Ruang Hidup Masyarakat Adat Rempang Dilindungi Undang-Undang

Peristiwa bentrok antara masyarakat adat Rempang Batam, Kepulauan Riau, dengan petugas kepolisian dan tentara pecah. Media massa dan jagat media sosial dihebohkan dengan peristiwa ini.

oleh Reza Efendi diperbarui 14 Sep 2023, 17:59 WIB
Diterbitkan 14 Sep 2023, 17:58 WIB
bentrok Rempang
Aparat gabungan TNI, Polri dan BP Batam memaksa masuk ke kampung adat masyarakat Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, bentorkan aparat dan warga pun tak dapat dihindai, Kamis (7/9/2023). (Liputan6.com/ Ajang Nurdin)

Liputan6.com, Medan Peristiwa bentrok antara masyarakat adat Rempang Batam, Kepulauan Riau, dengan petugas kepolisian dan tentara pecah. Media massa dan jagat media sosial dihebohkan dengan peristiwa ini.

Bentrok terjadi karena protes masyarakat adat Rempang atas pengamanan eksekusi pematokan lahan masyarakat untuk kepentingan menarik investasi pembangunan Rempang Eco-city.

Bahkan, puluhan warga Rempang dan petugas kepolisian luka-luka, hingga harus dirawat di rumah sakit, termasuk anak-anak sekolah yang terkena semprotan gas air mata.

Tokoh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan, bersama sejumlah aktivis gerakan lingkungan hidup ketika ditemui jurnalis di sebuah kafe di Kecamatan Medan Johor, Kota Medan, Rabu, 13 September 2023, menyampaikan keprihatinannya atas peristiwa yang terjadi.

"Saya menyesalkan sikap dan tindakan BP Batam dan pemerintah yang mengabaikan hak konstitusional masyarakat adat Rempang dan ruang hidupnya," kata Abdon.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Hak Konstitusional

Abdon Nababan (kiri) dan para aktivis gerakan lingkungan hidup
Abdon Nababan (kiri) dan para aktivis gerakan lingkungan hidup

Diungkapkan Abdon Nababan, hak konstitusional yang diabaikan itu berwujud hak asal usul atau hak tradisional yang dinyatakan secara tegas dalam Pasal 18 b (ayat 2) dan pasal 281 (ayat 3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Abdon juga mengungkapkan, cukup banyak bukti-bukti sejarah meriwayatkan tentang 16 Kampung Tua di Pulau Rempang dan Galang yang sudah ada ratusan tahun sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diproklamirkan.

Bukti-bukti sejarah ini semestinya menjadi pertimbangan utama bagi negara untuk melindungi masyarakat adat Rempang dan ruang hidupnya dari segala macam upaya penggusuran atau relokasi yang mengatasnamakan kepentingan apa pun.

"Apalagi dengan pendekatan represif yang potesial menimbulkan korban," ungkapnya.

Abdon Nababan yang juga merupakan calon DPD Sumatera Utara pada Pemilu 2024 ini, menyatakan, isu penghormatan dan perlindungan masyarakat adat dan ruang hidupnya di NKRI harus menjadi perhatian penting dari siapa pun.

"Terutama yang berhasrat menjadi bagian dari pengambil keputusan di negara ini," ujarnya.


Potensi-potensi yang dapat Terjadi

Pulau Rempang
Untuk masuk ke Pulau Rempang saat ini sudah harus diperiksa, meskipun itu warga sendiri. Foto: liputan6.com/ajang nurdin 

Rajidt Malley, aktivis gerakan lingkungan hidup, yang turut bersama Abdon, menyatakan, membangun proyek dengan investasi besar, melibatkan jumlah tenaga kerja banyak, potensial menggusur masyarakat.

Tindakan tersebut juga berpotensi mengubah bentang alam yang luas, seperti pabrik kaca dan panel surya di Rempang, Kepulauan Riau, meniscayakan kajian ilmiah dan dialog intens para pemangku kepentingan.

"Tidak ada informasi memadai tentang ada tidaknya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan tentang rencana industri tersebut. Kok, tiba-tiba mau menggusur masyarakat adat Rempang yang diimbuhi bentrok pula," ucapnya.


Satu Hati Satu Rasa

Pulau Rempang
Suasana malam ini seperti mau perang karena alat negara bersenjata menjaga lokasi tempat warga menyuarakan aspirasinya. Foto: liputan6.com/ajang nurdin 

Rajidt yang bergelar Datuk Mangguyang Alam, dan merupakan salah satu pemuka suku Melayu Minangkabau, mengingatkan pemerintah harus berhati-hati dalam menangani kasus Rempang.

"Rempang merepresentasikan juga puak Melayu. Peristiwa Rempang bisa jadi isu penggusuran etnik Melayu dari tanah ulayatnya. Puak Melayu dimana pun akan berempati. Satu Hati, Satu Rasa. Takkan Melayu Hilang di Bumi, adalah tunjuk ajar orang Melayu bernada aporisme heroik untuk berjuang bersama," tegas Rajidt menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya