Liputan6.com, Kudus - Keberadaan Caping Kalo sebagai warisan budaya kearifan local khas Kudus Jawa Tengah, kini nasibnya diambang kepunahan. Hingga kini hanya tersisa 2 orang perajin tudung kepala terbuat dari anyaman bambu yang masih bertahan.
Dua perajin Caping Kalo Kudus tersebut yakni Rudipah dan Kamto, pasangan suami istri asal Desa Gulang, Kecamatan Mejobo Kudus. Produk tradisional tudung kepala ini makin terpinggirkan. Sebab pembuatan caping kalo tidak mudah dan butuh ketelitian dan nilai seni yang tinggi.
Seiring perkembangan zaman, peran Caping Kalo kian menyempit. Kehadiran Caping Kalo hanya digunakan saat momen tertentu saja. Serta hanya menjadi aksesoris pelengkap yang disematkan pada baju adat wanita Kudus.
Advertisement
Kebutuhan penggunaan Caping Kalo yang semakin ditinggalkan masyarakat Kudus, membuatnya terancam punah. Berangkat dari keprihatinan tersebut, Nojorono bersama Pemkab Kudus tergerak melakukan langkah kongkret penyelamatan Caping Kalo.
Bahkan kesetiaan Rudipah dan Kamto bertahan melestarikan warisan berharga yang hampir punah di kota penghasil rokok kretek terbesar di Indonesia ini, mendapat dukungan dari Nojorono dan Pemkab setempat.
Nojorono dan Pemkab Kudus pun tersadar untuk mengembalikan popularitas Caping Kalo melalui berbagai cara. Salah satunya melalui kreasi tarian Caping Kalo.
Upaya serius yang dilakukan menggandeng dan mengundang tiga maestro seni kenamaan tanah air. Yakni pelukis JB Iwan Sulistyo, Pianis Ary Sutedja serta maestro tari Didik Nini Towok. Mereka berkolaborasi menciptakan karya seni untuk memperkenalkan Caping Kalo Kudus.
Sang maestro tari Indonesia yang namanya telah mendunia, mengemasnya melalui sajian apik berupa Tari Cahya Nojorono. Tari ini pun dipentaskan di panggung ‘Kontempelasi Mahakarya Caping Kalo’ di Pendopo Kabupaten Kudus, Sabtu malam (27/4/2024).
Tarian Cahya Nojorono ditampilkan memadukan nilai budaya Kudus, yang mampu memukau pengunjung. Kemudian dikolaborasikan dengan warisan nilai Nojorono Kudus Bersatu, yakni Berdoa, Berkarya, Cipta, Karsa, Rasa dan Cahya.
Penampilan Tari Cahya Nojorono disempurnakan kehadiran Caping Kalo, yang tak hanya sekadar mempercantik tarian saja. Namun mempertegas identitas warisan budaya khas Kudus.
Dalam pertunjukkan tari di Kudus, Didik Nini Thowok tidak tampil sendirian. Namun ia juga melibatkan sejumlah penari yang mendukung koreografi Tari Cahya Nojorono. Mereka merupakan karyawan Nojorono Kudus, yang digembleng langsung Didik Ninik Thowok.
Sementara itu, Arief Goenadibrata dari Nojorono Tobacco International mengakui, bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya ragam budaya.
“Hal ini merupakan tanggung jawab kita bersama menjaga kelestariannya. Karena itu, kami berkomitmen memberdayakan siapapun yang ingin mempelajari warisan sejarah khas Kudus yaitu Caping Kalo,” ujar Arief.
Arief pun berharap Tari Cahya Nojorono ini dapat dinikmati menjadi suatu mahakarya indah. Selain itu, dapat ditampilkan sebagai sumbangsih peran Nojorono dalam pelestarian budaya Indonesia.
Tari Cahya Nojorono diharapkan dapat menginspirasi seluruh lapisan masyarakat semua usia, dan mendorong semangat setiap individu tergerak melestarikan warisan budaya.
Sementara sang maestro tari Indonesia, Didik Ninik Thowok mengaku mempersiapkan tarian Cahya Nojorono dengan matang. Ia secara khusus mengambil peran sepenuhnya dalam pentas seni tari malam itu.
Didik Nini Thowok sengaja hadir di Kudus, serius menularkan ke generasi penerus bahwa mencintai budaya bisa dilakukan melakui cara apapun, termasuk menari.
“Kita ini punya PR banyak, menyadarkan masyarakat kita tentang masih lemahnya belajar sejarah dan melesatarikan budaya kita. Khusus caping kalo ini, memang saya tangani sendiri,” imbuhnya.
Pentas Caping Kalo Pukau Pengunjung
Kontemplasi Mahakarya Caping Kalo yang digelar di Pendopo Kabupaten Kudus berhasil memukau seribuan pengunjung. Mereka tampak menikmati sajian seni apik yang ditampilkan Pianis Ary Sutedja serta maestro tari Didik Nini Towok.
Ary Sutedja merupakan pianis yang telah melalang buana ke berbagai Negara. Mengenakan kebaya dan penutup kepala Caping Kalo, Ary tampil dengan sembilan lagu dari tiga dekade.
Penampilan Ary tidak sendirian. Pianis perempuan Indonesia ini ditemani penyanyi klasik asal Italia Christhophoros Stamboglis. Suara bas Christhoporos dan suara piano Ary Sutedja, mampu membius para penonton yang hadir.
Ary Sutedja memungkasi malam itu, dengan menampilkan pertunjukkan istimewa berupa arransemen Tari Lajur Caping Kalo ke dalam dentingan piano klasik.
Sementara, maestro tari Didik Nini Towok juga tak kalah menghibur para seribuan pengunjung. Mengawali dengan tari dua wajah, Didik Nini Towok pamer kepiawaiannya mengolah lentik gerakan tubuhnya dalam sebuah penampilan tari kontemporer.
Di penghujung penampilannya, Didik menampilkan Tari Cahya Nojorono yang merupakan tarian karyanya. Dibawakan 14 orang penari muda, tarian ini menceritakan bagaimana kisah perjalanan daun tembakau. Yakni mulai dari saat menanam hingga diolah menjadi rokok, yang menjadi heritage tak terpisahkan bagi masyarakat Kudus.
Sedangkan Jb Iwan Sulistyo, melalui karya-karyanya yang beraliran modern ekspresionisme, berusaha menampilkan potret Caping Kalo Kudus. Selain itu, mengusung khazanah tradisi dan budaya Kudus yang menyertainya.
Melalui guratan di atas kanvasnya, Iwan juga mewujudkannya dengan lukisan cantik. Seperti Parijotho buah khas Gunung Muria Kudus, Menara Kudus, serta berbagai kekayaan budaya Kudus lainnya.
Tak hanya menampilkan karya seni lukis dan lainnya, juga dihadirkan dua perajin caping kalo. Di usianya yang makin menua, kedua perajin caping kalo yakni Rudipah dan Kamto, masih gesit membuat caping kalo yang cukup rumit. (Arief Pramono)
Advertisement