kiri) menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan lanjutan di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (21/12/2022). Sudrajad Dimyati merupakan tersangka kasus dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung terkait putusan kasasi pada kasus Koperasi Simpan Pinjam Intidana. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Hakim Agung non aktif Sudrajad Dimyati dituntut hukuman 13 tahun penjara oleh JPU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sudrajad Dimyati dituntut atas dugaan kasus suap penanganan perkara kasasi pailit KSP Intidana. Seperti diketahui, Sudrajad Dimyati diduga menerima suap SGD 80 ribu dolar.

Tuntutan tersebut dilayangkan pada Rabu, 10 Mei 2023 di PN Kelas 1A Khusus Bandung. JPU KPK berkeyakinan bahwa Sudrajad terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam kasus tersebut.

Namun, tim penasehat hukum Sudrajad Dimyati, Firman Wijaya menegaskan dalam sidang tuntutan, jaksa tidak membuktikan adanya kesepakatan antara klien dengan pemberi suap.

"Persoalan utama adalah JPU yang mendakwa dengan dakwaan suap secara bersama sama dengan terdakwa lain ternyata tidak mampu membuktikan adanya ijab kabul antara pemberi suap dengan terdakwa selaku penerima baik dalam bentuk persetujuan menerima hadiah ataupun janji, padahal itu adalah syarat utama terjadinya suap," ujar Firman Wijaya dalam keterangannya, Rabu (17/5/2023).

Firman Wijaya menilai, tuntuan 13 tahun penjara beserta denda dan uang pengganti dengan dalih bisa membuktikan dakwaan bahwa terdakwa terbukti korupsi bersama sama adalah hak JPU dengan syarat didukung dengan minimal 2 (dua) alat bukti yang sah.

Menurut Firman, lemahnya bukti yang menjerat kliennya itu diperkuat saat membacakan pledoi.

"Sampai pledoi dibacakan, bukti yang namanya goodie bag itu ada atau tidak dimana keberadaannya itu penuh misteri. Belum lagi berisi uang entah pecahan dollar Singapore 80 ribu atau 800 juta rupiah tak jelas kepastiannya. Kita butuh bukti nyata dan pasti bukan katanya katanya. Apalagi sekedar cerita cerita yang tidak jelas dan nyata buktinya. Pembuktian itu harus meyakinkan, bukan bukti bukti yang kualitasnya serba meragukan apalagi berujung tebak - tebakan," ujarnya.

"Demikian juga tentang unsur bersama-sama, JPU juga tidak bisa membuktikan adanya meeting of mind antara terdakwa dengan terdakwa yang lainnya untuk terwujudnya kejahatan suap," sambung Firman.

Dianggal Keliru

Firman Wijaya menegaskan, dakwaan dan tuntutan jaksa KPK terhadap kliennya dianggap keliru.

 "Jadi kesimpulannya baik dakwaan maupun tuntutan JPU sebenarnya hanya narasi tanpa bukti. JPU juga tidak dapat menghadirkan barang bukti kejahatan yang katanya diterima terdakwa, baik uang dollar sing maupun tas (goodie bag) nya tidak juga bisa dihadirkan," tambahnya.

Firman menuturkan, salah satu kelemahan dalam kasus ini adalah keterangan saksi Elly Tri Pangestuti.

Saksi, kata Firman, memberi keterangan bahwa uang yang dimaksud dimasukkan dalam goodie bag warna coklat. Namun, uang yang sudah diletakkan di kantor di atas meja kerja terdakwa dipertanyakan. 

"Ternyata hal itu hanyalah keterangan sepihak dari saksi Elly Tri Pangestuti yang tidak terkonfirmasi dan diakui terdakwa, bahkan saksi Elly Tri Pangestuti sendiri mengakui bahwa memang tidak ketemu dengan saksi sampai sekarang juga tidak tahu keberadaan goodie bag yang katanya berisi uang tersebut, yang dengan demikian sampai sekarang masih menjadi misteri apakah sebenarnya goodie bag yang katanya berisi uang itu ada atau tidak," katanya.

Kemudian, terkait penyerahan uang pun tak bisa dibuktikan di persidangan. 

"Mengapa goodie bag tersebut tidak diserahkan langsung kepada terdakwa, mengapa hanya diletakkan di atas meja kerja terdakwa? Jika benar terdakwa memang berada di tempat itu dan bermaksud untuk menyuap terdakwa," tambahnya.

Firman menegaskan, dalam peristiwa ini Hakim Agung Sudrajad Dimyati tidak pernah berinisiatif maupun komunikasi secara timbal balik. Mulai dari merencanakan, memerintahkan atau persetujuan tentang pemberian uang.

Termasuk, kata Firman, pembagian dan alokasi uang dengan saksi-saksi tersebut untuk pengurusan perkara No. 874 K/Pdt. Sus-Pailit/2022. 

"Baik untuk pembentukan Majelis Hakim maupun memperjual belikan, memperdagangkan pengaruhnya sebagai Hakim Agung dengan memberikan janji - janji mengenai isi putusannya," tegasnya.

Seperti diketahui, Sudrajad dituntut bersalah melanggar dakwaan alternatif pertama, Pasal 12 huruf c Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya