Liputan6.com, Cirebon Hidup dengan rutin melakukan transfusi darah dan konsumsi berbagai macam obat per hari tidak menyurutkan semangat Ayif Muhammad Aripin menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain.
Aripin merupakan salah satu dari warga Desa Cikancas Kecamatan Beber Kabupaten Cirebon. Ayip merupakan remaja sebagai penyintas Talasemia bekerja di bagian administrasi di Cattleya Daycare Cirebon.
Seumur hidup, Ayif harus bolak balik masuk rumah sakit untuk transfusi darah dan mengkonsumsi 14 macam obat setiap hari. Keluarga dan kerabat dekat menjadi penyemangat Ayip untuk bertahan hidup dari Talasemia yang dideritanya.
Advertisement
Baca Juga
"Usia sekitar 25 atau 26 saya mulai tahu kalau kondisi saya itu terkena Talasemia. Dari situ saya mulai rutin dan tertip menekuni pola hidup," ujar Ayif saat berbagi pengalaman di kegiatan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Deteksi dan Pencegahan Dini Penyakit Talasemia Pada Anak di Puskesmas Kesambi Kota Cirebon, Sabtu (19/8/2023).
Diketahui, Thalasemia adalah kelainan darah karena kurangnya hemoglobin (Hb) yang normal pada sel darah merah. Kelainan ini membuat penderitanya mengalami anemia atau kurang darah.
Thalasemia terjadi akibat kelainan genetik yang diturunkan. Kondisi ini sudah bisa terjadi sejak masa kanak-kanak. Ayif sempat drop dan pesimis saat ia mengetahui sebagai penyintas talasemia hasil skrining kesehatan.
"Saya tahu kalau terkena Thalasemia justru setelah dewasa dan cari tahu sendiri dengan kakak saya. Dari situ orang tua sempat drop tapi saya perlahan memberi pengertian dan Alhamdulillah mereka mendukung sampai saya punya anak," kata Ayif.
Bahkan, sebelum memutuskan menikah, Ayif terlebih dahulu melakukan skrining terhadap istri. Skrining tersebut dilakukan agar keturunannya nanti tidak lagi menjadi penyintas Thalasemia.
Ia mengaku, sebelum menikah, calon pujaan hati Ayif sempat kaget setelah diberitahu sakit yang dialami seumur hidupnya itu. Namun, seiring berjalannya waktu, ia pun akhirnya meminang Titi Susanti hingga memiliki buah hati.
"Dikenalin sama teman saya dan dikasih tahu dari awal. Sebelum nikah istri sempat tanya ke teman dokternya dan diberi penjelasan. Alhamdulillah berkat peran penting Allah dia menerima skrining dan tidak ada thalasemia sehingga saya menikahinya," ujar dia.
Dukungan Orang Terdekat
Baginya, hidup sebagai penyintas Thalasemia cukup berat jika tidak ada dukungan dari orang terdekat hingga tempat kerja. Ayif kerap meminta izin ke tempat kerjanya untuk transfusi darah setiap 2 atau 3 minggu sekali.
Jika tidak rutin transfusi darah, Thalasemia akan mengganggu aktivitasnya sebagai pekerja dan ayah. Ayif kerap merasakan badan lemas, tubuh pucat, pusing, jantung berdebar kencang hingga sulit tidur jika tidak transfusi darah dan rutin minum obat.
"Mengganggu aktivitas sekali, konsentrasi hilang, sering pusing, ganggu kerjaan, izin kerja terus juga tak enak tapi kita harus rutin transfusi. Saya kasih tahu ke tempat kerja kalau saya ada thalasemi dan Alhamdulillah diberi izin dan teman-teman kerja juga mendukung. Jadi setiap jadwal transfusi saya pasti izin pulang lebih awal," ujar dia.
Selama bekerja, Ayif rutin minum 14 macam obat setiap hari untuk mendukung kondisi badannya tetap prima. Sejak pagi, ia mengkonsumsi 6 obat bernama kelasi besi untuk meluruhkan zat besi dalam tubuh. Obat yang diminum pagi untuk meluruhkan zat besi yang berlebih akibat dari transfusi.
Kemudian 2 butir obat vitamin E, 1 butir vitamin D untuk menjaga kondisi tulang, dan 5 obat asam folat. Jika terlewat minum vitamin E, akan berdampak kepada kulit tubuh yang pucat, kering dan gosong.
Kemudian jika tidak mengkonsumsi obat pada sore hari akan berpengaruh kepada tulang dalam tubuh, sementar konsumsi asam follat pada malam hari untuk menstabilkan Hemoglobin tau protein yang ada dalam sel darah merah.
"Tidur juga harus teratur, tapi saya suka kesulitan tidur ngaruh ke HB, dan harus terjaga diatas 10 HB nya," ujar dia.
Semangat Ayif untuk terus hidup meski harus transfusi darah dan konsumsi obat setiap hari memotivasi praktisi hingga akademisi di bidang kesehatan di Cirebon untuk mengkampanyekan Thalasemia.
Advertisement
Deteksi Dini
Seperti yang dilakuan Poltekkes Tasikmalaya dan Fakultas Kedokteran Universitas Gunung Jati (UGJ) Cirebon. Mereka menggelar sosialisasi dan pelatihan kepada kader puskesmas di Cirebon.
"Kami sosialisasi sekaligus memberi pelatihan bagaimana mendeteksi dini ciri-ciri khususnya anak yang diduga terkena talasemia karena penyakit turunan tapi ciri awalnya adalah anemia," ujar perwakilan Tim Poltekkes Tasikmalaya Ayu Yuliani.
Kampanye deteksi dini tersebut dianggap penting untuk mencegah Talasemi semakin meluas. Talasemia merupakan penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan pembentukan hemoglobin atau sel darah merah.
Diketahui, proses pembentukan sel darah merah pada orang normal biasanya 120 hari, namun untuk penderita talasemi biasanya kurang dari 120 hari. Jika ada anak terdeteksi talasemia, maka kedua orang tuanya harus lakukan pemeriksaan darah.
"Deteksi awal bisa di puskesmas karena sudah ada alat memadai di laboratorium kemudian dokter akan menindaklanjuti ke rumah sakit jika terindikasi kuat anemia talasemia. Tapi kalau anemia biasa tidak harus ke rumah sakit," ujar Ayu.
Ia mengatakan, talasemia sudah bisa terdeteksi sejak dini di usia mulai dari 1 tahun. Efek talasemia, adalah terganggunya pertumbuhan dan perkembangan anak karena kekurangan suplai oksigen di tubuh sehingga anak menjadi tidak aktif.
Minimnya asupan oksigen dan nutrisi dalam tubuh membuat pertumbuhan terhambat, kondisi badan lemas. Bahkan, ketika dewasa, ada bagian tubuh yang berubah seperti bagian warjah dan perut bengkak.
"Beda dengan stunting kalau stunting kan lebih kepada gizi dan asupan nutrisi kalau Talasemia pertumbuhan tetap normal hanya ada perubahan di tubuh dan harus diobati seumur hidup. Memang tidak terlihat dengan kasat mata harus uji laboratorium dulu," ujar dia.
Ayu Yuliani bersama tim Poltekkes Tasikmalaya yakni Zaitun, Suharini mengatakan solusi kongkrit untuk mencegah penyebaran talasemia adalah skrining sejak dini. Termasuk skrining terhadap pasangan yang akan menikah.
Namun, diakui tidak mudah untuk melakukan skrining mencegah talasemia karena karakter kultural masyarakat. Ia berharap, kegiatan tersebut minimal mengedukasi sehingga masyarakat sadar untuk melakukan skrining.
"Karena jika pasangan tersebut sama-sama resesif maka akan melahirkan anak yang salah satunya membawa talasemia," ujar Ayu.
Mata Rantai
Tim FK UGJ Cirebon dokter Tiar M. Pratinawati menjelaskan Talasemia adalah kelainan genetik dari keturunan yang terjadi perubahan pada sel darah merah terutama rantai hemoglobin. Terjadi perubahan genetik yang menyebabkan struktur dari sel darah merah berbeda dari anak normal.
Ia menyebutkan, pola penurunan talasemia adalah autosomal recessive. Jika seorang anak terdeteksi talasemia, maka orang tuanya pasti menjadi carrier atau pembawa.
"Di Indonesia ini carrier sudah banyak khususnya yang talasemia maka dari itu harus dicegah minimal tidak ada lagi carrier baru," ujar dia.
Ia menyebutkan, untuk memutus mata rantai talasemia, seorang carrier tidak boleh menikah dengan carrier. Ia menyarankan, seorang carrier idealnya menikah dengan orang normal.
"Sehingga anaknya pilihannya hanya dua yaitu normal dan pembawa. Kalau memutus sampai zero talasemia emang sulit, tapi minimal tidak ada penderita atau hanya karier atau pembawa saja. Tapi harus menikah dengan orang normal," ujar dia.
Ia menjelaskan, kampanye talasemia di Cirebon semula salah satunya memberi edukasi kepada kader puskesmas untuk mendeteksi lebih dini. Ia menyebutkan, gejala awal talasemia adalah kondisi fisik pucat bisa dilihat dari kulit dan area bibir.
"Kemudian mata bagian bawah lalu ujung kuku pucat, lalu nadi lebih cepat dari normalnya. Kader kita ajarkan untuk mendeteksi sejak dini karena lebih dekat dengan masyarakat," ujar dokter Tiar.
Ciri lain Talasemia adalah kondisi fisik lebih lemah, letih gampang dan capek. Kondisi tersebut karena sel darah merah berfungsi menyebarkan oksigen dan menyebarkan makanan ke seluruh tubuh terganggu.
Namun, kata Tiar, dari gejala tersebut belum tentu dinyatakan positif talasemia. Orang yang terkena gejala tersebut harus mengikuti skrining tambahan di laboratorium.
"Jika ada gejala yang mirip bawa ke puskesmas, minimal cek darah rutin dulu berapa HB nya, nanti biasanya ditentukan pemeriksaan lanjutan oleh dokter," uajar dokter Tiar.
Advertisement
Jumlah Meningkat
Ia mengatakan, talasemia sudah terlihat dari segi perubahan fisik. Karena sel sum-sum tulang dipaksa bekerja, maka terjadi perubahan fisik, seperti muka membesar, hati membesar, perut lebih gendut mirip gizi buruk akibat organ dalam siklus darah bekerja ekstra.
"Pertumbuhan terganggu kalau sel darah merah banyak dihancurkan, zat besi banyak terkumpul di tubuh kita maka hormon reproduksi terganggu, hormon pertumbuhan terganggu biasanya fisik anak lebih kecil atau menyusut. Kalau skrining makin kecil kita obati.
Ia menyebutkan, salah satu obat talasemia adalah kelasi besi yang berfungsi meluruhkan zat besi yang menumpuk akibat dari transfusi darah masuk ke penderita.
Salah satu Tim FK UGJ Cirebon Donny Nauphar menyebutkan, jumlah penderita talasemia di Jawa Barat cenderung meningkat. Data terakhir tahun 2019 menyebutkan, penderita talasemia di Jawa Barat sebanyak 3636 orang.
Sementara data terakhir di Ciayumajakuning tahun 2020 sebanyak 120-165 orang yang terdeteksi. Ia meyakini, masih banyak masyarakat di Jawa Barat khususnya Cirebon belum terdeteksi talasemia.
"Kebetulan kemampuan deteksi dini talasemia di kita sudah mumpuni makannya selalu jadi rujukan kalau ada yang terkena gejala ya ke RSCM Jakarta atau RSHS Bandung. Tapi tetap harus dicegak diminimalisir agar tidak menyebar luas," ujar dia.
Ia menyebutkan, talasemia sendiri terbagi menjadi dua kategori yakni Mayor dan intermediasi. Untuk talasemia mayor solusinya adalah transfusi darah rutin dan konsumsi obat seumur hidup.
Sementara untuk talasemia intermediasi bisa diminalisir dan tidak perlu transfusi darah reguler. Namun, penderita talasemia kerap menerima efek di ruang sosial.
"Dampaknya kan ke perubahan fisik seperti wajah, gangguan pekerjaan dan pendidikan sehingga secara psikologis bisa dikucilkan. Misal begini penderita sudah bekerja atau sekolah dan mereka harus rutin transfusi darah pasti selalu bolak balik cuti kerja dan efek penilaian dari atasan. Sementara di sekolah pasti mengganggu proses belajar mengajar," ujar dia.
Selain bergantung pada transfusi darah, talasemia masuk dalam kategori penyakit Katastrofik urutan ke 5 setelah gagal ginjal, jantung, kanker dan diabetes.
Donny menjelaskan, Katastrofik adalah penyakit yang memakan biaya banyak, menyebabkan komplikasi bahkan kematian jika tidak diobati.
"Pengobatan untuk talasemia juga dilakukan seumur hidup," ujar dia.