Liputan6.com, Pekanbaru - Menjadi raja di hutan dan ditakuti satwa lainnya bahkan manusia bukan berarti membuat harimau sumatra selamat dari perburuan. Kulit harimau beserta organ lainnya yang bernilai tinggi menjadikan harimau sasaran penjahat satwa dilindungi.
Seperti nasib dua ekor harimau di Kabupaten Indragiri Hilir, baru-baru ini. Keduanya mati dibantai pemburu kemudian dikuliti, taring dicabut dan organ lainnya diambil.
Advertisement
Baca Juga
Petugas Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Wilayah Sumatera di Riau memang sudah menangkap bagian dari kejahatan satwa dilindungi ini. Namun keduanya, JI dan YW, hanya penjual yang bertugas mencari pembeli.
Pemburunya, hingga kini masih tidak diketahui. Semoga tertangkap lalu dibongkar ke akar-akarnya hingga keberadaan harimau sumatra tidak sama dengan harimau jawa.
Pengakuan JI dan YW, kulit harimau itu kalau sudah ketemu pembeli akan dijual Rp60 juta. Bukan satu lembar melainkan dua lembar kulit harimau yang dibawa keduanya dari Indragiri Hilir ke Kabupaten Pelalawan, tempat keduanya tertangkap.
Harga itu terbilang murah. Namun, bisa mencapai hingga miliaran rupiah per lembar kalau sudah sampai ke sindikat penjualan organ satwa dilindungi.
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengamanan LHK, Sustyo Iriyono, harga per lembar kulit harimau bisa sampai Rp1 miliar.
"Itu valuasi ekonomi satwa dilindungi," kata Sustyo di Kantor Balai Gakkum LHK Wilayah Sumatera di Riau, Kamis petang, 8 Juni 2023.
Sustyo menjelaskan, nilai itu bisa saja naik ataupun turun. Semuanya tergantung ukuran dan umur satwa yang organnya sudah sampai ke sindikat.
Â
*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Eskalasi Meningkat
Beberapa tahun terakhir, aku Sustyo, eskalasi konflik harimau dengan manusia meningkat. Begitu juga dengan perburuan harimau baik dalam bentuk jeratan ataupun diburu langsung.
"Kecenderungan setiap tahun meningkat," kata Sustyo.
Sustyo menjelaskan, harimau sangat penting dalam ekosistem hutan. Posisinya sebagai predator puncak harus dijaga agar keseimbangan alam terjaga.
"Kalau punah, muncul ketidakseimbangan, banyak hama, babi, jangan sampai harimau sumatra sama nasibnya seperti harimau jawa," ujar Sustyo.
Meningkatnya perburuan hingga konflik diharapkan Sustyo menjadi perhatian seluruh pemangku, tidak hanya LHK. Persoalan ini harus dibahas dengan mengupas dari hulu ke hilir.
"Saatnya konsolidasi, menjaga dari hulu ke hilir," kata Sustyo.
Â
Advertisement
Revisi Undang-Undang
Di sisi lain, Sustyo menyebut Kementerian LHK tengah mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.
Salah satu yang menjadi perhatian adalah efek jera atau hukuman bagi penjahat satwa dilindungi. Harapannya dengan sanksi berat, penjahat satwa bisa berkurang.
"Tahun depan, Insyaallah revisi tahun depan," imbuh Sustyo.
Sementara itu, Kepala Bidang Teknis Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau Ujang Holisudin menjelaskan, perburuan berdampak besar pada populasi harimau di Riau.
Dalam pendataan terakhir bersama sejumlah pemangku kepentingan, populasi harimau di Riau berkisar antara 75 hingga 80 ekor.
"Penentuan jumlah pasti tidak bisa dilakukan," ujar Ujang.
Prediksi populasi harimau di Riau itu merupakan hasil pendataan pada tahun 2019. Bisa jadi jumlahnya bertambah atau berkurang mengingat dalam beberapa tahun terakhir tingkat konflik harimau dan manusia di Riau selalu terjadi.
Tak jarang, dalam konflik itu ada manusia bahkan ternak menjadi korban. Begitu juga dengan harimau karena selalu ada saja si Datuk Belang ditemukan mati terjerat ataupun tinggal kulit hasil perburuan.