Liputan6.com, Magelang - Nama Prabu Diaz mungkin belum begitu dikenal sebelumnya. Mamo, sapaan akrab Prabu Diaz, adalah orang yang paling bertanggung jawab atas keselamatan para Biksu Thudong.
Pria kelahiran Cirebon 1973 ini harus memberikan tanda tangan kepada Mabes Polri karena keinginannya agar para biksu Thudong masuk melewati Indonesia.
Prabu Diaz harus selalu berada di antara para Biksu Thudong ini. Dia tidak boleh berada lebih dari 500 meter.
Advertisement
"Saya harus selalu melekat dengan mereka, karena perjanjian yang saya tanda tangani dengan Mabes Polri, memang begitu," ucap Prabu.
Bahkan ketika para biksu ini melintasi kota kelahirannya, ia pun tidak bisa meniggalkan para Biksu Thudong untuk berjalan sendiri, meski sudah dikawal oleh anggota laskar Agung Macan Ali Nuswantara, ormas, dan pihak berwajib.
Baca Juga
"Saat melintasi Cirebon, rumah saya enggak jauh dari jalan yang dilewati Biksu Thudong, anak dan istri saya juga ikut menyaksikan para Thudong dan melihat saya. Namun begitu, saya enggak boleh meninggalkan mereka berjalan tanpa pengawalan saya langsung," kata Prabu.
Generasi ke-23 Sunan Gunung Jati dari garis ibu ini, meski seorang Muslim, tetapi terus berusaha untuk mewujudkan toleransi antarumat beragama. Salah satunya adalah mendatangkan dan mengawal para Biksu Thudong sampai ke Candi Borobudur, untuk merayakan Waisak pada tahun ini.
Selain menjadi Panglima Tinggi Laskar Agung Macan Ali Nuswantara, Prabu juga menjadi Sekretaris Jenderal Forum lIngkungan Hidup dan Budaya Indonesia. Bahkan, Prabu juga ditunjuk oleh sesepuh pejuang Siliwangi, sebagai ketua Pejuang Siliwangi Indonesia di Kota Cirebon.
Sementara itu, untuk menjamin keamanan para Biksu Thudong, Prabu Diaz mengerahkan anggota paguyuban Macan Ali. Sekitar 100 orang, ia terjunkan untuk turut serta mengawal, 32 biksu Thudong yang berasal dari Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia, sampai ke Candi Borobudur.
Bahkan, ia sudah lebih awal ke Thailand untuk memastikan para Biksu Thudong ini bisa melintasi Indonesia.
Thudong yang artinya jalan kaki, sebenarnya sudah ada sejak dahulu. Namun, karena alasan toleransi dan keselamatan, maka Thudong belum pernah melewati Indonesia.Â
"Karena hal itulah saya berusaha meyakinkan bahwa negara Indonesia, adalah negara toleransi dan negara yang aman. Kita menghargai dan menjunjung tinggi toleransi," kata Prabu.
Untuk mengurus izin, menjalin komunikasi dengan lintas lembaga dan departemen, untuk memastikan keamanan para Biksu Thudong, Prabu harus rela mengeluarkan biaya dari kantongnya sendiri.
"Semunya saya urus dengan uang saya pribadi, saya juga harus berkorban agar Biksu Thudong bisa melewati Indonesia," tuturnya.
Perjuangan Prabu tak sia-sia, setelah berjalan selama tiga bulan 14 hari, akhirnya para Biksu Thudong sampai ke Candi Borobudur Magelang.
"Alhamdulillah, berkat kerja sama dan dukungan semua kawan juga panitia, akhirnya perjalanan para Biksu Thudong telah selesai," kata Prabu.
Â
Penulis: Hermanto Asrori