Liputan6.com, Gorontalo - Provinsi Gorontalo merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi areal perkebunan kelapa yang besar. Areal perkebunan kelapa ini tersebar di seluruh Kabupaten di daerah tanah serambi madinah.
Meski terbilang besar, kendala utama dalam pengembangan kelapa di Gorontalo adalah Sumber Daya Manusia (SDM). Menurut data yang ada, produktivitas kelapa yakni rata-rata hanya 1 ton kopra per hektar setiap tahun. Sehingga dibutuhkan program yang mampu meningkatkan produktivitas petani kelapa.
Advertisement
Baca Juga
Tidak hanya hasil kopra, rendahnya SDM di tingkat petani kelapa di Gorontalo membuat hasil buah kelapa tidak terkelola dengan baik. Contohnya, batok dan sabut kelapa yang hanya dibuang begitu saja. Masyarakat Gorontalo cenderung mengambil bagian daging kelapa untuk mereka dijual.
Sementara di daerah-daerah lain, batok atau tempurung kelapa mampu dijadikan berbagai souvenir. Seperti gantungan kunci, mangkok, cangkir, asbak hingga kancing baju. Sedangkan di negara maju, batok kelapa diolah menjadi karbon dan arang briket yang fungsinya sebagai bakar alternatif.
Untuk sabut kelapa, biasanya disulap menjadi Cocopeat atau media teman. Ada juga Serat sabut kelapa juga dimanfaatkan untuk pengendalian erosi. Serat sabut kelapa diproses untuk dijadikan Coir Fiber Sheet yang digunakan untuk lapisan kursi mobil.
Tidak hanya itu, pengolahan daging kelapa di Gorontalo masih jauh berbeda dengan daerah-daerah lain. Salah satunya proses pengeringan kelapa yang masih dijemur di bawah terik sinar cahaya matahari.
Cara ini dipastikan bisa merusak kualitas kelapa yang biasanya dijemur di tempat terbuka. Debu dan kotoran lain yang berterbangan akan terpapar langsung di daging kelapa yang dijemur.
Berbeda dengan yang sudah menggunakan teknologi pengering atau disebut dengan solar dryer. Kualitas kelapa tetap terjaga dan warnanya pun tidak berubah sama sekali.
"Kalau kami biasa menjemur kelapa di lapangan atau di jalan. Memang kering tapi kotor," kata Unu salah satu petani kepala di Gorontalo.
Itulah mengapa kata Unu, harga kopra yang dibeli oleh pengepul sering berubah. Kadang harganya tinggi, kadang harganya begitu rendah dengan alibi kualitas kelapa sangat tidak baik.
Harga kopra saat ini ada di kisaran Rp8 ribu hingga Rp9 ribu per kilo gram. Harga ini di tingkat pengumpul. Namun di tingkat petani, harga tersebut lebih rendah 20 hingga 30 persen.
"Petani masih sulit menikmati keuntungan. Ditambah biaya produksi yang cukup tinggi," tuturnya.
Simak juga video pilihan berikut:
Kritikan dari Anggota DPRD
Sementara itu, anggota DPRD Provinsi Gorontalo, Yuriko Kamaru bilang, di situasi saat ini, pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pertanian untuk memperhatikan petani kelapa. Harga kopra yang fluktuatif, menunjukkan pemerintah daerah gagal membantu masyarakat petani.
"Kelapa juga salah satu produk unggulan Gorontalo. Pemerintah seharusnya memperhatikan mereka, terutama soal harga pengambilan," kata Yuriko.
Tidak hanya itu, dirinya minta dinas terkait harus berinovasi bagaimana hasil kelapa di Gorontalo bisa dihargai. Minimal sudah ada rancangan peraturan daerah yang mengatur tentang kelapa di Gorontalo.
"Jangan sampai hanya pengepul kopra yang dari luar yang enak dengan keuntungan dengan seenaknya memainkan harga. Sementara petani kita hanya makan ampasnya saja," tuturnya.
Selain itu, Dinas terkait juga diminta membuat program pengadaan teknologi tepat guna untuk menampung sumber daya alam, termasuk buah kelapa. Minimal, dalam satu daerah ada industri pengolah sabut dan batok kelapa.
"Kalau ada industri ini, bisa dipastikan batok dan sabut kelapa itu akan bernilai. Sabut kelapa tidak dibuang atau dibakar," katanya.
"Saya berharap, masukan ini bisa diterima Pemerintah eksekutif. Agar supaya sumber daya alam yang dimiliki Gorontalo tidak hanya dinikmati orang berduit," ia menandaskan.
Advertisement